Showing posts with label Cerbang. Show all posts

Kabarnya di desa Karang Kedempel saat ini sedang sangat sepi sekali. Orang-orang tidak berani keluar dari rumahnya, ditambah lagi,...




Kabarnya di desa Karang Kedempel saat ini sedang sangat sepi sekali. Orang-orang tidak berani keluar dari rumahnya, ditambah lagi, sosok panutan desa itu sedang hijrah sejenak untuk memberi pengajaran ke Kahyangan. Tidak ada yang digugu dan tidak ada sosok yang patut dihormati lagi di Karang Kedempel, untuk sementara ini.

Aktifitas yang biasanya ramai kini menjadi sepi, namun masih terlihat beberapa penduduk yang beraktifitas dan bercengkrama dari jarak yang berjauhan. Rumah Kiai Semar yang biasanya dipenuhi orang-orang untuk sekedar meminta nasehat pun menjadi kosong, hanya terlihat anak-anaknya disana.

Petruk yang saat itu sedang bersama Bagong di rumah, rupanya tak tahan dengan kondisi saat ini. Petruk pun berinisiatif pergi ke Ngastina, meminta bantuan kepada para Pandawa untuk menangani masalah besar ini. Namun, baru niat saja yang terbesit dalam hati, tiba-tiba Bagong muncul untuk menghentikan Petruk.

“Mau ngapain, Truk?” Tanya Bagong.

“Owalah, Gong. Kamu kan tahu sendiri akhir-akhir ini bumi kita sepi. Manusia perlahan sudah kehilangan kemanusiaannya. Bopo ya gak turun-turun dari Kahyangan. Kita kan gak bisa diam saja, kita ke Pandawa dan mendesak mereka melakukan sesuatu.” Petruk menjelaskan Panjang lebar.

“Loh, kamu ini bodho ta gendeng, le? Ingat pesannya Bopo, kita gak boleh mengemis ke Ngastina. Semua masalah bisa ditangani sama Bopo.” Sangkal Bagong.

“Loh, siapa yang ngemis. Kita kan hanya mendesak mereka supaya mereka berbuat sesuatu. Bopo kan juga sedang tidak ada. Tidak ada yang bisa diperbuat kan?”

Peh, jan bodho banget kakang ku iki. Nyesel aku jadi adekmu.”

“Kok kurang ajar sama kakangmu?”

“Begini,Truk, kemarin sebelum Bopo minggat dari Karang Kedempel, Bopo datang ke pertapaanku dan bilang kalau obat dari semua wabah ini ada di genggamanku. Nah aku waktu bertapa kemarin memang sedang menggenggam sesuatu. Truk. Dan ku yakini itu adalah obatnya.”

“Emang kowe nggenggam apa, Gong?”

“Jangan, ini barangnya terlalu privat. Dan belum waktunya untuk aku keluarkan. Belum ada perintah dari Bopo untuk mempublikasikannya.” Bagong berdalih.

“Barang privat apa, Gong. Wah, lihat bumi ini, le. Tunjukkan sekarang supaya bumi ini bisa pulih kembali, Gong.” Petruk berdiri dari duduknya dan berbicara tegas kepada Bagong.

Saat itu, Petruk menemukan secercah harapan untuk membuat kondisi dunia menjadi sehat kembali. Ia menemukan kesempatan untuk mengobati dunia dari wabah kremi yang sedang menikam satu-persatu penduduk dunia. Tanpa pikir panjang, Petruk langsung berlari mengelilingi Karang Kedempel dan mengumumkan bahwa Bagong mempunyai obat untuk menjauhkan semuanya dari wabah kremi.

Tak begitu lama, halaman rumah Kiai Semar sudah dipenuhi penduduk desa. Bagong pun kelihatan kebingungan menghadapi kerumunan itu.

“Waduh, Truk. Kok jadi begini. Takut salah aku, Truk.” Ujar Bagong lirih kepada Petruk yang ada di sebelahnya.

“Takut kenapa, Gong. Percaya saja sama dawuh Bopo dalam pertapaan itu.” Petruk menenangkan Bagong.

Anu, masalahnya, anu, Truk. Aduh, gimana ya.”

“Apa, Gong. Yang jelas kalau ngomong.”

Anu, Bopo kan bilang kalau obat dari wabah ini ada dalam genggamanku. Nah, pada saat bertapa itu aku sedang menggenggam celana dalam, Truk.”

Eh goblok, seriusan? Itu sempak gimana caranya biar jadi obat, Gong?”

Nah itu aku belum ngerti, Truk. Piye iki.”

“Tenang, Gong. Dari pada kita dikeroyok, stay cool saja. Cepet mikir bagaimana sempak itu bisa jadi obat.”

Kerumunan warga itu rupanya membuat Kahyangan terusik, banyak penduduk Kahyangan yang turun untuk ikut mencari obat ke Bagong. Dengan arogan, penduduk Kahyangan meminta agar mereka menjadi prioritas pengobatan.

Petruk yang terus menenangkan semua yang datang pun mulai kuwalahan, akhirnya ia meminta semua yang hadir untuk berbaris ke belakang. Dan dimulai dari antrian dari penduduk Kahyangan.

Truk, aku sudah nemu caranya. Ambil ember, Truk, cepet.” Bagong menyuruh Petruk untuk mengambil ember.

“Bapak, Ibu, Mas, Mbak. Waktu saya bertapa, Bopo datang ke dalam pertapaan saya bahwa saya ternyata sedang menggenggam obat dari wabah ini. Tapi sebelum saya memberi tahu apa yang saat itu saya genggam, saya mohon kalian tetap tenang dan Tawadhu’, ya?”

“Ya, apa, Gong?” Suara sahutan dari keramaian menyambut pertanyaan Bagong.

“Sebenarnya saat bertapa, saya sedang menggenggam anu, hmmm…. Celana dalam. Kalau kalian mau sembuh, silahkan, kalau kalian jijik, monggo mundur.”

Rupanya, tidak ada seorangpun yang mundur. Kiranya mereka semua sudah berani mengambil resiko apapun untuk dijauhkan dari wabah kremi ini. Bahkan, penduduk Kahyangan sudah siap untuk dihinakan dengan obat ini.

“Semua ridho? Baik kita mulai dari orang-orang langit ini dulu.” Ujar Bagong.

“Ini Gong, embernya.” Ujar Petruk sembari membawa ember yang lumayan besar.

Penduduk-penduduk Kahyangan langsung berbaris sejajar di depan, bersiap menerima pengobatan dari Bagong. Bagong yang melihat itu kemudian merasa ragu dengan tindakannya. Namun, ia tetap memberanikan diri karena percaya bahwa tindakannya benar.

Gong, ini terus gimana?” Petruk bertanya.

“Letakkan celana dalam ku di ember, terus campur dengan air sampai penuh, Truk.”

“Serius, Gong?”

Halah coba aja, kalau gagal juga gak masalah.” Jawab Bagong.

Melihat apa yang dilakukan Petruk, penduduk Kahyangan itu mulai terlihat menelan ludah. Mereka sudah membayangkan bahwa mereka harus meminum air sempak itu. Ah, tapi mereka juga terlihat menerima pengobatan ini.

Bagong pun mengaduk-aduk embernya dan mengambil air dari ember itu dari kedua tangannya. Bagong menyodorkan kedua tangan yang menampung air sempak itu untuk diteguk para penduduk Kahyangan.

Sudah semua penduduk langit diberi obat air sempak mujarab ala Bagong. Beberapa diantara mereka ada yang muntah. Tiba-tiba terdengar suara yang melengking dan objek yang bergerak cepat dari langit, “Gong, berhenti. Dasar anak edan.”

Mendengar suara itu, Petruk dan Bagong mendongak ke atas, rupanya Boponya turun dari Kahyangan.

“Bukan itu yang aku maksud, thole.” Semar berbicara sambil menjitak kepala Bagong.

“Aduh, ide nya Petruk, Bopo.” Sangkal Bagong.

Lah kok aku.” Petruk menjawab.

“Maksud ku, obat dari wabah ini ada digenggamanmu itu bukan mempunyai maksud benar-benar ada digenggaman. Tapi pertapaan kamu itulah obatnya. Ketika kamu bertapa, kamu sudah menggenggam obat dari wabah ini karena kamu berdiam diri dan tidak klayapan di luar rumah. Interaksi dengan sesame manusia dibatasi dan digantikan dengan interaksi kepada Sang Maha. Bukan malah mengumpulkan orang dan menciptakan kerumunan, ini kan bahaya.” Semar marah.

Semua orang pun mulai bubar dan mengeluh, beberapa di antara mereka sudah ada yang merasakan gejala kremi. Sehingga Semar meminta semua penduduknya untuk melakukan pertapaan dan akan menemui mereka satu-persatu dalam pertapaannya. Sementara itu, penduduk Kahyangan yang telah meminum air sempak Bagong merasakan sakit perut dan diare.


Jauh sebelum manusia menetapkan wilayah geografis dan menegakkan wilayah administratifnya masing-masing, manusia saling sengkuyung m...




Jauh sebelum manusia menetapkan wilayah geografis dan menegakkan wilayah administratifnya masing-masing, manusia saling sengkuyung membangun kerukunan dan bersatu padu dalam menjaga keseimbangan akal dan alamnya. Konon, rasa kemanusiaan terbentuk atas kesepakatan peran nurani dan nur rohani. Tapi itu dulu, saat ini rupanya manusia sedang menerima ujian karena menjadikan bumi menjadi sekat-sekat, bilik-bilik yang tersertifikat dan dimiliki oleh masing-masing individu. Kemanusiaan menjadi hilang sehingga perlu dilatih kembali dengan kesepakatan dengan adanya musuh bersama, atau mungkin suatu hal yang mewabah ke seluruh penjuru dunia. Kemanusiaan perlu dilatih kembali untuk manusia-manusia, saat ini.

Bagong yang merindukan kehidupan leluhurnya dahulu malah tidak bisa berbuat banyak saat ini. Kehidupannya yang sekarang hanya terbelenggu oleh kepentingan dan keinginan individu. Bagong hanya bisa terdiam di rumahnya karena di luar rumah sedang ada wabah kremi yang mematikan. Selangkah ia keluar rumah, selangkah pula virus kremi itu mendekati tubuhnya.

Tapi namanya juga Bagong, pasti ia tidak bisa diam. Selalu ada saja kejahilan dan tingkah yang ia ciptakan. Sudah beberapa hari ini ia bertapa di rumah saja, memang ia melakukan itu karena anjuran dari Boponya, Semar. Semar berujar kepada Bagong bahwa wabah ini akan menjadi jinak jika Bagong berdiam diri di rumah untuk bertapa. Mencoba menyamakan frekuensi vertikal dengan Tuhan lagi setelah puluhan tahun berambisi memuaskan keduniawian.

Tapi, setelah beberapa hari tidak menemukan jawaban dari pertapaan, Bagong keluar rumah dan menuju kahyangan. Di atas, Bagong melihat betapa sepinya bumi. Hutan-hutan kembali menghijau, tanah-tanah kembali memproduksi unsur-unsur yang sudah lama hilang. Bagong, terbang lebih tinggi lagi, dan ternyata ia melihat bahwasannya buminya sedang mengeluarkan racun-racun keramaian. Menata metabolismenya kembali untuk siap digunakan manusia-manusia lagi kedepannya.

“Oh, Bumi sedang melakukan agenda bersih-bersih diri untuk membuat nyaman penghuninya.” Ujar Bagong dalam hati.

Tidak berhenti disitu, bagong kembali naik ke atas hingga tiba di pelataran Kahyangan dan berhadapan langsung dengan Bathara Guru yang sedang duduk di Singgahsana.

“Bagong, ada apa kok tiba-tiba datang ke Kahyangan” Bathara Guru bertanya.

“Tempat tinggalku sedang dilanda wabah kremi, Paduka.” Bagong menjawab dengan gaya yang slengekan.

“Kenapa malah keluar dari rumahmu, bukannya Bopomu menyuruh untuk bertapa di dalam rumah?”

“Halah, Bopo sudah tua tidak tahu perasaan anak muda sepertiku. Aku ini sehat, Paduka. Tidak ada penyakit yang bisa menempel di badanku selama ribuan tahun ini.” Bagong menjawab.

“Bagong, jangan adigung. Penyakit itu kuasa Tuhan, tidak ada yang dapat mengelak takdir-Nya. Se-sehat apapun kamu, kalau sudah ditakdirkan mati karena penyakit itu, tetap saja mati.” Bathara Guru mulai jengkel.

“Tenang saja, Paduka. Saya hanya bosan dan ingin melihat keadaan dunia di Kahyangan ini, sebentar lagi saya juga kembali bertapa di rumah. Tapi saya punya satu keinginan yang dari dulu ingin saya dapatkan sebenarnya. Saya akan pergi setelah keinginan saya paduka penuhi.” Bagong mencoba membuat ulah.

“Katakan, Bagong!”

“Saya ingin sekali memegang keris yang paduka selipkan di pinggang itu.”

“Hanya itu, Gong? Baiklah, kemari.”

Bathara Guru langsung mengeluarkan keris itu dari tempatnya dan menyerahkannya kepada Bagong. Bagong hanya tertawa saat menggenggam keris itu. Kemudian ia berkata,

“Oh jadi ini keris milik Bopo yang dicuri, paduka.” Dengan tersenyum, Bagong melirik Bathara Guru.

“Kurang ajar, saya tidak pernah mencuri.”

Bathara Guru langsung merebut keris itu kembali dan memasukkannya kembali. Setelah itu, ia meminta Bagong untuk kembali ke Bumi.

Setibanya di Bumi, Bagong kembali bertapa. Sukmanya melebur ke alam semesta, raganya terlihat terlelap dan tak bisa diganggu. Beberapa hari setelah ia ke Kahyangan, rupanya Bathara Guru dan bala tentaranya turun ke Bumi untuk bertemu Bagong. Namun sayang sekali, Bagong sudah tidak bisa diajak berbicara karena sedang bertapa. Kabarnya, Bathara Guru terkena wabah kremi karena tertular oleh Bagong. Usut punya usut, ia bisa tertular karena Bagong membawa virus penyakit itu dan kemudian memegang keris milik Bathara Guru. Virus yang ada di Bumi pun tertinggal di kerisnya dan membuat Sang Paduka dan beberapa dewa kahyangan gatal-gatal silitnya.

Mendengar kabar itu, Semar tidak bisa tinggal diam. Semar melihat bahwa pertapaan anaknya diganggu oleh Bathara Guru, ia pun marah dan mengusir Bathara Guru. Bagi Semar, Bathara Guru telah memiliki sifat Adigang, Adigung, dan Adiguna, sehingga berani mengganggu pertapaan sacral seorang abdi untuk Tuhannya. Tidak ada jalan keluar selain perkelahian.

Akibatnya, Kahyangan gempar dan porak-poranda akibat pertempuran Antara Semar dan Bathara Guru. Sedangkan Bagong, masih terlelap dalam pertapaannya. Dan, yang terpenting, wabah kremi ini telah menyebar hingga Kahyangan.