Akar, ia adalah
penopang yang tak terlihat. Ia adalah sebuah manifestasi hidup untuk
berkembang, tumbuh, dan hidup. Ia kokoh dan mngkokohkan. Ia mencakar walau
badai menghantam. Ia tak tergoyahkan oleh pengruh dari luar. Ia hidup dalam
sembunyi, gelap, dan sendiri. Akar selalu menghidupkan.
Aku selama ini menempuh
jarak yang tak terukur lagi, satuan langkah menjadi jutaan langkah tanpa aku
sadari maknanya. Yang aku pahami adalah aku terus berjalan tanpa mengetahui
untuk apa aku melakukan ini. Aku belum menemukan sesuatu yang menggairahkan,
yang mampu membuat hidupku hidup dan bertumbuh. Sejatinya, aku belum menemukan
akarku, atau aku tak punya akar. Perlahan. Dalam perjalanan aku selalu disapa
kebingungan yang terus menerus memenuhi pikiran untuk segera dijelaskan untuk
apa aku berjuang. Mau bagaimana lagi, karena aku masih kebingungan, hasrat
menjawab tak pernah ku hiraukan.
Ujung simpul ini
bermula saat dahulu aku berhijrah. Dorongan dari dalam mendesakku untuk
menembus ckrawala yang entah tak pernah aku sadari sebelumnya. Aku keluar dari
desa yang indah tanpa niat yang kuat dan tanpa arah yang bertekat. Pelosok desa
dikelilingi sawah yang luas dan hijau harus ku tinggalkan untuk menemukan
jawaban, bahwa aku adalah bagian dari alam semesta. Tujuan sederhana, namun
sarat akan makna, bahwa sebenrnya aku ini belum menemukan diriku. Dan, aku ini
ingin segera menemukn diriku.
Sudah Sembilan bulan aku
keluar dari desa yang aku sebut sebagai rumah. Meninggalkan bapak ibuk untuk
sementara atau mungkin selamanya. Berjalan langkah demi langkah, menjumpai
fenomena-fenomena yang memaksaku untuk merasa takut, cemas, senang, gugup, dan
tak karuan. Tapi, semua terhenti pada sebuah momen dimana ada satu orang yang
tinggal di tempat yang jauh dari desa ku. Orang yang sudah tua, namun, ia
memiliki gaya luar biasa. Cara berpikir yang mampu mempengaruhiku untuk
menemukan akarku.
Orang tua itu bernama
Pak Wasiran, ia adalah tokoh yang dihormati di wilayahnya, desa yang sangat
pelosok di tengah hutan di kawasan ujung jawa timur. Pak Wasiran, kabarnya
adalah seorang yang garis keturunannya masih tersambung dengan Raja Blambangan,
Gusti Prabu Tawang Alun. Beliau, kabarnya juga memiliki kesaktian yang luar
biasa. Hingga beliau bisa hidup di umurnya yang saat ini mencapai 100 lebih.
Pak Wasiran, adalah orang pertama yang mengajak ku berbicara tentang segala
macam aspek dan variabel kehidupan selama perjalananku ini. Dan anehnya, beliau
seakan mempunyai kamus dan bendahara ilmu yang mumpuni. Sedang aku, selalu
mengangguk-angguk ketika beliau menjelaskan.
Agak aneh, awal
perjumpaanku dengan Pak Was sangat diluar logika. Saat itu, langkah ku memang
menghantarkanku kepada kota penghujung Jawa Timur, beberapa kali aku bermimpi
untuk tidak meninggalkan Jawa terlebih dahulu. Karena, setelah kota ini, memang
aku berniat menuju Bali, NTB dan terus ke timur. Namun, mimpi ku itu membuat ku
bertanya, kenapa aku tidak boleh meninggalkan Jawa.
Hingga pada suatu pagi,
aku berbincang dengan salah satu pemuda yang berlibur di daerah itu. Dia
menceritakan, bahwa tempat ini mempunyai kunci yang bernama ‘alas purwo’. Dia
menjelaskan bahwa Alas Purwo adalah hutan paling angker di tanah jawa, terlebih
sangt kental dengan sejarah Indonesia dan kejadian supranatural di dalamnya. Alas
Purwo, hutan seluas lebih dari 40 hektar yang menyimpan banyak misteri.
Mendengar cerita itu,
aku mulai penasaran dan mengajak pemuda itu untuk mengantarkanku ke wilayah
alas purwo, ia menyambut permohonanku.
Aku turun dari motornya
begitu ia berujar bahwa aku telah sampai. Ia bergegas pergi karena ia tidak mau
berurusan dengan alas purwo lagi. Begitu aku mendekat menuju hutan yang lebat,
tiba-tiba aku dihentak kaget dengan suara seorang kakek,
“Kamu kesini untuk mencari jawaban mimpimu,
le?” ujar kakek itu.
Akupun menjawab dengar
terbata-bata karena masih kaget, maklum saat itu hari sudah petang, kesunyian
yang akrab akan pecah dengan suara kecil sekalipun, apalagi suara dadakan dari
kakek ini. Kakek ini mendekat, dan menawarkanku untuk mengikuti dia,
kerumahnya, di dalam alas purwo. Walau masih dalam langkah keragu-raguan dan
menyimpan banyak pertanyaan, aku terus mengikuti Pak Was. Lebih tepatnya, kaki
ku yang mau mengikuti beliu, sedang aku sebenarnya ingin lari karena takut. Itulah
awal aku bertemu dengan Pak Wasiran, dengan cara yang aneh.
“Le, kamu datang di waktu yang tepat. Malam
ini, kamu akan menemukan jawabannya.” Pak Was ini tiba-tiba berkata
demikian, sambil tetap berjalan di depanku tanpa menggerakkan kepalanya untuk
menoleh menatapku.
“Memangnya,
kenapa harus malam ini Pak?” Aku bingung, bertanya asal tanpa ku pikirkan.
“Sudah,
kamu ikut saya dulu saja. agak cepat jalannya ya, kita sedang tidak aman
disini.” Pak Was berkata sambil mempercepat langkahnya.
Aku yang tak tahu
apapun, tanpa berpikir panjang langsung mengimbangi ayunan dan tempo
langkahnya, hingga aku melihat sebuah cahaya di depan. Kami berdua berjalan
semakin mendekat ke cahaya itu. Namun, suasana semakin tak karuan. Aku
merasakan ada banyak sekali sesuatu yang mengikutiku, mereka memanggil-manggil
namaku.
“Janagn hiraukan le, lihat cahaya di depan
saja.” Pak Was seakan paham apa yang aku alami saat itu.
Akhirnya, kami berdua
sampai di penghujung perjalanan dan menemukan sumber cahaya itu. Rupanya cahaya
itu berasal dari sebuah kaca yang ukurannya lumayan besar. Cahaya bulan purnama
yang memantul ke kaca itu menjadikan penerang kami. Dan aku lihat di
sekeliling, ada semacam perkampungan kecil, yang mungkin hanya berdiri belasan
rumah disana. Namun terasa sunyi karena tidak ada satu orangpun yang ada diluar
rumah, kecuali kami.
Tatanan desa kecil itu
sangat unik, rumh-rumah berjejer membentuk lingkaran dan ada satu rumah di
tengah lingkaran itu, ya, rumah Pak Was yng ada di tengahnya. Dan, kaca yang
memantulkan cahaya bulan tadi berada di atas rumah Pak Was, kaca yang terikat
dalam tegakan bambu yang berdiri kokoh, yang ditancapkan di sebelah rumah Pak
Was.
Akhirnya aku memasuki
rumah Pak Was, di dalamnya hanya ada ruangan kosong, tidak ada perkakas apapun,
aku hanya melihat ada dua ruangan lagi disana, tidak begitu besar. Ruangan yang
aku baru masuki ini yang paling besar. Hanya ada beberapa oblek yang menghiasi dinding dan juga ada beberapa ornamen antik yang
tidak dipajang, melainkan ditumpuk di pojokan rumahnya. Puas melihat sekeliling
rumah, aku duduk di lantai, karena memang tidak ada kursi.
“Disini,
adalah pusat orang yang sedang mencari. Dan rumah-rumah lain yang mengelilingi
rumah ini adalah rumah orang-orang yang merasa terasing dan asing dengan
hidupnya. Mereka gagal menjawab pertanyaan dalam dirinya, hingga akhirnya
mereka putuskan untuk menyerah dan menetap disini.”
Mendengar penjelasan
itu, tiba-tiba aku merasa sangat kacau. Bagaimana mungkin ada banyak orang yang
ternyata sampai begitu serius melakukan pencarian dalam hidupnya, bahkan sampai
mereka merasa kalah dengan tantangan mereka sendiri. Aku melamun. Tak lama,
lamunanku buyar karena Pak Was berkata lagi.
“Ada
bagian dalam diri kamu, le, yang tidak bisa dipenuhi oleh materi. Bagian itu
akan terus memberontak hingga kamu menemukan kemauannya. Namun, jika kamu
gagal, tubuh dan raga mu yang akan dikuasai oleh penyesalan. Sebelum kamu
meneruskan perjalananmu, pastikan bahwa langkahmu dan semesta ini merestui dan
meridhoimu.”
Setelah menjelaskan itu
semua, tiba-tiba pak was memegang punggung tanganku. Aku merasakan tangannya
sangat dingin. Dan tiba-tiba aku seperti menghilang, aku berada dalam sebuah
tempat yang hanya dipenuhi oleh gelombang-gelombang berwarna putih dan biru. Aku
seperti melayang, dan dalam ketidaksadaranku itu, aku melihat diriku sendiri. Ia
berjalan mendekatiku dengan wajah amarah, mengepalkan tangannya seraya ingin
menghajarku…………….
(See You Next Week)
0 komentar: