Showing posts with label manusia. Show all posts

   Pembahasan mengenai hal-hal mistis memang menjadi salah satu pasar besar di negara Indonesia. Topik dan fenomena seakan taka da habisny...

  



Pembahasan mengenai hal-hal mistis memang menjadi salah satu pasar besar di negara Indonesia. Topik dan fenomena seakan taka da habisnya untuk dibahas, baik itu di sosial media seperti Instagram dan twitter, atau di kanal media seperti YouTube. Para penikmatnya pun beragam, mulai dari kalangan bocah hingga dewasa. Namun, tentu saja sebaik-baiknya penikmat adalah yang tidak memakan mentah-mentah apa yang dilihat dan apa yang dibaca. Namun, di sisi lain, tentu saja tidak mudah untuk memverifikasi bahwa fenomena yang dilihat melalui media itu ‘asli’ atau tidak.

 

Istilah anak indigo pun menjadi terangkat dan diistimewakan. Anak indigo yang seakan sangat sakral dan dekat dengan rahasia tak kasat mata menjadi seleb di jagat maya. Nah, sebelum menelisik lebih jauh dan lebih dalam mengenai arti indigo itu sendiri, tentu kita wajib hukumnya untuk mengetahui akar sejarah dan terminologi tersebut. Apakah benar indigo selalu dikaitkan dengan fenomena mistis, atau sudahkah benar terminologi indigo diaplikasikan di Indonesia. Tentu saja jawaban ini sangat subjektif, dan tidak bermaksud menyudutkan pihak-pihak yang merasa Indigo. Aku disini hanya menyajikan sebuah tulisan berdasarkan penelitian-penelitian agar objektivitas antara logika dan metafisika masih bisa dipertemukan.

 

Sebenarnya, konsep anak indigo pertama kali dikemukakan oleh Nancy Ann Tappe pada tahun 1970-an. Pada tahun 1982, Tappe menerbitkan sebuah buku yang berjudul Understanding Your Life Through Color yang menjelaskan bahwa, ia menyadari pada tahun 1960-an ada banyak anak yang lahir dengan aura "indigo". Tappe juga menjelaskan pada publikasi lainnya bahwa warna indigo atau nila berasal dari "warna kehidupan" anak yang dia dapatkan dari sinestesia. Jadi seorang anak disebut indigo dikarenakan oleh aura yang dimiliki oleh anak tersebut memiliki warna nila atau indigo.

 

Jan Yordy seorang terapis yang menulis mengenai anak indigo mencoba mengkategorikan karakteristik anak indigo yang sering ditemui, yaitu:

1. Memiliki keinginan yang kuat, mandiri dengan melakukan apa yang ada di pikirannya daripada mematuhi kehendak orangtua, bijaksana dan memiliki tingkat kesadaran dan kebersamaan yang melebihi pengalamannya;

2. Secara emosi, mereka dapat dengan mudahnya bereaksi sehingga tidak jarang mereka memiliki permasalahan dengan kecemasan, depresi atau stress;

3. Kreatif dalam berpikir dengan menggunakan otak kanan namun tetap harus berusaha belajar dengan menggunakan otak kiri terutama pada sistem di sekolah; anak indigo sering didiagnosis mengalami ADD (attention deficit disorder) atau ADHD (attentiondeficit hyperactivity disorder) saat mereka menunjukkan perilaku impulsive (otak mereka memproses informasi lebih cepat) dan mereka harus tetap bergerak agar selalu fokus;

4. Anak ini sangatlah peka dan dapat melihat, mendengar atau mengetahui sesuatu hal yang tidak dimiliki orang kebanyakan;

5. Anak-anak ini belajar secara visual dan kinestetik, mereka dapat mengingat apa yang terekam dalam otak dan menciptakan melalui tangan;

6. Apabila keinginan anak tidak terpenuhi, maka anak merasa kesulitan dan menjadi self centered. Meskipun hal ini bukanlah sifat sebenarnya; anak memiliki potensi dan bakat yang luar biasa, namun dapat hilang begitu saja jika tidak sesuai dengan bentuk pengasuhan.

 

Dari penjelasan mengenai akar terminologi Indigo tercipta dan dari penjelasan seorang terapis mengenai kategorisasi Indigo, kita dapat melihat bahwa cakupan Indigo bukan hanya mengenai hal-hal mistis dan metafisika saja. Ada kemampuan-kemampuan yang justru tidak ada kaitannya dengan hal mistis juga masuk ke dalam istilah Indogo. Pada dasarnya, kategorisasi Indigo adalah berdasarkan pada warna aura tubuh.

 

Dari penjelasan ini juga, aku belum bisa memastikan bagaimana standar untuk mengetahui warna aura tubuh, baik itu metode atau alat yang digunakan. Memang ada satu penelitian yang dilakukan oleh Kadarisman, Kuswanto, Rosana, dari Pendidikan fisika Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam jurnal mereka, aku bisa melihat bahwa ada istilah Colour Vibration Therapy atau pemanfaatan energi surya untuk terapi getaran warna.

 

Di artikel ini juga dibahas mengenai kategorisasi warna tubuh berdasarkan siklus sinar matahari harian dan warna tubuh berdasarkan organ-organ tertentu.


 

Dari data ini, aku sebagai orang awam berpikir bahwa tidak ada aura pakem dalam setiap individu, warna aura manusia akan selalu berubah tergantung pada kondisi tubuh dan psikologisnya, dan tergantung pada sinar matahari di waktu tertentu. Pengambilan kesimpulan mengenai seorang itu indigo atau bukan tentu saja tidak bisa hanya dilihat satu waktu saja. Harus ada langkah komprehensif dan terus berulang sehingga mendapakan kesimpulan yang matang bahwa aura dari orang itu memang benar-benar Indigo.

 

Terlebih, satu hal yang perlu ditelisik adalah, istilah Indigo tidak selalu diperuntukkan untuk orang dengan kemampuan khusus yang berhubungan dengan metafisika. Istilah indigo juga ditujukan untuk tujuan-tujuan psikologis dan analisa sistem tubuh, seperti tabel di bawah ini.


 

Sampai sini, tentu kita sekarang bisa memahami istilah Indigo dengan lebih komprehensif. Terima kasih, dan salam.





Setiap manusia harus memahami bahwasannya perjalanan hidup tidak akan pernah berjalan mundur atau berhenti, oleh karena itu setiao diantaran...


Setiap manusia harus memahami bahwasannya perjalanan hidup tidak akan pernah berjalan mundur atau berhenti, oleh karena itu setiao diantaranya harus dapat menyesuaikan terhadap obahing jaman atau perubahan zaman. Dan, memang untuk masalah ini manusia adalah makhluk terbaik yang memiliki kemampuan adaptasi cepat dengan apapun kondisinya. Lantas berhubungan dengan beradaptasi terhadap perubahan zaman, tentu saja manusia juga harus memahami intuisinya sebagai seorang manusia yang lengkap, sehingga perubahan zaman tak bisa memaksanya untuk berbuat yang menyimpang entah itu dalam hal agama, moral, dan peraturan negara.


Membingkai problematika tersebut, para nenek moyang kita sebenarnya sudah mempunyai filosofi yang visioner dan bisa digunakan di zaman apapun. Cita-cita luhur ini sebenarnya merupakan kewajiban manusia modern dan manusia post-modern , dan leluhur kita meninggalkan tiga perkara yaitu tugas kemanusiaan (ngamanungsakake rasa kamanungsane), tugas duniawi (Hamemayu Hayuning Bawana), dan tugas ketuhanan (nyebarake agama suci).


Tiga perkara yang menjadi kewajiban warisah luhur oleh para leluhur itulah yang menjadi tameng untuk manusia saat ini agar bisa ngerem saat ingin bertindak menyimpang. Karena dengan perkara itu manusia yang sejati tidak akan merusak alam, melainkan menjaganya. Dan, tiga perkara itu sebenarnya dapat dirangkum dengan satu filosofi yang membumi di Nusantara, Memayu Hayuning Bawana.


Dalam buku ‘Strategi Kebudayaan’ yang ditulis oleh Nasruddin Anshoriy menjelaskan bahwasannya Memayu Hayuning Bawana mengandung tiga unsur dasar yang dibebankan kepada umat manusia, biasanya disebut Tri Satya Brata. Pertama, rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa. Hal ini adalah kewajiban bagi umat mansia untuk menjaga tempat yang saat ini kita pijak berdasarkan dengan intuisi rasa yang sudah diberikan Tuhan dalam setiap diri manusia. Tentu saja sebuah rasa hadir dalam diri manusia yang sudah sering mengolahnya, sehingga rasa tidak tegaan dan rasa belas kasih sering muncul saat melihat fenomena-fenomena yang tidak seharusnya. Oleh sebab itulah manusia yang mempunyai kepekaan rasa tak akan pernah menebang pohon secara liar hanya demi keuntungan uang dan urusan perut. Tidak hanya itu, orang yang terlatih mengolah rasa pasti sudah mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, lebih lagi mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.


Kedua, darmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas manusia adalah menjaga keselamatan negara). Sebagai kewajiban seorang manusia yang hidup dalam aturan negara dan dalam ruang lingkup global, manusia sejati pasti memahami bahwa negara adalah kepentingan kelompok yang majemuk dan bukan kepentingan individua tau golongan tertentu. Manusia yang memahami bahwa ‘negara adalah bagian dari dirinya’ akan senantiasa memberikan sedekah atau pengorbanan kepada negara. Ia tidak terus menuntut kepada negara melainkan memberikan kontribusi kepada negara. Oleh karena itu, pejabat yang sedang menjabat seharusnya memiliki kepekaan terhadap sifat ini sehingga program kerjanya bukan hanya untuk memuaskan isi dompetnya melainkan karena kewajiban berat untuk menjaga negara yang ia pijak. Dan sepertinya filosofi nenek moyang ini juga didakwahkan oleh KH Wahab Chasbullah dalam lagunya, ‘Hubbul Wathon Minal Iman’.


Ketiga, rahayuning manungsa dumadi karana kamunangsane (Keselematan manusia oleh kemanusiaannya sendiri). Kemanusiaan adalah sifat yang paling tinggi dalam diri seorang manusia. Kemanusiaan berarti memanusiakan manusia dan melayani manusia lebih baik dari ia melayani dirinya sendiri. Hal ini tentu akan menciptakan asas kebermanfaatan kepada sesame manusia. Sehingga tentu filosofi luhur ini juga sejalan dengan yang Rasulullah ajarkan, bahwa umat Islam itu ibarat satu tubuh. Jika salah satu tubuh terluka, maka tubuh yang lain akan merasakan sakit. Dan juga, ajaran Rasulullah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat.


Filosofi Memayu Hayuning Bawana rupanya mengandung misi akbar bagi manusia di dunia dalam tiga subsatnsi, yaitu: Hamengku bawana, hamengku nagara, hamengku bumi. Tentu tiga substansi itu akan melahirkan manusia sebagai jalma kang utama, atau biasa disebut makhluk yang terbaik. Dalam kaidah Islam, sifat seperti ini disebut ‘Ahsanu Taqwim’.


Manusia yang sudah menjadi manusia sejati akan bisa menyeimbangkan perannya sebagai manusia dengan kewajibannya kepada alam semesta. Sehingga konsep Rahmatan lil ‘alamin bukanlah konsep yang diberikan untuk Rasulullah Muhammad saja, melainkan konsep umu yang ditugaskan untuk kita sebagai manusia modern atau manusia post-modern ini. oleh sebab itu, konsep Rahmatan lil ‘alamin bukanlah sebuah konsep yang datang begitu saja, melainkan sebuah konsep yang mengharuskan manusia untuk memahami jati dirinya terlebih dahulu, dan memahami peran kehidupannya. Hingga puncaknya adalah menjadi manusia yang insan kamil, yang menjadi jalma kang utama, atau menjadi manusia yang rahmatan lil ‘alamin.


  Budaya selalu muncul dimana manusia ada. kebutuhan akan hal spiritual ataupun kebutuhan secara jasmani membuat manusia menciptakan buday...

 

Budaya selalu muncul dimana manusia ada. kebutuhan akan hal spiritual ataupun kebutuhan secara jasmani membuat manusia menciptakan budaya. Sesuatu yang dikenal dengan olah cipta, rasa, dan karsa membuat manusia bertahan hidup, dan produk dari manusia ini adalah budaya. Tak lepas juga dengan hal-hal spiritual, ritus-ritus keagamaan, dan cerita dibaliknya adalah keanekaragaman budaya karena masih melekat dengan kehidupan manusia. Di masa pandemi ini, rupanya agama juga berperan penting untuk mengkontrol perilaku manusia agar sesuai koridor atau protocol yang aman dan normatif. Tak hanya itu, dengan adanya pandemic ini kita juga mengetahui bahwasannya agama bukanlah doktrin, karena alternatif dalam peribadatan diperbaharui. Peran manusia dalam berijtihad adalah hasil dari hadirnya budaya dalam pagar agama.


Di sisi lain, rupanya masyarakat Tengger, atau biasanya dikenal dengan sebutan Wong Tengger juga merasakan perubahan dalam peribadatannya. Suku yang mendiami empat kabupaten di Jawa Timur ini sangat erat kaitannya dengan budaya yang sudah menjadi budaya nasional. Memang budaya muncul dari kebutuhan manusia, dan Sebagian besar wong tengger ini adalah petani sehingga kebudayaan jasmani dan kebudayaan spiritualnya juga mungkin selaras untuk menunjang kebutuhan masyarakatnya. Contohnya adalah upacara Yadnya Kasada. Upacara Kasada aalah upacara untuk meluapkan rasa syukur atas hasil ternak dan hasil bumi yang melimpah.


Dan. Pada awal Juli nanti masyarakat tengger akan mengadakan upacara kasada. Upacara yang biasanya menjadi ajang pariwisata yang mendatangkan ribuan orang dari sudut negeri ini selalu ramai. Esensi spiritual yang tertangkap di layar kaca biasanya kurang dominan karena banyaknya manusia yang hadir. Kekhidmatan dalam bersyukur terdegradasi karena banyak pengunjung belum mengetahui esensi budaya spiritual ini sehingga dengan gampangnya datang dan sibuk berswa-foto atau hanya sekedar menjawab rasa penasaran terhadap upacara ini. semua dilakukan karena Bromo dan Tengger sudah menjadi salah satu destinasi ‘Pariwisata Internasional’. Memang dalam hal ekonomi negara, itu akan menguntungkan, lantas bagaimana dengan munculnya ajang pariwisata di dalam substansi budaya yang sakral? Tak bisa dinafikkan bahwa komodifikasi hadir dalam budaya yang sakral sekalipun.


Saya sebagai penulis sangat bersyukur rupanya Kasada masih tetap diadakan di tahun ini, dan pasti akan tetap ada selama masyarakat tengger masih membutuhkan. Dan hal yang membuat saya lebih bersyukur lagi adalah bahwasannya upacara Kasada yang akan diadakan di tengah pandemi ini hanya diperuntukkan masyarakat tengger saja, alias, upacara kasada akan dijalankan oleh pemeluknya saja dan tidak menghadirkan wisatawan. Hal ini merupakan sebuah simbol bahwasannya untuk sejenak, kebutuhan atas spiritualitas tidak lagi dicampur dengan kebutuhan pariwisata.


Maksud dari ini semua adalah bahwasannya Suku Tengger akan menjalani kebutuhan atas upacara kasada tanpa ada komodifikasi budaya. Tidak ada kepentingan-kepentingan di luar kepentingan ibadah. Inilah upacara yang normal dan seharusnya memang seperti itu.


Jauh sebelum adanya komodifikasi budaya, upacara kasada memang dilakukan secara khidmat dan hanya didatangi oleh penganutnya, tanpa embel-embel pariwisata dan tanpa ‘wisatawan’. Namun semenjak dijadikan menjadi destinasi wisata, semua berubah menjadi kepentingan pariwisata. Tentu saja substansi upacaranya sebagai sesuatu yang sakral tidak berubah, namun orientasinya pasti tidak hanya satu arah, melainkan banyak arah karena banyak pihak-pihak yang ikut campur dalam proses budaya ini.


Old normal, yadnya kasada akhirnya kembali kepada substansi budaya spiritual tanpa diirngi dengan kepentingan pariwisata. Walaupun hanya sejenak, setidaknya upcara kasada bisa kembali ke porosnya. Dan, suku tengger pun tidak merugi sedikitpun atas kebijakan ini. karena jauh sebelum destinasi wisata ditetapkan, mereka juga sudah menjalani kasada ini dengan tanpa ‘wisatawan’.

 


Tadi siang, ada pemandangan yang sudah lama tak ku lihat. Selepas dari swalayan untuk berbelanja kebutuhan rumah, aku melihat ada...





Tadi siang, ada pemandangan yang sudah lama tak ku lihat. Selepas dari swalayan untuk berbelanja kebutuhan rumah, aku melihat ada seorang bapak yang sedang ngarit di sekitar kompleks rumah. Hampir satu tahun aku tinggal di ibukota, dan baru kali ini aku jumpai seseorang yang masih ngarit. Berbeda dengan kehidupan di Jawa Timur, ngarit bukanlah hal yang langka, bahkan kegiatan itu sudah jamak dilakukan masyarakat.

Mungkin untuk orang kota, ngarit bukanlah hal yang istimewa atau bahkan dipandang sebelah mata. Maklum saja, tak banyak orang kota yang bisa angon peliharaan, karena semua sudah kenyang dengan perkantoran. Tapi keseimbangan selalu ada. Di Jawa, ngarit bukanlah sekedar rutinitas untuk mencari rumput saja. Atau bukan pula aktifitas mencari rumput untuk makan ternak saja. Ngarit mempunyai filosofinya tersendiri.

Memang, jika berbicara perihal ngarit, selalu ada kaitannya dengan ternak dan angon. Biasanya orang ngarit bukan untuk dimakan dirinya sendiri melainkan ternak yang kebanyakan adalah kambing dan sapi. Aku sering melihat orang-orang desa baik dari yang muda sampai ke yang tua, setiap siang menjelang sore, banyak yang menggiring ternaknya, biasanya kambing, menuju ke ladang. Ternak diikat di pasak untuk memakan rumput sekitaran. Sedangkan empunya sibuk membabat rumput liar untuk dibawa pulang. Dan aktifitas itu dilakukan setiap hari.

Sempat aku berbincang dengan seorang yang sudah lumayan sepuh, kami membicarakan ngarit saat itu. Di malam dengan ditemani secangkir kopi dan kacang-kacang yang membuat ketagihan.

Ngarit kuwi tegese ngasah wirid.”
(Ngarit itu artinya mengasah wirid)

Bapak itu kemudian melanjutkan,
Wirid iku kan kudu diulang-ulang. Laailahailallah diulang-ulang, alhamdulillah diulang-ulang, lan sakteruse. Tujuane wirid kuwi sejatine gawe makani ati. Mangkane wong jowo biasane sing sregep ngarit kuwi, yen gak ngarit sedino wae yo gak iso, sebab mengko ternake ora mangan, terus mati.”

(Wirid itu kan harus diulang-ulang. Mengucap Laailahailallah diulang-ulang, mengucap alhamdulillah diulang, dan mengucap kalimat-kalimat baik lainnya. Tujuan wirid itu sendiri hakikatnya kan untuk memberi makan hati. Itulah sebabnya orang Jawa yang biasanya rajin ngarit itu jika sehari saja tidak ngarit pasti gak bisa. Sebab jika sehari saja tidak ngarit, nanti ternaknya tidak makan, terus mati.)

            Mendengar penjelasan dari beliau, ikatan dipikiranku seakan terlepas, pertanda bahwa ada satu kunci yang akhirnya terbuka. Spekulasi dan pikiranku akhirnya menjalar kemana-mana, mencoba untuk meluaskan makna dari makna ngarit itu. Bayangkan saja, hanya melalui ngarit yang dianggap remeh oleh banyak orang, ternyata mempunyai makna yang luar biasa.

            Wirid itu harus diulang. Ya, jika ngarit hanya dilakukan sekali saja dan tidak berlanjut maka tentu saja ternak akan mati kelaparan. Wirid itu memberi makan hati. Ngarit itu untuk memberi makan ternak. Hati adalah hewan ternak kita yang harus kita beri makan setiap hari dengan wirid. Kita adalah penggembala yang tugasnya angon setiap hari. Dan tentu saja ngarit bukanlah hal kecil. Di era modern ini jelas saja jika hati sering merasa lapar dan tak tenang, kita memang lupa akan tugas kita sebagai penggembala yang harus angon setiap hari untuk memberi makan ternak kita, untuk memberikan kesempatan ternak kita hidup sampai lama.

Setiap manusia pasti pernah terluka, dan bagian paling menyiksa dari terluka bukan perihal ikhlas atau tidaknya hati kita. Bagian ter...




Setiap manusia pasti pernah terluka, dan bagian paling menyiksa dari terluka bukan perihal ikhlas atau tidaknya hati kita. Bagian terberat dari terluka adalah kenangan yang sering datang tanpa diduga.

Sore tadi, aku menuntaskan janji yang ku buat kemarin malam di salah satu grup WA ku yang isinya sohib-sohibku sedari kuliah sarjana. Rasanya, sudah lama kami jarang berkumpul dan bertatap muka. Tadi malam, tiba-tiba saja grup menjadi ramai dan candaan-candaan kecil dilemparkan. Maklum, seorang temanku baru saja putus setelah pacaran lima tahun, jadi bully-an kepada dia jelas kami senandungkan untuk menguatkan.

Sore tadi, janji yang kami buat berlima adalah mengobrol melalui aplikasi videocall. Dan tentu saja, sudah jelas apa agenda kami di perjumpaan online itu. Selain menyambung keakraban, kami juga ingin mendengarkan cerita patah hati dari seorang diantara kami. Alhasil, majelis patah hati pun dimulai.

Dalam obrolan, Rintang (nama samaran) menjelaskan dengan sangat detail dan gamblang tentang awal kecurigaannya pada kekasihnya. Hingga datang di klimaks ceritanya. Sebagai orang yang juga pernah merasakan patah, aku tidak banyak bertanya tentang hal yang mendalam, pertanyaan-pertanyaan ringan saja yang aku lontarkan, bukan karena aku paham perasaannya tapi aku juga pernah berada di situasi patah.

Patah hati itu wajar dan manusiawi. Terluka itu terlahir dari ekspektasi yang berlebih. Kehilangan itu muncul karena kita merasa memiliki. Satu hal yang membuat aku salut kepada cerita patah ini adalah Rintang menceritakan kejadian luka yang menimpa dirinya dengan tanpa menyudutkan pihak mantan kekasihnya. Dia menegaskan bahwa kami juga perlu menanyakan apa yang terjadi, dari sudut pandang sang kekasih, agar berimbang.

Aku jadi mereflksikan pernyataan ini kepada kisah ku waktu patah dulu. Saat patah, cara setiap manusia untuk menemukan healing process yang tepat pasti berbeda-beda. Jika aku dulu, aku memilih untuk tidak menceritakan kejadiannya kepada siapapun. Aku lebih memilih untuk berdiam. Aku juga tidak menyalahkan mantan ataupun siapa saja. Karena kedewasaan hati bukanlah perihal mencari siapa yang benar atau ‘aku yang paling benar’, melainkan menerima semuanya dengan ikhlas dan menjadikan pelajaran untuk melangkah ke depan.

Dan, aku juga bersyukur, mungkin kami berdua juga memilih untuk tidak menceritakan apapun kepada siapa pun. Respect.

Jadi, untuk semua saja yang sedang menjaga hati ataupun sedang patah hati. Ketahuilah bahwasannya orang yang kita saying bukanlah milik kita. Ketahuilah waktu yang kalian habiskan berdua akan menjadi tali yang mengikatmu saat waktu patah. Dan, ketahuilah bahwa kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Karena semua butuh pengorbanan, maka jangan menganggap hanya kita lah yang melakukan pengorbanan.

Salam Patah…..

Menurut W.H. Walsh, Sejarah itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia. Catatan itu meliputi tinda...



Menurut W.H. Walsh, Sejarah itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia. Catatan itu meliputi tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia pada masa lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti.secara garis besar, sejarah adalah pengalaman manusia dari masa lalu yang memiliki peran yang penting untuk masa sekarang. Jika kita sedang berbicara mengenai sejarah, maka kita tentu saja akan membahas dua poin penting; waktu dan kejadian.

            Waktu, akan selalu merujuk kepada masa dimana suatu kegiatan itu dilakukan oleh manusia. Sedangkan kejadian adalah aksi yang melekat pada waktu (masa lampau). Itulah mengapa dalam pelajaran sejarah di Indonesia ini, peserta didik selalu dicekoki dengan suatu peristiwa dan tahun kejadiannya, seakan itulah kunci dari sejarah. Namun tak bisa dipungkiri, memang ‘agak’ benar. Lalu bagaimana kita menggali kejadian yang sudah puluhan hingga ribuan tahun yang lalu? Apakah sejarawan benar-benar mengetahui kejadiannya sehingga Ketika muncul dalam suatu diskusi atau liputan, mereka benar-benar yakin menjelaskan dengan gamblang seakan mereka adalah saksi kejadian yang sudah beribu-ribu tahun itu.

            Tidak ada hal yang tidak mungkin, mungkin baga kita yang sering melihat konten Youtube tentang hal-hal supranatural, kita sangat sering mendengar istilah retrokognisi. Retrokognisi adalah sebuah kemampuan untuk mengetahui dan melihat dengan jelas kejadian yang sudah berlalu. Sebagai contoh, ada seorang indigo yang dapat menceritakan sejarah suatu desa dengan sangat jelas bahkan sangat detail, padahal ia baru saja mengunjungi desa tersebut. Ia bahkan dengan fasih menyebutkan tokoh-tokoh yang ada dan menunjukkan sudut-sudut desa yang kiranya menjadi tempat terjadinya kejadian penting di masa lalu. Apakah ia adalah sejarawan? Tidak, ia memang mempunyai kemampuan retrokognisi, dimana ia mempunyai kemampuan Kembali ke masa lalu untuk mengetahui apa yang benar-benar terjadi. Mengkhayal? Bisa jadi omongan yang saya ujar ini salah. Ini semua adalah perihal kepercayaan, dan saya tidak bisa memaksa bahwa kepercayaan saya yang paling benar. Kita bisa percaya atau tidak. Semua Kembali ke diri kita.

            Namun, hal yang membuat saya bahwa retrokognisi ini sebenarnya bukan hal yang mustahil adalah, bahwasannya retrokognisi adalah sebuah kemampuan yang mana semua hal itu bisa dipelajari. Kepekaan adalah kunci, dan bukti yang tertinggal juga berperan dalam mengasah kemampuan retrokognisi kita. Seorang sejarawan tidak mungkin bisa mengetahui dan menjelaskan sejarah suatu peristiwa atau tempat dengan sangat luwes tanpa mendapatkan insight dan bukti terhadap hal tersebut terlebih dahulu. Semisal, sejarawan tidak akan berani memberikan informasi di hadapan peserta seminar mengenai kerajaan Majapahit, jika tidak ada narasi mengenai Majapahit di dalam otaknya. Jadi, bacaan mengenai Majapahit, sumber sejarah seperti prasasti, surat Lontar, artefak kerajaan, arsip yang tersimpan, adalah cara sejarawan menyusun peristiwa di masa lampau, dan persepsi yang tersusun itulah yang menjadikannya sebuah kemampuan retrokognisi.

            Hanya saja, jika kita sedang membicarakan mengenai ilmu sejarah secara empiris, retrokognisi selalu dikaitkan dengan kajian yang ilmiah, sedangkan jika membicarakan mengenai kemampuan retrokognisi yang dilakukan oleh seseorang yang memang mempunyai kemampuan akan itu, maka kita selalu berbicara mengenai klenik. Padahal, bukankah di akhirat nanti mulut kita dikunci rapat dan semua yang pernah kita perbuat akan ditampilkan, tangan, kaki, rambut, batu yang pernah kita lempar, sandal yang pernah kita gunakan, pohon yang pernah kita sandari, semua akan menceritakan dan bersaksi mengenai kita semasa di dunia (masa lampau). Memori, bukan hanya milik manusia. Bahkan benda mati juga menyimpan memori. Bukan hal yang sulit untuk manusia pilihan Tuhan untuk mengungkap semua yang terjadi di masa lampau, karena semuanya berdzikir kepada Allah, dan semua bisa berkomunikasi. Orang Jawa sangat menjaga hubungan bukan dengan hanya manusia, melainkan alam semesta.

Memayu Hayuning Bawana, Memayu Hayuning Bebrayan.

Aku selalu percaya bahwa alam mempunyai cara tersendiri untuk berdialog dengan manusia, salah satunya adalah dengan wabah. Aku sebis...




Aku selalu percaya bahwa alam mempunyai cara tersendiri untuk berdialog dengan manusia, salah satunya adalah dengan wabah. Aku sebisa mungkin menjauhkan pikiran dan hatiku dari kata bencana. Entah, seperti terkesan bahwa manusia adalah entitas tunggal yang mengalami kerugian atas kejadian itu. Terlebih jika kata bencana itu sudah menjadi terminologi padat, bernama ‘bencana alam’, aku selalu berat hati menerimanya.

Kita sebagai manusia memosisikan diri kita sebagai subjek, sehingga melihat dari kacamata manusia. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dan melahirkan kerugian selalu kita sebut sebagai bencana. Apakah itu memang benar-benar adil saat kita sendiri mengabaikan aspek-aspek lainnya?

Beberapa hari yang lalu, aku berbicara Panjang lebar dengan wabah yang sekarang sudah menjadi pandemi ini. Aku tidak menyalahkan dan menyudutkannya. Aku bertukar argumen dan memohon kepadanya agar senantiasa bersabar memahami hati manusia yang masih saja belum merasa penuh dengan segala Hasrat dunia. Dan sebelum aku menceritakan lebih jauh lagi mengenai obrolan kami berdua, aku selalu mencoba mengingatkan kalian semua, bahwasannya tidak ada bencana alam, yang ada adalah alam dan semesta sedang menjalankan tugas untuk kembali mengatur keseimbangan yang sudah tidak seimbang akibat ulah manusia.

Saat kami mengobrol, aku ingat sekali bahwasannya hari sudah larut. Saking sepinya, aku tidak bisa mendengar apa-apa melainkan suara lirih yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Aku pun mengetahui bahwasannya semua kebisingan lirih ini bermula dari kerisauan makhluk kecil dari Tuhan yang selalu disudutkan. Aku tak mau dipandang jahat oleh mereka, sehingga akulah yang menyapa mereka semua terlebih dahulu.

“Salam, dari kami semua untuk kalian, wahai makhluk Allah yang teguh dalam Sunnatullah-Nya.” Aku menyapa mereka.

“Semoga keselamatan juga selalu menyertaimu.” Salah satu diantaranya membalas.

“Maaf dariku, karena kami, manusia salah paham terhadap kehendak Allah atasmu.” Aku memulai pembicaraan.

“Tugasku di bumi ini sudah sesuai kehendak Allah, segala prasangka dari kalian semua tidak akan membuatku marah ataupun tersanjung.”

“Sekali lagi, maaf atas sifat jahil kami yang belum bisa mempunyai kejernihan pikiran dan hati, sehingga setiap hari selalu ada saja diantara kami yang tergelincir.”

“Tugasku, tidak hanya menimbulkan ketakutan di dunia ini. Aku juga menebar pelajaran bagi setiap manusia yang rela bertafakur. Tugasku tidak hanya menebar kebencian, melainkan menunjukkan kepada manusia sebagai penyandang makhluk paling sempurna dari Allah, bahwa sejatinya, ibadah tidak berfokus pada wajah. Tugasku tidak hanya menebar kecemasan, aku hadir untuk mendidik manusia tentang keridhoan. Pentingnya ridho kepada Allah, agar Allah juga ridho terhadap manusia.”

Haturannya itu membuatku terdiam dan merenung. Aku yang seakan sudah tak sanggup menanggapi perkataannya hanya bisa tertunduk dan memikirkan semua kata dari Tuhan itu. Aku yang selama ini memahami bahwa menyembah Tuhan harus dengan syariat yang fisik dan saklek, kali ini dipatahkan dengan firman alam yang juga bersumber dari Tuhan.

Tuhan tidak membutuhkan sholat kita, Allah hanya membutuhkan keikhlasan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa menghadirkan sikap pasrah terhadap segala sunnatullah. Bukan sifat keras dan merasa paham atas segala ilmu sehingga mengucilkan lainnya.

Dan yang terpenting, alam tidak pernah sanggup menyakiti manusia. Ia hanya berusaha menghadirkan yang terbaik agar ia dapat menyajikan hidangan terbaik untuk kita manfaatkan. Memang itulah tugas alam yang dititipkan dari Allah untuk kita. Hanya saja kita terlalu tidak tahu diri untuk memahami ini semua.

Setelah renungan itu, aku beranikan diri untuk mengangkat kepalaku. Dan ku dapati wabah itu sudah pergi dari hadapanku. Suasana semakin sepi, rupanya tugasnya sudah usai. Dan perlahan manusia mendapat pelajaran berharga dari wabah yang mampir itu. Wabah itu, tidak kejam. Sapalah ia dan berdamailah dengannya. Ia adalah garis firman Tuhan yang dihantarkan melalui gelombang alam.

Bunuh Diri Sebagai manusia normal, wajar jika kita ingin hidup enak, menikmati banyak uang, rumah besar, masalah tidak berat-berat ...



Bunuh Diri
Sebagai manusia normal, wajar jika kita ingin hidup enak, menikmati banyak uang, rumah besar, masalah tidak berat-berat amat, apalagi jika masalahnya bisa diselesaikan dengan uang, pasti lebih nikmat lagi. Namun, rupanya yang demikian hanya ada di angan. Dambaan seperti itu hanya bisa dinikmati oleh imaji, dan untuk menikmati suatu hal dengan imaji, semua orang bisa. Tak harus kaya dan tak harus ber-ijazah.

Saya pernah merasakan bagaimana rasanya putus cinta, sungguh. Tidak enak. Galau tidak karuan. Skripsi mangkrak tiga bulan. Kejaran dosen pembimbing pun saya hiraukan. Ini beneran, teman satu kontrakan lah saksi ketika saya pada keadaan seperti itu. Tapi, dalam kegalauan itu, saya juga selalu mencari cara bagaimana Self-Healing versi saya. Akhirnya saya menemukan cara yang saya bisa menikmatinya. Proses dan waktu. Sungguh, itulah diges atau intisari dari semuanya. Keberhasilan Self-Healing yang saya terapkan, akhirnya menghantarkan pada saya yang sekarang. Hasilnya apa? YA SAYA JADI JOMBLO LAH.

(Ini hubungannya apa ya sama topik bunuh diri kita?)

Diam dulu, itu namanya prolog.

Cerita dimulai………..

Bunuh Diri Sedang Tren

Akhir-akhir ini, bunuh diri menjadi tren dikalangan masyarakat dunia. Mulai dari penyanyi hingga artis, bahkan rakyat biasa. Untuk menangani masalah seperti ini, rupanya sangat bahaya jika salah langkah. Sungguh, mengecam tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu kedewasaan yang sangat luar biasa untuk menghadapi prolema seperti ini. Sama hal nya dengan seorang teman saya. Berawal dari putus cinta, entah kehidupannya menjadi kacau-balau. Cara piker dan ritme hidupnya menjadi berantakan. Bingung akan arah.

Saya bisa sedikit mencicipi perasaannya, karena saya juga pernah putus cinta. Bedanya, dia sudah menjalin asmara lebih dari enam tahun. Sedang saya, ah masih seumur kecambah, jika dibandingkan dia. Pantas saja, jika dia sangat depresi. Hampir setiap hari, pagi-siang-malam saya medapat curhatan dari dia yang monoton. Itu-itu saja. Jujur, sebenarnya saya malas dan bosan meladeninya. Namun, akan sangat salah jika saya meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Karena, resikonya sudah jelas, kenekatan bunuh diri.

Entah apa yang ada dalam pikirannya, sehingga masalah yang nampaknya biasa saja bisa menjadi kronik seperti itu. Berawal dari ditinggal sang kekasih, lalu melebar masalahnya hingga ke cita-cita, dan masalah keluarga besarnya. Padahal, kalau masalah masa depan, saya bisa bilang, dia punya kemampuan yang sangat untuk mewujudkan. Namun, dia merasa hopeless and helpless. Merasa dirinya tak berbakat, tak punya cita-cita, dan tak punya alasan untuk hidup lagi, karena dia sudah merepotkan banyak orang. Pikirnya seperti itu.

Tidak, ia tidak bodoh dalam pilihannya untuk bunuh diri. Dia hanya belum menemukan Self-Healing versinya. Sehingga, akan terasa picik bagi saya jika saya mengabakannya. Namun, saya punya cara yang unik dalam membantunya menemukan dan mengantar pada Self-Healing nya.

Andai orang seperti dia, yang nekat bunuh diri ini ditangani oleh orang yang judgemental dalam urusan sosial dan urusan agama. Mungkin tak selamat ia hingga hari ini. Bukannya mendapat Self-Healing, namun malah dikecam, “Bodoh kamu, ngapain bunuh diri. Haram. Kafir kamu. Goblok. Gak masuk surge kamu.”

Jujur saja, kita yang dalam keadaan normal dan tidak dalam masalah, dicaci maki, bagaimana perasaannya. Senang, langsung ngakak dan joget-joget di tengah jalan tol sambil kayang dua ribu kali? Tidak kan. Pasti marah, jengkel, sedih. Nah, jika ada orang yang begitu judgemental mengurus orang yang ada masalah dalam perasaan dan tidak bisa berpikir jernih, apa yang akan terjadi? Bisa-bisa besoknya saya jadi melayat.

Kalian tahu, seberapa kronisnya dia dalam masalah ini? Dia sampai ke psikiater, sempat cerita ingin minum baygon, sempat ingin ke Palestina buat bantu disana. Hmm..yang terakhir nih seharusnya bagus sih, tapi saya larang, karena orang yang masih seperti dia boro-boro bantuin orang, bantu diri sendiri belum bisa. Hehehehe. Btw, saya sudah ijin ke dia untuk menulis kisahnya disini. Jadi sudah aman. Sekarang saya ngatain dia goblok juga gak masalah. Karena insya Allah, dia sudah sembuh. Goblok pancen arek e, duh duh.


Inti Cerita Bunuh Diri

Jadi, hampir setiap hari dia chat saya. Saya termasuk beruntung, karena menjadi satu dari beberapa temannya yang direpoti. Dan anehnya, setiap chat dengan saya, dia selalu mendesak saya agar saya bilang bahwa ‘Bunuh Diri’ itu diampuni. Saya tak pernah membalas ucapannya dengan dalil, karena memang saya gak hafal (ehe he he he #KetawaMamahDed*h). ketika dia sudah membahas masalah bunuh diri, saya selalu mengajak diskusi ringan tentang cara-cara biar dia tidak seperti itu. Mulai dari saya suruh membaca Dzikir pagi-petang dahulu. Apakah ada hadist nya? Tidak. Karena dia berkata bahwa galau nya itu biasanya saat pagi, moleh sebab itu saya suruh membaca Dzikir pagi-petang untuk mengisi waktu, supaya gak galau. Tujuan saya Cuma itu saja. Mending kan? Daripada saya suruh dia buat main petak umpet sama Satpol PP.

Beberapa hari setelah saya meminta dia untuk membaca Dzikir, dia chat saya, katanya masih taka da pengaruh. Saya tak habis akal, saya bilang saja bahwa kalau masih beberapa hari ya jangan berharap efeknya. Lalu saya minta dia baca Dzikir tersebut selama satu minggu dulu, kalau masih belum, saya suruh sampai satu bulan. Itulah trik supaya saya gak terbebani oleh dia yang merepotkan, dan bebas dari tugas mencarikan alternatif lain.

Curhatan galau dan bunuh diri masih berlanjut, sangat lama. Kadang ketika dia chat lama sekali, kemudian saya tidak membalasnya. Memang sengaja, karena saya ingin dia perlahan mencari jalan keluarnya sendiri. Entah itu berhasil atau tidak, bodoamat. Saya bisa ringan ngrasani dia disini dengan bahasa yang sinis dikarenakan saya percaya saat ini dia sudah sembuh. Sembuhnya kenapa?

Jadi, dia sembuh dengan cara yang luar biasa. Karena Umroh. Setelah pulang umroh, 180 derajat dia berubah menjadi sosok periang. Hidupnya mulai tertata kembali. Percintaannya mulai terbangun kembali. Namun, saya masih takut dia menjadi edan. Karena dia menjadi gampang senyum dan tertawa. Menganggap semuanya adalah guyonan Allah. Jadi, saya bahkan sempat berpesan kepada dia, kalau terjadi apa-apa sekecil apapun, saya meminta dia untuk cerita ke saya. Karena sungguh, saya takut dia menjadi gila.
           
Hidupnya sudah rapi sekarang. Malah, hidup saya yang menjadi berantakan. Hehe……

Jadi, kita dapat mengambil suatu pelajaran untuk melapangkan intuisi kita dan rasa kita untuk lebih objektif dan tidak menjadi seorang pengadil kepada orang yang tak patut untuk diadili. Kenapa jika orang tersesat, kita sibuk mengutuknya? Kenapa tidak kita rangkul, kita tuntun, kita tolong untuk menuju cahaya bersama.
  

Kita tidak pernah tahu masalah, dan rasa yang oranglain rasakan. Seperti di pembahasan sebelum-sebelumnya. Sangat rentan jika masalah sensitif seperti ini, dicairkan dengan hujatan. Maka, tetap, mari bersifat penuh rasa positif, objektif, dan hadirkan rasa simpati dan empati. Itu kunci menjadi pribadi yang disegani Sang Kekasih Illahi Rabbi.


Dan untuk teman saya yang saya ceritakan disini, tolong, Ojo Gendeng. Ohiya…tambahan…dia perempuan. Yakali, masak saya bantu sampai intens kayak gitu ke cowok. Emangnya saya cowok apaan. Ihhh jijay……..

Dari Ruqyah Hingga Bunuh Diri Jika Part 1, saya bercerita lebih tentang pengalaman saya. Yang berarti, saya berperan sebagai center ...



Dari Ruqyah Hingga Bunuh Diri
Jika Part 1, saya bercerita lebih tentang pengalaman saya. Yang berarti, saya berperan sebagai center dari sebuah cerita. Lain lagi dengan Part 2 ini, disini, saya akan mencoba lebih melakukan eksplorasi dalam menempatkan suatu pengalaman sebagai center, atau core.

Saya punya teman, bahkan sahabat, yang dekat denga saya sejak SMA. Saat itu, kami kuliah di Malang, satu kos, satu kamar tidur, satu ranjang. Tunggu, saya bisa jelaskan. Kami bukan maho. Kami memiliki track record dalam mempelajari agama yang bisa dibilang sama. Bedanya, dia jauh lebih sholeh dari saya. Dalam kisah ini, saya sebut dia Badrun.

Badrun, riwayat spiritual mistis nya, leluhur-leluhurnya dahulu mempunyai ilmu (metafisik). Karena memiliki bawaan ilmu ghaib, ada seorang tokoh agama yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang menempel dalam dirinya. Bisa dibilang, sosok ‘jin warisan’ (asyik ya, kini bukan hanya bisnis MLM saja yang bisa diwariskan, namun Jin pun bisa diwariskan). Badrun sampai pernah melakukan ruqyah dengan seorang Kyai. Sang Kyai tersebut berkata, bahwa masih ada barang warisan leluhur yang masih tidak netral, keluarga Badrun diminta untuk membakarnya.

Tak kunjung sembuh. Biasanya, di kos, kami berdua melakukan Ruqyah mandiri. Dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang kami dapatkan dari seorang tokoh agama, dan juga beliau membuka praktik pengobatan Nabawiah gitu, namanya Bekam (Bukan David Bekam lo ya). Biasanya, setiap satu atau dua bulan, kami datang ke kediaman beliau untuk melakukan Bekam, dan kami dapat gratis (maklum, kelakuan anak kos).

Saat itu, Badrun berkeluh kesah, bahwa ia sering bermimpi dengan seorang wanita yang ia tak kenal. Memang, Badrun kalau tidur sering aneh, ia sering meringik-meringik seperti orang meminta tolong, dan juga giginya selalu di kerut-kerut ­hingga berbunyi. Ia mengadu, bahwa ia sering bermimpi wanita yang tak ia kenal, dan itu secara terus menerus. Akhirnya, Sang Ahli bekam yang akan saya sebut, Pak Bekam, bercerita bahwa indikasi seperti meringik dan mengkerutkan gigi, atau bermimpi dengan lawan jenis, adalah indikasi Jin. Karena, istri belaiu juga sering seperti itu, bahkan dalam skala yang bisa dibilang sudah parah. Dalam mimpi, jika lelaki, akan bermimpi perempuan, begitu juga sebaliknya. Seorang tak dikenal itu akan mengajak kita, dan jangan sampai kita meng-iya-kan ajakannya. Berkat Ruqyah mandiri dan bacaan Al-Ma’tsurat setiap pagi dan petang, akhirnya istri belaiu sudah normal kembali dan dalam tahap bermimpi dengan jin tersebut, namun ia berhasil melawan (menolak). Akhirnya, Badrun diberi buku bacaan Ruqyah yang selalu kita baca setiap harinya.

Keadaan semakin parah, setiap hari kami membaca Ruqyah untuk diri kami, muntah, sudah biasa. Karena setiap kami membaca ruqyah, pasti muntah, seperti yang di tipi-tipi itu. Dan juga, itu indikasi bahwa Jin tak kuat. Namun ada suatu masa, saat itu malam jum’at, kami Sunnah Rasul, hmm…kok ambigu ya. Maksud saya Sunnah Rasul menuntut ilmu, kami baru saja pulang dari kajian mingguan di salah satu masjid di daerah Sukun, Malang. Setelah sampai kos, saya mencuci beras (ngususi) di kamar mandi untuk dimasak, sedang Badrun, membaca ayat-ayat Ruqyah. Tiba-tiba saat di tengah-tengah bacaan, ia membungkuk dalam duduknya seakan pundaknya ada yang menekan, memanggil-manggil saya meminta tolong. Sontak, saya langsung meninggalkan beras itu dan lari ke kamar. Memegang pundaknya, sambil membaca ayat-ayat tertentu. Dia, masih dalam keadaan seperti menangis, seperti keberatan, mulutnya tak bisa mengucapkan ayat dengan jelas. Masih dalam keadaan tangan saya memegang pundak nya, diiringi membaca Ayat suci, setelah itu saya tebaskan tangan saya seakan membuang sesuatu kearah luar kamar, seperti acara-acara paranormal di TV. Badrun, sudah mulai longgar. Keren juga saya ya, but, ini nyata, tanpa ada script, dan kamera tersembunyi.

Kejadian itu, membuat jantung saya berdebar agak kencang dari keadaan normal. Tubuh saya ikut berat. Saya bertanya kepada Badrun, ia menjelaskan bahwa seperti ada orang yang sangat kuat, menekan pundaknya, sehingga ia sampai membungkuk. Memang, Pak Bekam berkata, kalau kita istiqomah membaca ayat ruqyah, mereka akan tidak kuat dan cenderung menyerang. Kali ini, kami membuktikan. Setelah peperangan itu, kami berdua berwudhu, setelah sholat sunnah beberapa raka’at, kami tidur. Namun, saya tak bisa tidur, karena merasa bahwa yang saya buang keluar tadi, masih menatap kami berdua. Saya tak bisa melihat benda seperti itu, namun kita semua pasti pernah punya feeling bahwa ada seseorang yang mengintai atau menatap kita. Saya merasakan hal seperti itu.

Hal yang dapat diambil hikmah adalah, “Hasbunallah wa ni’mal wakil”. Tak perlu kita meminta-minta kekuatan, keuntungan kepada yang selain Allah. Kita harus mandiri, berdaulat atas diri. Ciptakan jalan yang hanya dua arah saja, kita dengan Allah, dan Allah dengan kita. Karena jika tauhid sudah bercabang, cabang itu akan membawa banyak hal untuk di Tuhan-kan.

Menganggap harta bisa menolong, menganggap jabatan sebagai penolong. Itu semua adalah kesyirikan, dan penghinaan atas Tuhan. Wadaw, kok saya jadi ceramah, bukan ranah saya ini. Ampuuun……

Jadi, Badrun ini sekarang sudah membaik. Tidurnya tak kerut-kerut lagi, tak meringik lagi, dan tak bermimpi wanita aneh lagi. Diantara manusia di luar sana, ada kisah, yang kita awalnya tak percaya. Namun, itu nyata. Diluar sana, ada manusia dengan kisah yang dijalaninya, berusaha mencari solusi terhadap titik pemahaman atas segala problematika.

Kita tidak perlu memahami semua hal. Karena, manusia seperti Badrun ini selamat karena ketidaktahuannya atas situasi tersebut. Di tengah kefakirannya, Allah Yang Maha Tahu membantunya. Berikan sifat maklum, kepada siapapun. Kita tidak tahu, dalam dirinya, mungkin ia sedang berperang. Sehingga ia merasa tertekan dengan situasi itu. Dan, diantara manusia, selalu ada saja kisah yang kita tak perlu tahu, tapi itu pasti ada.

***
Part 3, akan membahas seorang teman saya yang ngeyel ingin bunuh diri. Dan meminta saya agar sepaham dengan dia, bahwa bunuh diri itu diampuni. Saya akan tulis cerita part 3 dalam dua hari kedepan. Makasih uda mampir, para manusia baik!!! Mau saya Ruqyah? Siapkan mahar 50 juta. Hehe, bercanda. Nggak 50 juta kok, 70 juta saja. (Maaf kalimat penutupnya jelek, diduga, penulis sedang mabuk Air Tajin).

Manusia, sebuah makhluk karya Agung dari Tuhan, yang jika dibanding makhluk lain, manusia lebih imajiner, lebih kompleks, lebih tak...




Manusia, sebuah makhluk karya Agung dari Tuhan, yang jika dibanding makhluk lain, manusia lebih imajiner, lebih kompleks, lebih tak bisa diatur, lebih mudah diatur. Karena alasan apapun, ia tetap menjadi karya paripurna Tuhan, sebagai makhluk sempurna.

Diantara manusia, ada ribuan cerita. Yang kita barangkali tak pernah tau semuanya. Juga, diantara manusia ada sifat-sifat anehnya. Yang kita barangkali membencinya. Dalam diri manusia, ada yang tak sama dari kita. Yang mungkin kita paksakan untuk sama dengan standar kita. Saya mohon, biarkan ke-aneka-an itu tetap ada. Agar, manusia masih bisa disebut manusia.

Saya, yang menulis tulisan ini, hidup diantara kepungan manusia yang sangat istimewa, karena saya pribadi, selamanya tak akan sanggup menjadi manusia lain. Saya, autentik menjadi manusia yang seperti ini. Dan manusia lain, pasti menjadi manusia lain. Terlepas seberapa besar usaha kita meniru yang lain, itu akan tetap basi.

Diantara manusia, saya belajar. Belajar banyak hal; akademik, spiritual, bahkan belajar menjadi manusia. Diantara manusia, saya temukan sebuah berlian pemahaman. Pemahaman, hanya bisa berjalan jika ada perbedaan. Jika semua dituntut sama, dari mana kita belajar untuk paham. Dan, dalam tulisan ini, akan ku goreskan sebuah cerita unik dari manusia-manusia (hasyem bosone kok alay ya, ku goreskan, koyok bocah labil).


Dari Dikira Sesat Hingga Minta Amalan

Satu Cerita Manusia
Kita tidak perlu tahu semuanya dalam hidup ini. Pemahaman yang diambang batas wajar justru akan mempersulit hidup kita. Sebagaimana kejadian-kejadian yang saya alami, banyak hal-hal diluar dugaan yang kita belum tahu ilmunya datang dalam hidup kita. Cara menyikapinya, tak perlu dengan sepenuhnya mengandalkan ilmu, cukup dengan cinta dan kasih, then, Let God do the rest.

Ketika SMA, saya pernah bergabung dalam suatu Jama’ah dalam Islam, yang justru dari situ lah saya banyak mengetahui dan belajar Islam lebih dalam. Namun, anehnya banyak golongan yang menjelek-jelekkan golongan yang saya ikuti karena, menurut saya, hanya masalah berbeda. Sejauh ini, saya berani mengatakan bahwa golongan tersebut bukan sesat. Sampai sekarang, saya masih mengikuti kegiatannya (Walau sangat juaaaaaaarang sekali). Dalam golongan tersebut, saya belajar banyak hal. Berpakaian gamis, celana cingkrang, berjenggot, sudah menjadi hal yang lumrah dari sejak saya SMA. Namun sekarang kenapa heboh sekali masalah itu. Saling serang sana-sini, menuding-nuding, golongannya yang paling benar.

Dalam mengikuti jama’ah tersebut, saya diperlakukan seperti benar-benar saudara. Mereka semua baik, saya tak perlu meragukan hal itu. Mereka semua penuh keikhlasan. Bahkan, saya benar-benar merasakan Iman, karena mereka. Perlu diketahui, saya ini rusak, penuh dosa, jika tanpa kehadiran mereka, tak mungkin saya bisa diangkat dari jurang kala itu.

Anehnya, manusia saat ini berdakwah dengan mengandalkan atribut. Yang dilihat atributnya, gamisnya, pakaiannya. Seakan kurang memahami inti ajarannya. Gamis dan cadar dikira teroris. Padahal letak niat untuk melakukan teroris bukan pada atribut, melainkan hati. Siapa yang bisa membaca hati? Atribut menjadi penentu untuk diterima atau tidak. Letak kesesatan, bukan pada atribut yang ia kenakan. Letak radikalis, bukan pada cadar, gamis, jilbab panjang. Apa salahnya mereka bercadar, mungkin dari sana, ia menemukan Islam versinya. Dan tak perlu menghina yang tidak bercadar. Mungkin disana ia mulai berproses. Menjadi lebih baik. Karena beratnya usaha setiap orang taka da yang tahu kecuali dirinya. Maka jangan mengjina. Dan Diantara Manusia, Ada Yang Sibuk Dengan Prasangkanya.


Dua Cerita Manusia
Suatu hari, saya pergi ke kampus. Jaman maba dulu, image saya masih tergolong alim (ini bukan saya kepedean, saya bisa berkata seperti itu karena teman-teman saya. Sebenarnya saya jijik menyebut diri saya sebagai alim). Ke kampus, selalu membawa Qur-an kecil, saya letakkan di dalam tas. Setiap hari menghafal satu ayat. Karena dulu jamannya One Day One Ayat dari ustad Yusuf Mansur.

Saat di kampus, sore itu, tiba-tiba datang seorang teman perempuan, dengan nangis, ia meminta amalan atau lebih tepatnya, ia harus ngapain. Ia baru saja menjadi korban pencurian. Kos nya dibobol, dan beberapa barang berharganya ludes.

Bingung, karena saya tidak tahu, harus memberi dia apa. Akhirnya, saya hanya meminta dia untuk ikhlas. Tapi, rupanya ikhlas itu tak mudah. Beberapa waktu setelah kejadian itu, Laptop yang baru saja kubeli sekitar dua bulan dengan uang yang ku kumpulkan sendiri, HILANG. Saat itu, banyak sekali ucapan yang meminta saya ikhlas. tapi, dalam hati saya berkata,

            “Matane…ikhlas…ikhlas….jek anyar iki. Ngomong ikhlas gampang, cuk.”

Sungguh, ucapan ikhlas tak membantu saat itu. Saya salah, saya mengecewakan teman saya. Setidaknya saat saya meminta teman saya untuk ikhlas, saya juga sudah melukai hati kecilnya. Karena saya juga sedikit terluka saat banyak ucapan ikhlas datang ke saya yang baru saja kehilangan laptop.

Namun, seiring berjalannya waktu, keikhlasan itu datang sendiri. Ia hanya perlu waktu, dan proses menuju ikhlas tidak sama. Pasti, teman saya yang kemalingan , saat ini sudah menemukan ikhlas versinya. Dan mendapat ganti yang lebih bagus.

Diantar            a manusia yang terkena musibah, ada hal yang perlu ditekankan, bantuan moril sangat penting. Namun, empati dan simpati kita akan lebih membantu jika kita sudah menyatukan frekuensi dengan Sang Penerima Musibah. Ikhlas tak perlu diingatkan, ia akan datang dengan proses autentiknya sendiri. Terlebih, ucapan ikhlas kepada penerima musibah, tidak menjadikan perasaannya membaik. Justru akan lebih menekankan situasi dan kondisi, bahwa ia sedang terkena musibah. Alangkah lebih bagus, jika bantuan moril dan simpati, kita alokasikan dengan menemani sang penerima musibah dan membantu mencarikan suatu hal yang sekiranya bisa melampiaskan rasa nya saat itu.

Dan diantara manusia yang berbeda, ada satu hal penting, bahwa Manusia Butuh Merasakan Hal Yang Sama Untuk Merasakan Apa Yang Orang Lain Rasakan, Agar, Kita Tahu Alasan Kenapa Manusia Itu Berbuat Demikian.

***
Kali ini, saya berbicara mengenai manusia. Dua cerita. Sisanya, seperti meruqyah teman, hingga seorang teman yang ngeyel untuk bunuh diri, akan saya tulis dalam dua atau tiga hari kedepan.

Sampai sini dulu ya manusia, yang saya bisa melihat, bahwa dalam diri kalian akan selalu ada yang istimewa. Temukan perbedaan untuk menambah pemahaman, dan temukan pemahaman dalam perbedaan untuk menyatukan. Jangan goyah gais, kita semua manusia baik. Selalu berbuat baik!!!!!