( Dari: http://xfilester.blogspot.com ) |
Saka, tinggal di bagian lain jawa timur.
Ia adalah pemuda yang berhasil menjawab tantangan dalam dirinya dan tak pernah
kembali ke Pak Was, dan alas purwo. Saat ini ia menjadi orang yang sangat
tangguh dan murah senyum. Berbeda dengan awal ketika ia masih meragukan hidupnya
dan menjadi asing. Saka saat ini mengabdikan dirinya untuk kegiatan sosial dan
kepenulisan. Ia sering menulis mengenai hidup dan segala aspek kehidupan. Berbagai
macam tulisan dan opininya berhasil tembus ke media-media cetak besar yang tersebar
di tanah air. Saka hanyalah lulusan SMP, namun ia menjadi seorang jenius
berkelas S3.
Hari-harinya
dihabiskan dengan membaca dan menulis, ia pernah mengurung dirinya di dalam
perpustakaan mini yang ia buat sendiri selama tiga minggu. Entah apa yang ia
lakukan. Ia memang cerdas, ditambah lagi, wajahnya yang flamboyan sering
memikat wanita. Namun, ia tak pernah tertarik pada wanita manapun kecuali sosok
wanita yang ia temui di alas purwo dulu kala.
Saat
itu, Saka hanya lah seorang pekerja kasar yang ingin merantau ke Bali untuk
mencari kerja. Langkahnya terhenti di Banyuwangi, tepat ketika ia hendak
meninggalkan Jawa. Ia sudah berada di pelabuhan gili ketapang. Bahkan, ia sudah
berada di dalam kapal. Ketika itu, ia tiba-tiba merasakan desiran dalam hatinya.
Rasa yang kuat untuk tidak meninggalkan Jawa terlebih dahulu. Pikirnya menjadi
kacau, ia tetiba memikirkan tentang rumahnya, bapak ibu nya, teman-temannya.
Sampai pada suatu titik, akhirnya ia lari dan meninggalkan kapal itu.
“Bangsat,
apa yang aku lakukan.” Gertakan Saka kepada dirinya sendiri ketika melihat
kapal yang ia tinggalkan sudah melaju ke samudra biru.
Sejenak ia memutuskan
untuk istirahat di warung pelabuhan, sembari menghirup aroma Banyuwangi dan
ditemani segelas kopi. Segelas kopi yang ia nikmati rupanya tak sanggup
menenangkan pikirannya. Saka kebingungan, memikirkan kemauannya dan memikirkan
hendak kemana ia selanjutnya. Kebingungannya ini dengan mudah ditangkap oleh
seorang pemuda yang duduk di sebelahnya. Sontak, pemuda ini akhirnya memulai
percakapan dengan Saka.
“Mau ke Bali mas? Basa-basi pemuda itu.
“Tadinya.
Sekarang entah.” Saka menjawab
dengan tatapan yang masih kosong.
“Mas,
kata orang-orang sini. Kalau ingin menemukan tujuan, sampeyan ke alas purwo
saja.” Terangnya.
“Ngapain
mas saya kesana. Bingung kok disuruh ke alas.” Saka
menjawab dengan ketus.
“oh
iya, kita belum berkenalan. Nama saya Nasir. Saya bisa mengantar mas ke alas
purwo, dan saya pastikan mas akan takjub nanti.”
Setapak kisah itu
akhirnya bermula pada kalimat akhir Nasir. Cerita paling menantang Sang Saka
akhirnya terbuka dalam perjalanan menuju Bali yang terhalang pikir. Saka
mengikuti ajakan Nasir, saat itu masih siang hari, dan Nasir mengantarkan Saka
langsung ke alas purwo, ke rumah Pak Was tepatnya.
***
Aku terbangun, sentuhan
Pak Was di telapak tanganku seakan meninabobo-kan aku hingga pagi. Dan, rasanya
badan ini semakin berat serta lelah. Aku tak mengingat apa yang terjadi malam
itu, satu-satu yang kuingat adalah aku melihat diriku menghajarku. Setelah itu,
gelap hingga ak terbangun.
Pagi hari, diterangi
mentari yang masih bersih dan udara yang sangat nikmat untuk dihirup. Aku duduk
di teras rumah Pak Was dan melihat Pak Was sedang duduk bersila di seberang ku.
Suara Pak Was memecah fokusku, beliau tiba-tiba berkata,
“Kamu tidak bisa lama-lama disini jika ingin
segera menemukan sesuatu yang kau cari. Berangkatlah menuju barat dan temukan
seseorang yang namanya sama dengan nama tokoh pembawa peradaban di tanah Jawa.”
***
Sore hari, aku memulai
perjalananku untuk mencari sosok yang disebutkan Pak Was. Aku berjalan melewati
hutan berjam-jam, hingga ku berpapasan dengan seorang gadis yang berlari
melawan arahku. Matanya bertemu pandang dengan mataku, dan pandangan itu
melahirkan berbagai macam tanya yang menemani sepanjang perjalananku. Malam
ini, aku akan menuju ke Jember.
Aku tak tahu banyak
tentang Jember. Yang aku tahu, Jember banyak suku Maduranya dan juga banyak
pesantren disini. Ketika sampai di Jember, hal pertama yang aku lakukan adalah
mencari masjid untuk menampung ku hingga subuh memanggil. Dan dengan cepat aku
menemukan Masjid. Namun, anehnya, dalam masjid itu aku berjumpa dengan sosok
tua yang wajahnya mirip Pak Was. Namanya Cak Rofiq, beliau adalah pengurus
masjid, lulusan Pondok Gontor dan uniknya, beliau adalah lulusan terbaik.
Malam itu hamper tengah
malam, kami berdua terus berbincang. Hingga pada satu bahasan aku menemukan ada
hal yang sama dengan apa yang aku cari. Nama pembawa peradaban di tanah Jawa.
Aku bertanya ke Cak Rofiq,
“Cak, menurut panjenengan, tanah
jawa ini bagaimana?”
“Aduh,
le, jawa ini adalah pusaka. Melihat sejarahnya saja saya termenung heran,
apalagi konsep dan falsafah yang diajarkan, sangat dalam.”
“Nah, memang Jawa ini sudah beradab
ya dari awal?”
“Ya
jelas tidak, sebelum peradaban ada, orang-orang yang tinggal di Jawa ini konon
adalah raksasa-raksasa dan terpercaya oleh dunia sebagai tempat yang angker.
Lalu datanglah satu tokoh pembawa peradaban Jawa, dan darisana adab Jawa mulai
terbangun dan berkembang.”
“Anu, nah itu. Tokoh niku siapa
nggeh?”
“Dia
dikenal sebagai Aji Saka nak. Wiih, kalau mendengar kisahnya, sangat panjang
kisah Jawa ini.”
Aji Saka. Hmm..aku
berpikir, seperti apa dia dan sehebat apa dia sehingga bisa membawa peradaban
ke Jawa yang bahkan penduduk dunia takut karena keangkeran Jawa. Tak mungkin
nyalinya seperti aku yang melintasi alas purwo malam hari saja jantung sudah
berdetak kencang. Aji Saka. Nama yang terkesan familiar. Ah sudahlah, yang
penting aku sudah menemukan nama itu dan sekarang saatnya istirahat dan besok
melanjutkan mencari dia.
Monggo Mampir Juga
Untuk Merekatkan yang Jauh dan Lebih Meng-akrab-kan, Kuy Berteman