Showing posts with label Islam. Show all posts

  Dogma rupanya sudah menjadi masalah tersendiri dalam beragama. Entah sejak kapan Islam dibelenggu oleh dogmatisme semacam ini. Padahal...


 

Dogma rupanya sudah menjadi masalah tersendiri dalam beragama. Entah sejak kapan Islam dibelenggu oleh dogmatisme semacam ini. Padahal, Allah dan rasul-rasul tidak pernah mengajarkan dogmatisme itu. Beragama dengan dogma berarti beragama dengan ‘memaksakan’ kehendak. Orang yang dianggap pintar akan mengirimkan ajarannya kepada murid-muridnya secra kaku , persis, dan seutuhnya. Hal ini seakan membuktikan bahwa substansi agama selalu bersifat statis.

 

Tidak boleh ada perbedaan dalam beragama. Para ‘pemuka-pemuka’ agama seakan menanamkan doktrin bahwa dalam beragama harus tegas namun tanpa didasari oleh dinamika berpikir. Doktrin-doktrin sering digelontorkan untuk menanamkan dogma kepada para murid atau yang menuntut ilmu.

 

Hasil dari sistem dakwah yang dogmatis ini akhirnya membuat rasa primordial yang tinggi. Menganggap bahwa golongannya adalah yang paling benar, merasa bahwa ustadznya adalah yang paling benar, bahkan hal yang lebih ekstrim lagi adalah bukan hanya merasa paling benar, namun menganggap kafir saudara-saudara muslim yang di luar dari halaqohnya.

 

Padahal secara gamblang, Allah sudah beberapa kali berfirman dalam Al-Qur’an agar beragama tanpa paksaan karena agama merupakan sebuah fitrah, dan fitrah sudah pasti tidak terikat oleh doktrin. Dalam surah Ar-Rum ayat 30, Allah menjelaskan bahwa agama adalah fitrah, kemudian dalam surah Al-Baqarah ayat 256, Allah menjelaskan bahwasannya tidak ada paksaan dalam beragama. Dan surah Yunus ayat 99 yang menjelaskan tentang kesia-siaan memaksa orang lain dalam beragama.

 

Dari sinilah kita seharusnya mulai membuka pikiran mengenai beragama dengan akal sehat, dan bahwasannya agama bukanlah mengenai doktrin yang kaku yang membenarkan jalan yang lurus hanya bisa dilalui dengan satu cara saja. Hal ini tentu saja selaras dengan peran Nabi Muhammad sebagai Rahmatan lil ‘alamin. Selain itu, alangkah lebih baiknya kita juga mengetahui apakah indoktrinisasi juga hidup saat para utusan Allah menjalankan peran beragama.

 

Jika bercermin kepada kehidupan Rasulullah, beliau bahkan tidak pernah memaksakan dalam beragama, atau beliau bahkan tidak pernah meneladankan untuk menjadi sama persis seperti beliau. Karena sebenarnya beliau paham setiap manusia memiliki pembawaan dan kemampuan yang berbeda-beda. Hal yang terpenting adalah substansinya dan bukan ritualnya. Maka sejak beliau hidup, beliau tidak pernah memaksa para sahabatnya untuk bersikap seragam. Bahkan, sampai cara sholat pun Rasulullah hanya mengatakan “Sholatlah kalian sebagaimana melihat aku sholat.” Tentu saja perkataan itu multitafsir dan tidak ada kebenaran tunggal. Dari situlah keberagaman keluar. Ulama memiliki keberagaman pandangan dan penafsiran. Semua itu terjadi karena fitrah kebenaran bukan hanya dari satu pintu.

 

Beragama dengan akal

 

Allah berkali-kali mengingatkan bahwasannya akal dan pikiran adalah hal yang penting dalam beragama. Akal dan pikiran juga merupakan aset yang penting untuk manusia. Lalu mengapa kita masih sering salah kaprah dalam beragama? Memang ada konteks yang tidak cukup menggunakan akal, perlu adanya iman. Hal-hal muamalah seharusnya masih dapat ditampung dengan akal pikiran. Sedangkan hal-hal yang manusia masih belum mampu menemukan jawaban, tentu perlu kita Imani. Jadi dalam konteks ini akal sehar digunakan untuk membuat peran agama bukan hanya perkara iman, melainkan juga cakrawala berpikir untuk mempertajam kecerdasan.

 

Oleh karena itu Allah selalu menggambarkan para utusan-Nya yaitu para Rasul dan Malaikat sebagai makhluk yang berakal dan cerdas. Hal ini juga digambarkan dalam surah An-Najm ayat 1-6 yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mendapatkan wahyu bukan karena hawa nafsunya, melainkan wahyu tersebut turun dari Jibril yang mempunyai akal yang cerdas dan diajarkan kepada Nabi Muhammad. Dalam konteks ini kita dapat menggarisbawahi bahwa Allah menggambarkan Jibril sebagai utusan yang mempunyai akal yang cerdas. Lalu mengapa masih banyak diantara kita yang masuk dalam lingkaran dogma?

 

Akal merupakan modal penting dalam beragama, bahkan Al-Quran diturunkan untuk orang-orang yang berakal agar dapat mengambil pelajaran, sesuai dengan surah Ibrahim ayat 52. Jika jalan menuju pembelajaran saja sudah dimonopoli oleh ‘pemuka agama’, lalu kebenaran yang mana yang akan kit acari dan dapatkan? Agama tidak lagi menjadi alternatif belajar, melainkan menjadi sarana penanaman doktrin yang menyeramkan dan kaku.

Afala ta’qilun, apakah kamu tidak menggunakn akalmu?

Afala tatafakkarun, apakah kamu tidak berpikir?

 

Dua pertanyaan dari Allah itu seakan menampar kita sebagai manusia untuk mengoptimalkan kerja akal dan pikiran kita dalam beragama. Karena tanpa akal dan pikiran, agama hanya akan menjadi candu yang memabukkan dan dogmatis. Kontrol dari itu semua hanya ada pada akal dan pikiran.



Banyak yang mempunyai persepsi ‘mistis’ jika mendengar kata Kejawen. Satu kata yang diasosiasikan sebagai laku-laku spiritual yang penuh den...


Banyak yang mempunyai persepsi ‘mistis’ jika mendengar kata Kejawen. Satu kata yang diasosiasikan sebagai laku-laku spiritual yang penuh dengan ghaib khas orang Jawa ini rupanya mempunyai cerita panjang dan salah tafsir. Tidak heran jika banyak diantara kita yang mengetahui bahwasannya laku spiritual orang Jawa adalah Kejawen, mungkin karena namanya ada jawa-jawanya kali ya. Padahal Kejawen bukanlah hal yang seram dan mencekam.


Konsepsi pertama adalah, jika membicarakan mengenai laku spiritual khas Jawa atau Nusantara, maka kejawen bukanlah sebuah terminologi yang cocok. Karena kejawen sendiri baru muncul saat era Wali Songo. Dalam buku Ketua Les Bumi NU, Agus Sunyoto, beliau menjelaskan bahwasannya agama asli Jawa adalah Kapitayan, dan bukan animism, dinamisme, atau kejawen.


Lalu, sebenarnya dari mana datangnya istilah Kejawen ini?


Dalam artikel kali ini, penulis mendasarinya dari sumber yang terpercaya, yaitu sebuah Induk Ilmu Kejawen yang ditulis oleh Damar Shasangka. Isi dari buku tersebut adalah terjemahan dari kumpulan Wirid Hidayat Jati, sebuah informasi-informasi Kejawen dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan diteruskan oleh Kanjeng Sultan Agung Prabhu Anyakrakusuma dandilanjutkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita.


Wirid Hidayat Jati adalah rujukan utama bagi penganut Kejawen. Jika ditelusuri, Kejawen pada mulanya diprakarsai oleh para Wali Songo. Karena pembawanya adalah para Wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, tentu saja aromanya adalah Islam Tasawuf. Ajaran Kejawen bahkan ditulis dengan Bahasa Jawa baru dan naskah-naskah aslinya masih disimpan rapi di Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Pakualaman, Mangkunegara, dan Kecirebonan.


Perkembangan selanjutnya, karena ketidaktahuan masyarakat umum, Kejawen dianggap sebagai sebuah aliran di luar dari Islam. Sehingga biasanya yang mengaku sebagai Kejawen akan dikucilkan karena mendapat stigma negatif dari golongan selainnya. Hal ini akhirnya juga mengakibatkan putusnya hubungan mereka dengan Islam, dalam artian, penganut Kejawen juga akhirnya memisahkan diri dari Islam. Di abad ke-19, dimana hubungan antara Kejawen dan Islam memburuk, akhirnya muncul sebuah wacana ahistoris yang mengaburkan sejarah dan menyatakan bahwasannya Kejawen adalah agama asli Jawa.


Oleh karena itu, dengan mengacu kepada sejarah, alangkah baiknya definisi Kejawan diluruskan. Dan, atas dasar itu pula perlu mempertimbangkan fakta-fakta sejarah mengenai Kejawen, diantaranya adalah. Satu, Kejawen pada mulanya dibawa oleh para wali dan bukanlah ajaran asli Jawa karena tidak dijumpai istilah Kejawen pada lontar-lontar Majapahit atau kerajaan-kerajaan di atas majapahit. Dua, Kejawen adalah ajaran dengan substansi Islam karena banyak sekali dijumpai naskah-naskah yang saat ini juga masih disimpan rapi di keraton-keraton.


Sebenarnya, nama Wirid Hidayat Jati sendiri adalah nama yang diberikan oleh Ranggawarsita yang mengumpulkan wejangan-wejangan ilmu kejawen. Dan secara konotasi, Wirid Hidayat Jati mempunya arti yang luas dan besar. Wirid sendiri berarti sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan dilakukan secara terus-menerus. Sedangkan hidayat berarti petunjuk, sebuah kata dari Bahasa Arab. Dan, jati adalah kata yang berasal dari kata sejati dan memiliki arti yang sesungguh-sungguhnya, atau sebenar-benarnya. Jika digabungkan maka makna dari Wirid Hidayat Jati sendiri kurang lebih ‘wejangan yang berisi petunjuk kebenaran untuk memicu para hamba agar senantiasa beribadah kepada Allah.’


Namun, sebelumnya Wirid Hidayat Jati ini sering dikenal dengan berbagai macam sebutan, diantaranya adalah Ngelmu Kasampurnan, Ngelmu Kak (Ilmu Haq), dan Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi. Tetapi sebenarnya istilah-istilah tersebut juga dapat ditemui dalam Wirid Hidayat Jati.


Yang terakhir adalah, sesungguhnya yang disebut Kejawen adalah ajaran-ajaran yang tertulis dalam Wirid Hidayat Jati. Jadi, tidak benar jika kita memberikan stigma bahwa kejawen adalah agama asli jawa atau kejawen terlepas dari substansi keislaman. Justru kejawen adalah corak Islam tasawuf yang disebarkan oleh para wali songo.


Bagi para santri, kiai adalah simbol keteladanan dalam bertauhid dan berjihad dalam jalur ilmu. Oleh sebab itu tidak jarang jika santri m...


Bagi para santri, kiai adalah simbol keteladanan dalam bertauhid dan berjihad dalam jalur ilmu. Oleh sebab itu tidak jarang jika santri memiliki sifat tawadhu’ yang sangat luar biasa kepada kiai. Namun, jika dibenturkan dengan pengetahuan empiris, tentu saja hubungan santri dan kiai tersebut akan terkesan vertikal dan sangat feodal. Namun bagi saya, pengetahuan modern tidaklah bisa menampung semua aspek ilmu Allah dan belum bisa menguraikan konsep “berkah” sehingga banyak sekali lelaku santri kepada kiainya yang disalahartikan dan terkesan dipaksakan untuk memenuhi ruang ilmu modern.

Ngalap berkah, pasti santri mengetahui betapa berharganya “perlombaan” itu. Santri rela berlari-larian untuk merebut kopi kiai yang masih tersisa di gelas. Santri rela sikut-sikutan untuk mendapatkan sisa air putih dari gelas kiai. Santri juga rela berdesak-desakan untuk mencium tangan kiai dan berlama-lama memegang tangan kiai. Ada apa sebenarnya dengan pendidikan pesantren ini, kok kelihatannya berbeda dengan penuntut ilmu modern. Sepertinya ada ruang kosong yang tidak dimiliki penuntut ilmu modern yang jauh dari budaya luhur ini.

Ngalap berkah, atau mencari berkah, memang dari perlombaan untuk mencari berkah yang sudah saya sebutkan tadi terkesan seperti “merepotkan diri sendiri”. Untuk apa harus saling mendahului dan rela mengeluarkan tenaga hanya untuk meminum sisa minuman kiai dari gelas atau hanya untuk mencium tangan kiai? Bagi kaum kontemporer dan sekuler, mungkin hal itu adalah hal yang aneh. Namun perlu kita ketahui bahwasannya ngalap berkah adalah fenomena budaya Timur yang sanadnya juga tersambung ke sahabat radhiallahu ’anhu.

Budaya di pesantren memang bukan sekadar menuntut ilmu, melainkan budaya memupuk dan menghidupkan lelaku yang siap untuk menghadapi jagat raya dengan sifat yang rahmatan lil ‘alamin. Sifat tawadhu’ kepada guru atau kiai adalah kemutlakan dan merupakan sebuah adab. Apakah kita pernah mendengar tentang kisah Sahabat Rasulullah, Khalid bin Walid, yang pada saat perang ia menjatuhkan topi perangnya. Lalu ia merasa tidak konsentrasi dengan peperangan dan mengutuskan prajurit untuk mencari topi itu. Prajurit yang bingung itu kemudian bertanya, “Apa istimewanya topi itu sehingga engkau tetap berusaha mencarinya?”

Sambil memegang erat topi perangnya, Khalid menjawab, “Topi ini tidak berharga sama sekali. Namun, ada sesuatu yang berharga yang terdapat di dalamnya.”

Prajurit bertanya lagi. “Apakah gerangan yang terdapat di dalam topi itu?”

“Di dalam topi ini terdapat beberapa helai rambut mulia milik Rasulullah. Keberkahan dari beberapa helai rambut itulah yang membuat Allah senantiasa memberikan kemenangan kepadaku dalam setiap pertempuran.”

Seperti yang sudah saya sebutkan, bahwa lelaku ngalap berkah ini sanadnya tersambung hingga ke masa sahabat. Tidak ada yang janggal dan ganjil dalam perilaku yang demikian. Tapi tentu saja, mungkin kaum intelektual kontemporer masih bersikukuh bahwa budaya feodal masih berlaku di dalam pesantren.

Bagi saya pribadi, terserah stigma apa pun yang digambarkan oleh pihak lain, kiai tetap menjadi simbol ketawadhu’an dan ilmu yang bersanad. Sehingga tentu saja berebut air dari sisa minum kiai menjadi hal yang patut disebarkan ke yang lain bahkan dunia, karena ada banyak kebaikan di dalamnya. Kaum intelektual yang memberi lambang feodal pada tingkah laku santri di pesantren hanya bisa melihat semua sisi secara empiris. Empiris berarti bahwa semua data harus bisa dijelaskan dengan hal yang masuk akal dan berteori. Sedangkan, mencari berkah dengan mencium tangan kiai tidaklah empiris. Mencium tangan kiai melebihi jangkauan ilmu manusia. Kami, santri, hanya mengetahui bahwa tangan yang kami cium adalah tangan yang senantiasa memegang kitab dan digunakan dalam kebaikan. Air minum sisa dari kiai yang ada di gelas, adalah dari mulut seorang hamba Allah yang senantiasa berdzikir dan mengingat Allah, pasti dalam mulutnya selalu ada kebaikan dan keberkahan.

Tentu saja hal yang demikian tidak kami lakukan untuk sembarang orang. Kami, santri, tidak meminum air dari sisa minum pejabat atau pengusaha. Kami, para santri, tidak berlomba mencium tangan dari seorang kaya raya. Kami mengetahui naluri hati kami, bahwa yang berhak dan patut untuk didapatkan adalah berkah Allah melalui kiai yang setiap harinya mengajarkan ilmu Allah kepada kami.

Lantas, di mana salah santri jika kesopanan dan adab Timur diperdebatkan? Dan yang paling menyedihkan, jika konsep berkah saja tidak bisa dijelaskan oleh kaum intelektual yang memuja empirisitas, lalu bagaimana mereka bisa mengklasifikasikan kami sebagai pelaku feodal?