Bismillah… Pernah berpikir tentang hakikat hidup ini dan kenapa kita hidup disini dan bagaimana mungkin kita bisa lulus di dunia in...

Ibadah dan 'Hak Kita'



Bismillah…
Pernah berpikir tentang hakikat hidup ini dan kenapa kita hidup disini dan bagaimana mungkin kita bisa lulus di dunia ini? Kemarin, ketika di dalam bus,  saya mendapati ada seorang ibu-ibu yang menceritkan pengalaman umroh dan haji nya kepada oranglain (ibu-ibu juga, kelihatannya mereka sudah kenal). Ibu itu juga menunjukkan foto-foto ketika sedang berada disana. Setelah ibu itu turun dari bus, saya menangkap celetuk dari supir bus yang saya tumpangi. Karena posisi ibu itu tepat dibelakang supir, dan posisiku di belakang ibu itu, namun beda sisi. Supir itu berceletuk, “Owalah, wong ibadah kok di ketok-ketokno, iku kan hubungan e awakdewe karo Gusti Allah.”

Menurut kalian, siapa yang benar disini. Ibu yang menceritakan pengalaman ibadah ke tanah suci atau sang supir? Jujur, ketika kita masih berpijak pada berpikir mainstream dan masih melihat sesuatu dari satu sisi saja, mungkin kita akan mendapati pemahaman yang tak dalam. Mungkin, kita berangapan bahwa supir itu benar, dan ibu itu salah. Padahal, pada kenyataan di hidup ini, hidup bukan tentang satuan benar dan salah. Jika A benar maka B salah. Ada juga kemungkinan bahwa A benar dan B juga benar. Bukankah setiap orang itu terbentuk dari pengalaman yang berbeda, latar belakang yang berbeda, kesempatan yang berbeda, pendidikan yang berbeda, dan keluarga yang berbeda. Apakah adil kita menyandingkan ‘kebenaran’ pada substansi berdasarkan yang kita pahami berdasarkan pengalaman kita sendiri, berdasarkan latar belakang kita sendiri, dan berdasarkan interpretasi kita sendiri. Saya kira, jawabannya tak pernah se-sederhana itu.

Apakah benar hakikat hidup ini hakikatnya adalah untuk beribadah kepada Allah. Lalu jika hakikatnya untuk beribadah, kenapa Allah juga menciptakan warna-warni yang menyesatkan. Apakah Allah tak sayang dengan kita? Jika hakikat kita untuk beribadah, bagaimana bisa kita beribadah ketika dunia ini sendiri adalah lautan najis yang setiap saat tak bisa mensucikan kita?

Kalau hidup ini adalah ibadah, kenapa banyak sekali kesenangan-kesenangan yang membuat terlena? Jika hidup ini ibadah, kenapa banyak sekali prasangka buruk kepada sesama? Jika hidup ini adalah ibadah, kenapa setiap hari banyak sekali terlahir kejahatan-kejahatan baru dan penyimpangan-penyimpangan lainnya? Jika hidup ini ibadah, kenapa kita lebih suka memandang ibu yang menceritakan pengalaman ibadahnya sebagai seseorang yang sombong? Saya kira, ibu tersebut tidak berdosa, banyak sekali tutur kata buruk yang terlontar oleh mulut, namun ibu itu lebih memilih menceritakan ibadah sebagai pengalamannya. Saya kira tidak menyimpang.

Karena hidup adalah untuk ibadah, kita harus mengenali diri kita terlebih dahulu. Bagaimana kita bisa beribadah jika kita tak tahu diri kita, tak tahu tujuan kita, tak tahu kenapa kita begini, dan seterusnya. Karena di dunia ini kita sedang mencari, maka sejatinya kita tak punya ‘hak’ apapun di dunia ini kecuali mendapatkan jawaban yang jawaban itu juga kita peroleh sendiri. Dalam hubungan ilahiah, kita tidak punya hak untuk kesehatan, kita tidak punya hak untuk pendidikan, kita tidak punya hak untuk dihormati, kita tidak punya hak untuk dicintai. Kita tidak punya hak apapun, kita juga tidak punya hak yang disebut dengan hak asasi manusia. Tidak ada yang asasi dalam diri kita sebagai manusia. Apa-apa yang kita anggap hak kita dalah kemurahan Allah, jika kita mempunyai hak, kita akan menuntut kepada Allah. Padahal tanpa kita tuntut, Allah Maha Memberi.

Satu-satunya tugas kita adalah menjalankan kewajiban yang sudah kita ikrarkan langsung dengan Allah. Laailahailallah. Karena kita tidak punya hak, maka kita tidak boleh membenci siapapun, karena jika kita membenci, maka sama saja kita memiliki hak untuk berprasangka jelek. Karena kita tidak punya hak, maka kita tidak boleh merasa memiliki apapun, karena dengan punya rasa memiliki, berarti kita sudah mengambil hak Allah. Bukankah semua milik Allah?

Saya pernah sangat berambisi mendapatkan sesuatu hingga saya benar-benar lelah, dalam titik lelah dan putus asa itu, saya sudah bertekad untuk mengakhiri usaha saya, saya benar-benar pasrah. Dalam keadaan pasrah, rupanya Allah tak tega, ia berikan jawaban atas usaha saya. Mungkin ini yang dinamakan tawakal yang benar-benar berserah. Dari sini, saya berusaha untuk tidak berambisi dalam segala hal. Saya rasa niat baik dan berbuat baik sudah cukup, dan Allah pasti akan menuntun.

Ohiya, ketika membaca ini, saya harap anda jangan percaya kepada saya. Saya disini hanya pencitraan saja. saya ini orang bodoh dan tidak se-soleh yang anda pikirkan ketika membaca ini. Kalau bisa, anda jangan sampai percaya. Sehingga tergerak diri anda untuk mencari tahu berdasarkan pengalaman dan latar belakang anda sendiri. Kebanaran yang kita anggap benar saat ini hanyalah kesalahan yang belum kita sadari.

0 komentar: