Showing posts with label Indonesia. Show all posts

Lima tahun terakhir menjadi tahun-tahun yang berat bagi Pancasila karena ideologi Indonesia ini sering muncul untuk didiskusikan dalam forum...


Lima tahun terakhir menjadi tahun-tahun yang berat bagi Pancasila karena ideologi Indonesia ini sering muncul untuk didiskusikan dalam forum-forum kecil dan forum berkelas nasional sekalipun. Setidaknya ada dua sudut pandang yang bisa menggambarkan fenomena ini; satu, Pancasila menjadi ideologi yang kuat namun para elit gagap dalam memahami Pancasila sehingga saat mendiskusikannya, ia tidak membawa amunisi yang banyak atas Pancasila; dua, kita sebagai rakyat meyakini Pancasila sebagai ideologi namun memerlukan diskusi untuk membuktikan bahwa falsafah itu benar.


Munculnya wacana bahwasannya Pancasila adalah ideologi final bahkan sudah dideklarasikan sejak tahun 1940-an, namun anehnya di tahun 2020 ini sebuah diskursus panjang terhadap Pancasila membuat wacana ‘Pancasila adalah ideologi final’ ini keluar kembali. Sebenarnya apa yang terjadi dari fenomena-fenomena ini.


Saya setidaknya melihat bahwasannya konteks Pancasila saat ini dan dulu sudah berbeda. Pada tanggal 1 Juni 1945, pada saat Presiden Soekarno memberikan pidato dengan judul ‘Lahirnya Pancasila’, konteks Pancasila hadir atas dasar sebagai jawaban dari hiruk-pikuk yang terjadi. Sehingga masyarakat secara sadar meyakini bahwasannya untuk hidup dalam ketidakseimbangan ini perlu adanya arah yang menyeimbangkan, dan penyeimbang itulah bernama Pancasila. Tentu saja dalam konteks ini, Pancasila menjadi sesuatu yang final karena menjawab tantangan zamannya. Terlebih, aplikasi terhadap Pancasila pada zaman dahulu sangat kental sehingga pengetahuan teoritis mengenai Pancasila tidaklah disebut ‘Pancasilais’.


Dalam konteks sekarang, Pancasila masih dan akan tetap menjadi sebuah penyeimbang kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya saja, wacana Pancasila sebagai ideologi final dikeluarkan bukan karena sebagai jawaban atas puasnya rakyat terhadap Pancasila, melainkan wacana tersebut dimunculkan kembali oleh para pengambil kebijakan dan para politisi untuk memenangkan kepentingan yang mereka bawa. Sehingga Pancasila hanya dipahami atas dasar pengetahuan, dan bukan pengaplikasiannya. Hal ini bisa sangat membahayakan karena jika Pancasila hanya dianggap sebagai doktrin, maka ruang diskusi terhadap Pancasila juga akan dibatasi. Atas dasar politik, Pancasila digunakan tameng sebagai katrol kepentingan. Namun, atas nama kestabilan negara, diskusi Pancasila menjadi ruang yang menegangkan dan diawasi oleh pihak-pihak tertentu.


Mengganti Pancasila sebagai Ideologi adalah suatu hal yang ‘haram’. Namun mendiskusikan Pancasila sebagai ideologi adalah cara meluaskan perspektif sehingga Pancasila menjadi sebuah ideologi yang bisa diakses oleh siapa saja. Pancasila adalah ideologi final bangsa Indonesia. Namun pengkajian mengenai Pancasila harus tetap berjalan sampai kapanpun agar masyarakat juga mengetahui bahwa Pancasila bukan hanya mengenai kehidupan masa lalu, namun juga saat ini dan ke depan.


Pancasila adalah Ideologi Terbuka


Sudah menjadi barang lama bahwasannya Pancasila merupakan ideologi terbuka, namun sebenarnya apa makna dibalik itu semua?


Menurut Franz Magnis Suseno, ideologi dikategorikan menjadi tiga; ideologi tertutup, ideologi terbuka, dan ideologi tersirat. Maksud dari ideologi tertutup adalah bahwasannya ideologi tersebut melegitimasi penuh monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori, dalam arti ideologi tersebut tidak bisa dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi tertutup adalah klaim atas kebenaran dan tiak boleh diragukan.


Sedangkan ideologi terbuka mempunyai makna bahwasannya ideologi ini menyuguhkan orientasi dasar sehingga dalam aplikasi kesehariannya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Praktek kehidupan dalam ideologi ini tidak bisa dimaknai secara apriori melainkan harus sesuai keputusan yang demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama.


Dan, ideologi tersirat adalah sebuah ideologi yang hadir dalam amsyarakat-masyarakat tradisional yang mengatur tentang bagaimana mereka harus hidup sehari-hari. Ideologi ini hanyalah implisit saja, karena tidak diturunkan dan diajarkan namun cita-cita dan keyakinan yang ada sangat berdimensi ideologis.


Dari beberapa penjelasan mengenai ideologi, kita seharusnya sudah paham bahwasannya letak Pancasila adalah sebagai ideologi yang terbuka. Sehingga wacana-wacana dapat didiskusikan dan menjadi sarana untuk memperkaya wawasan ideologis kita sebagai bangsa Indonesia.

 

Hebatnya Pancasila di Tengah Arus Filsafat Ideologi Besar


Penulis memahami mengapa Pancasila memang menjadi ideologi yang final, hal ini didasari karena Pancasila berbeda dengn ideologi-ideologi dunia yang berakar dari tiga filsafat.


Pertama, Filsafat Idealisme (philosophy of Idealism), filsafat ini mengedepankan faham rasionalitas dan individualitas sehingga dalam berpolitik filsafat ini melahirkan ideologi Liberalisme dan Kapitalisme. Ideologi ini beranggapan bahwa manusia adalah pusat dari segalanya. Atas dasar itulah dalam praktek beragama pun ideologi ini mengatur bahwa hubungan agama dan negara adalah terpisah.


Jika berkaca dari ideologi tersebut, apakah Pancasila salah satunya? Tentu tidak, Pancasila bahkan mengakomodasi antara nilai keagamaan dalam bernegara.


Kedua, Filsafat Materialisme (philosophy of materialism), filsafat ini mengedepankan faham emosionalitas berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivitas. Dalam kehidupan berpolitik, filsafat ini melahirkan ideologi Sosialisme dan Komunisme. Dalam kehidupan beragama, filsafat ini bahkan lebih ekstrim dari filsafat pertama. Dalam praktik, agama bahkan dianggap menjadi candu yang bisa menghmabat laju negara.


Jika berkaca dari sini, saya pikir sangat tidak cocok dengan Pancasila. Pancasila justru menjadi sebuah jawaban atas kehidupan berbangsa dan beragama dengan sangat harmonis dan dialektis.


Ketiga, filsafat teologisme (philosophy of teologism), filsafat ini meyakini bahwasannya ajaran Tuhan menjadi sentral dari kehidupan bernegara. Sehingga faham ini sangat membuka peluang sebagai sarana pengkultusan seseorang untuk mengambil peranan dalam beragama.


Jika berkaca dari filsafat itu, saya kira Pancasila sangat tidak seperti itu. Pancasila bahkan mampu menjembatani iman dan akal untuk berjalan seimbang. Sehingga tentu saja dalam praktik kehidupan di Indonesia, jika ada seseorang yang mengaku menjadi Nabi atau malaikat pasti akan segera diamankan oleh petugas karena Pancasila juga mengatur dalam keseharian kita untuk menjauhi kemusrikan dan tidak ada pengkultusan individu.


Dari semua penjelasan di atas, sangat aneh rasanya jika masih banyak yang membatasi ruang gerak Pancasila sehingga membatasi diskusi-diskusi Pancasila. Padahal bukan Pancasilanya yang salah melainkan wawasan kita terhadap Pancasila yang minim. Jika sudah seperti itu, para elit akhirnya memilih untuk tidak berdialog atau memilih untuk tidak mengikuti diskusi karena khawatir mereka akan gagap dalam menjelaskan Pancasila. Padahal, Pancasila juga merupakan sebuah wadah kritik terhadap Pemerintah atas ketidakseimbangan bernegara.


Banyak sekali produk-produk budaya di tanah air saat ini yang mengadopsi bentuk fisik maupun bentuk moral dari pengalaman masa lalu, ba...




Banyak sekali produk-produk budaya di tanah air saat ini yang mengadopsi bentuk fisik maupun bentuk moral dari pengalaman masa lalu, baik itu di tatanan arsitektur hingga pendidikan. Terang saja jika Indonesia menjadi salah satu negara yang diakui memiliki keragaman yang luar biasa di dunia ini. Selain gerusan arus global yang sangat kuat, Indonesia dengan gagahnya masih mampu mempertahankan identitasnya sebagai ‘Nusantara’. Tak luput dari semua aspek kehidupan, terutama adalah hal Pendidikan. Jika dilihat dari sejarah Pendidikan yang ada di Indonesia, rupanya Pondok Pesantren merupakan simbol atau simplifikasi dari Pendidikan Nusantara jaman dahulu.


Sistem pendidikan dengan model dukuh, asrama, atau padepokan merupakan cara pendidikan yang sudah ada sejak jaman Hindu-Budha. Munculnya para walisongo akhirnya juga mengadopsi model pendidikan yang sudah ada. Menurut Zaini Achmad Syis dalam buku berjudul Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren (1984), sebenarnya konteks pendidikan pesantren yang representatif mencitrakan sistem pendidikan Islam di Nusantara adalah pengambilalihan bentuk Pendidikan sistem biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan bhiksu saat proses belajar dan mengajar. Itulah mengapa pondok pesantren biasanya disebut berasal dari mandala Hindu-Buddha. Terlebih, Clifford Geertz juga pernah mengatakan bahwa pondok pesantren mengingatkan orang pada biara, tetapi santri bukanlah para pendeta.


Seiring waktu berjalan, dukuh yang akhirnya disebut ‘pesantren’. Dan, kata ‘santri’ sendiri sebenarnya adalah adaptasi dari istilah sashtri yang berarti orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra). Tidak hanya itu, dalam pesantren juga diajarkan bagaimana tata krama dalam menuntut ilmu, biasanya menggunakan kitab Ta’limul Muta’allim karya Syaikh az-Zarnuji. Rupanya, tata krama yang diajarkan di dalam pondok pesantren juga sebenarnya selaras dalam ajaran Hindu-Buddha yang diberi nama ‘gurubakti’.


Usaha adaptasi para walisongo terhadap sistem Pendidikan model dukuh dan asrama ini rupanya juga membawa dampak yang sangat dignifikan untuk para santri dalam memahami ajaran Islam dan mengajarkan nilai-nilai sosio-kultural. Sehingga dengan proses pembelajaran melalui model dukuh dan asrama, para santri tidak hanya dapat memahami ilmu agama saja, melainkan juga kompleksitas dalam bersosial dan berbudaya. Sehingga, para santri mempunyai pemahaman yang mumpuni jika sudah keluar atau menyelesaikan pembelajarannya di pesantren.


Terlepas dari itu semua, sebenarnya konsep pembelajaran Nusantara yang paling penting bukanlah pada hal fisiknya melainkan peristiwa moral. Dan, ada satu titik temu yang membuat pondok pesantren masih relevan dengan pendidikan di Nusantara kala itu. Konsep moral dan tata krama dalam Pendidikan adalah bahwasannya guru harus dimuliakan, sehingga yang patut untuk datang saat ingin menuntut ilmu adalah murid atau santri. Pada jaman dahulu tidak ada les privat dengan guru datang ke rumah. Ada filter dari masyarakat bahwasannya jika ingin belajar suatu ilmu, maka harus datang ke orang tertentu. Guru yang mendapat pengakuan dari masyarakat bukanlah seseorang yang telah menamatkan studi hingga tinggi, melainkan seseorang yang memang dianggap masyarakat ‘pantas’. Filter ini lah yang masih bertahan di dunia pondok pesantren, dimana santri lah yang datang ke tempat guru berada. Menuntut ilmu dengan kurun waktu tertentu dan masyarakat pun meyakin bahwa sosok yang berada di pondok pesantren itu adalah pantas. Karena adanya filter dari masyarakat inilah yang menjadikan setiap pondok pesantren memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Aturan paling baku, kurikulum paling ampuh bukan pada yang tertulis dalam kertas, kurikulum paling ampuh itu ada pada sosok guru atau kyai. Kurikulum hidup yang dapat memahami setiap santrinya. Kurikulum hidup yang dekat dengan Allah, sehingga membuat ilmu yang diajarkan akan selalu mendekatkan kepada Allah. Ya, itulah Pendidikan yang sudah diwariskan dari dulu. Pendidikan pondok pesantren yang bukan hanya sekedar menjadikan pintar, melainkan menjadikan santrinya menjadi manusia yang paripurna.



Banyak yang mempunyai persepsi ‘mistis’ jika mendengar kata Kejawen. Satu kata yang diasosiasikan sebagai laku-laku spiritual yang penuh den...


Banyak yang mempunyai persepsi ‘mistis’ jika mendengar kata Kejawen. Satu kata yang diasosiasikan sebagai laku-laku spiritual yang penuh dengan ghaib khas orang Jawa ini rupanya mempunyai cerita panjang dan salah tafsir. Tidak heran jika banyak diantara kita yang mengetahui bahwasannya laku spiritual orang Jawa adalah Kejawen, mungkin karena namanya ada jawa-jawanya kali ya. Padahal Kejawen bukanlah hal yang seram dan mencekam.


Konsepsi pertama adalah, jika membicarakan mengenai laku spiritual khas Jawa atau Nusantara, maka kejawen bukanlah sebuah terminologi yang cocok. Karena kejawen sendiri baru muncul saat era Wali Songo. Dalam buku Ketua Les Bumi NU, Agus Sunyoto, beliau menjelaskan bahwasannya agama asli Jawa adalah Kapitayan, dan bukan animism, dinamisme, atau kejawen.


Lalu, sebenarnya dari mana datangnya istilah Kejawen ini?


Dalam artikel kali ini, penulis mendasarinya dari sumber yang terpercaya, yaitu sebuah Induk Ilmu Kejawen yang ditulis oleh Damar Shasangka. Isi dari buku tersebut adalah terjemahan dari kumpulan Wirid Hidayat Jati, sebuah informasi-informasi Kejawen dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan diteruskan oleh Kanjeng Sultan Agung Prabhu Anyakrakusuma dandilanjutkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita.


Wirid Hidayat Jati adalah rujukan utama bagi penganut Kejawen. Jika ditelusuri, Kejawen pada mulanya diprakarsai oleh para Wali Songo. Karena pembawanya adalah para Wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, tentu saja aromanya adalah Islam Tasawuf. Ajaran Kejawen bahkan ditulis dengan Bahasa Jawa baru dan naskah-naskah aslinya masih disimpan rapi di Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Pakualaman, Mangkunegara, dan Kecirebonan.


Perkembangan selanjutnya, karena ketidaktahuan masyarakat umum, Kejawen dianggap sebagai sebuah aliran di luar dari Islam. Sehingga biasanya yang mengaku sebagai Kejawen akan dikucilkan karena mendapat stigma negatif dari golongan selainnya. Hal ini akhirnya juga mengakibatkan putusnya hubungan mereka dengan Islam, dalam artian, penganut Kejawen juga akhirnya memisahkan diri dari Islam. Di abad ke-19, dimana hubungan antara Kejawen dan Islam memburuk, akhirnya muncul sebuah wacana ahistoris yang mengaburkan sejarah dan menyatakan bahwasannya Kejawen adalah agama asli Jawa.


Oleh karena itu, dengan mengacu kepada sejarah, alangkah baiknya definisi Kejawan diluruskan. Dan, atas dasar itu pula perlu mempertimbangkan fakta-fakta sejarah mengenai Kejawen, diantaranya adalah. Satu, Kejawen pada mulanya dibawa oleh para wali dan bukanlah ajaran asli Jawa karena tidak dijumpai istilah Kejawen pada lontar-lontar Majapahit atau kerajaan-kerajaan di atas majapahit. Dua, Kejawen adalah ajaran dengan substansi Islam karena banyak sekali dijumpai naskah-naskah yang saat ini juga masih disimpan rapi di keraton-keraton.


Sebenarnya, nama Wirid Hidayat Jati sendiri adalah nama yang diberikan oleh Ranggawarsita yang mengumpulkan wejangan-wejangan ilmu kejawen. Dan secara konotasi, Wirid Hidayat Jati mempunya arti yang luas dan besar. Wirid sendiri berarti sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan dilakukan secara terus-menerus. Sedangkan hidayat berarti petunjuk, sebuah kata dari Bahasa Arab. Dan, jati adalah kata yang berasal dari kata sejati dan memiliki arti yang sesungguh-sungguhnya, atau sebenar-benarnya. Jika digabungkan maka makna dari Wirid Hidayat Jati sendiri kurang lebih ‘wejangan yang berisi petunjuk kebenaran untuk memicu para hamba agar senantiasa beribadah kepada Allah.’


Namun, sebelumnya Wirid Hidayat Jati ini sering dikenal dengan berbagai macam sebutan, diantaranya adalah Ngelmu Kasampurnan, Ngelmu Kak (Ilmu Haq), dan Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi. Tetapi sebenarnya istilah-istilah tersebut juga dapat ditemui dalam Wirid Hidayat Jati.


Yang terakhir adalah, sesungguhnya yang disebut Kejawen adalah ajaran-ajaran yang tertulis dalam Wirid Hidayat Jati. Jadi, tidak benar jika kita memberikan stigma bahwa kejawen adalah agama asli jawa atau kejawen terlepas dari substansi keislaman. Justru kejawen adalah corak Islam tasawuf yang disebarkan oleh para wali songo.


Sepintas, ketika kata “Jombang” masuk ke dalam pikiran, banyak di antara kita membayang sebuah persepsi mengenai salah satu kabupaten ...





Sepintas, ketika kata “Jombang” masuk ke dalam pikiran, banyak di antara kita membayang sebuah persepsi mengenai salah satu kabupaten di Jawa Timur itu. Dan, banyak pula di antara kita yang mengidentikkan Jombang dengan santri. Identifikasi ini memang telah lama melekat pada masyarakat luas. Label itu pun juga tidak hadir dengan sendirinya. Ada proses dan peristiwa panjang yang mengkonstruksi Jombang sehingga mempunyai label sebagai Kota Santri.

Untuk itu, dalam artikel ini, penulis akan mencoba menelisik bahwasannya label sebagai kota santri itu dapat hadir karena adanya memori kolektif yang hidup di ruang lingkup Jombang.

Secara garis besar, sebuah memori atau ingatan adalah hal yang disimpan oleh pikiran setiap manusia terhadap gejala atau peristiwa tertentu. Setiap individu pasti mempunyai ingatan yang berbeda-beda, namun tidak berarti bahwasannya ingatan setiap individu tidak ada yang sama. Sebuah peristiwa yang biasanya mempunyai akibat yang besar membuat peristiwa itu menjadi sebuah memori yang ditampung oleh banyak individu. Itulah yang disebut dengan memori kolektif. Secara gamblang, memori kolektif berarti adalah sebuah ingatan bersama atas satu atau dua hal yang menjadikannya tonggak dalam ingatan.

Lantas, memori kolektif apa yang tersimpan di Jombang?

Pertanyaan itu tentu saja bisa dijawab dengan pendekatan yang substansial. Jombang adalah sebuah kabupaten yang menjadi simbol dari lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Peran NU tentu saja mempunyai efek yang besar bagi Jombang dan Tanah Air ini.

Jika kita lihat dari sejarah awal berdirinya NU, tiga tokoh dari Jombang ini memiliki peran besar dan menentukan, yaitu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri. Walaupun kita juga mengetahui bahwasannya yang mempunyai andil dalam pelahiran NU juga banyak, semisal, Kiai Cholil Bangkalan yang merupakan guru dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Faqih Maskumambang Gresik, Kiai Ridwan Abdullah, dan masih banyak yang lainnya.

Namun, sering disebut juga bahwasanya pendiri NU itu diwakili dengan tiga ulama asal Jombang tersebut, karena ketiganya mempunyai peran awal dan menentukan dalam pembentukan NU. Juga, karena ketiga ulama tersebut adalah pemimpin tertinggi NU secara berurutan.

Itu saja?

Kurang lega jika harus berhenti di pembahasan ini. Selain menyumbang tiga ulama besar untuk peletakan fondasi NU, rupanya Jombang juga mempunyai beberapa mutiara yang juga punya sumbangsih besar kepada NU, yaitu pondok pesantren. Setidaknya, ada empat pondok pesantren yang turut membentuk memori kolektif masyarakat Jombang, yaitu Pondok Pesantren Tebuireng, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, dan Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso.

Empat pondok pesantren tersebut tentu mempunyai peran besar untuk Jombang dan NU. Hal-hal itulah yang membuat masyarakat Jombang akhirnya mempunyai sebuah ingatan bersama tentang Jombang. Sehingga julukan Kota Santri bukanlah label tanpa alasan. Label itu adalah pemberian dari masyarakat atas peristiwa-peristiwa besar yang ada di Jombang.

Sebuah labeling yang membuat masyarakatnya senang. Pemberian label Kota Santri ini juga bisa diuji ke orang yang tinggal di luar Jombang ataupun di luar Jawa Timur. Sering sekali di beberapa kesempatan saya menyebut berasal dari Jombang kepada lawan bicara. Lantas beberapa lawan bicara saya tentu saja menyambung interaksi kami dengan sebuah pernyataan “Oh, Gus Dur, ya?” atau “Dekat dengan Gus Dur?” atau “Jauh dari Tebuireng, Mas?” dan semacamnya.

Inilah yang membuktikan bahwasannya identitas Jombang sudah dibentuk dari memori kolektif yang sangat kuat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.

(Tulisan ini juga sudah dipublikasikan di www.duniasantri.co)

Perkenalkan, aku adalah seekor elang jawa. mereka biasanya menyebutku dengan sebutan Garuda. Sudah berabad-abad aku berada di atas punca...


Perkenalkan, aku adalah seekor elang jawa. mereka biasanya menyebutku dengan sebutan Garuda. Sudah berabad-abad aku berada di atas puncak gunung tertinggi. Memang, ini sudah menjadi ritual selama siklus hidupku. Menyendiri dan berdiam diri untuk mempertajam insting serta kekuatan fisikku. Dalam kesendirian itu aku tidak pernah melihat dunia luar. Dalam semediku, aku hanya berfokus untuk menjadi ksatria saat aku kembali muncul di kehidupan serta muncul ke duniaku lagi.

Selama aku bersemedi, aku berpuasa dari segala macam makanan. Tujuanku hanya agar mengalahkan kepentingan nafsu perut ke bawah. Aku benar-benar terputus dari dunia luar. Namun itu tidak berarti aku meninggalkannya. Ada tanggungjawab besar yang aku panggul. Ada tanggungjawab besar dimana saat aku kembali, semua kekacauan akan berubah menjadi keseimbangan.

Aku mendapat kabar dari Dewa Wisnu, ia menceritakan bahwa saat ini rumahku, ekosistemku, duniaku, sudah jauh berbeda dari semenjak ku tinggal. Peradaban berjalan ke arah yang lebih menjerumuskan. Banyak binatang-binatang yang lepas diri dari rantai makanan. Tikus bisa memangsa singa. Jerapah hanya sanggup memangsa cacing. Duniaku seakan tak ada pakem lagi. Kodrat menjadi permainan dan mudah dibelokkan. Semua hanya untuk memuaskan urusan perut ke bawah. Memang begitulah dunia binatang, dunia dimana aku tinggal. Sangat sulit untuk mencukupi kebutuhan akal dan pikiran. Semua yang ada hanya tentang perut ke bawah. Itulah alasanku meninggalkan duniaku dan memutuskan untuk semedi di puncak tertinggi. Kelak, tentu saja aku akan kembali ke rumah.

            Di duniaku, aku menjadi simbol kebesaran. Aku menjadi lambang keagungan. Tapi, mereka semua hanya mengetahuiku dari pengetahuan warisan induk-induk mereka. Selama aku disana, aku bahkan tidak melihat sifat segan atas kebaikan atau sifat baik atas keburukan. Yang mereka dahulukan hanya hasrat kenyang dan memperbanyak keturunan untuk memperluas kawasan teritori. Binatang-binatang seperti aku dan mereka yang pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan untuk melampaui batas kemampuan, menjadi tersalahkan. ‘Semua bisa jika diusahakan’, slogan itu membuat tikus berani memangsa singa. Slogan optimisme itu menjadikan pohon rindang menjadi tumpukan kayu.

            Sang Wisnu memberiku kabar bahwa saat ini mereka semua menantikan kedatanganku. Semua berharap kepadaku. Aku dijadikannya simbol yang seakan tak bisa terkalahkan. Namun, aku sendiri tidak seperti itu. Mungkin salah jika berharap demikian kepadaku. Aku hanya akan menolong yang sedarah denganku. Aku hanya menolong raga yang masih berbentuk Garuda. Aku hanya akan membawa ketenangan kepada jiwa-jiwa yang merasa bahwa dirinya adalah Garuda. Yang tak pernah memangsa hewan di luar rantai makanannya. Aku hanya membawa kesejukan kepada yang serumpun denganku. Bukan musuh-musuh yang sibuk memanipulasi simbolku untuk kepentingan menerkam hewan yang lebih kecil darinya. Aku hanya menjadi ksatria untuk yang sebangsa denganku.

            Namun tentu aku tidak tega melakukan hal pilih kasih seperti itu. Aku sadar, aku tidak akan bisa. Hanya saja aku tak akan membiarkan hewan liar yang sibuk memangsa menjadi raja hutan. Aku hanya ingin melihat siapapun saja menjadi raja hutan yang dapat menjaga keseimbangan hutan, entah darimana ia berasal. Jika ada kebenaran, aku akan selalu ada disandingnya.

Kita sudah mengetahui bahwa weton merupakan hari kelahiran manusia menurut pertanggalan Jawa. Sedangkan wetonan adalah perbuatan untuk m...


Kita sudah mengetahui bahwa weton merupakan hari kelahiran manusia menurut pertanggalan Jawa. Sedangkan wetonan adalah perbuatan untuk menyikapi weton itu sendiri, yaitu berupa ‘perayaan’ atas kelahiran manusia. Penjelasan mengenai wetonan sudah saya posting kemarin, dan saat ini saya akan lebih berfokus kepada jenang sengkolo. Salah satu kuliner yang ampuh dan penuh makna dari Jawa.

Memang jika saya pikir-pikir, Jawa ini penuh dengan filosofi. Banyak sekali simbol-simbol yang hidup di belakang definisi. Setelah makna wetonan sudah kita bahas, maka sekarang mari kita menemukan makna jenang sengkolo.

Sebenarnya pasti untuk kalian yang orang Jawa pernah dan hafal dengan apa yang disebut jenang sengkolo atau bubur abang. Jenang sengkolo yang terbuat dari beras yang dicampur dengan gula aren dan santan ini menjadi kuliner yang lekat dengan tradisi suku Jawa. Bahkan kurang afdhol rasanya jika ada suatu tradisi selametan yang tidak menghadirkan jenang sengkolo.

Rasanya, jenang sengkolo menjadi kunci dari banyak tradisi di Jawa. Sebagai contoh, biasanya jenang sengkolo ini hadir dalam selametan bersih desa, wetonan, ritual panen, dan masih banyak yang lainnya. Aku pernah berbincang dengan orang yang sudah disepuhkan bahwasannya jenang sengkolo ini adalah induk atau inti dari segala macam ubo rampe atau sesaji. Sebenarnya apa makna jenang sengkolo menurut masyarakat Jawa?

source: merdeka.com

Biasanya saat merayakan wetonan, orangtua kita menyajikan jenang sengkolo untuk kemudian diberi do’a dan dibagikan ke tetangga-tetangga terdekat. Jenang sengkolo dan wetonan merupakan sebuah kesatuan makna yang tak bisa dilepaskan. Jenang sengkolo sendiri mempunyai makna sebagai proses kelahiran manusia di muka bumi. Bubur sengkolo yang berwarna merah diibaratkan sebagai indung telur, sementara bubur putih yang diisyaratkan sebagai sperma. Dengan demikian, bubur sengkolo mempunyai makna sebagai proses kelahiran dari orangtua.

Sebenarnya ada banyak makna yang dapat didapat dari jenang sengkolo, namun karena kita sedang membahas mengenai wetonan, maka tentu saja makna mengenai kelahiran lah yang dapat disandingkan.

Jika kita melihat betapa masyarakat Jawa menghargai sebuah kelahiran, tentu ada pesan yang mendalam dibalik itu semua. Masyarakat Jawa percaya bahwa kelahiran adalah tanda kebesaran Tuhan yang harus dimaknai. Sedangkan kelahiran merupakan sebuah perayaan dan pengingat bahwa kelahiran bukan hanya tentang ‘hidup’, namun ada tanggungjawab besar yang diemban. Dalam falsafah Jawa, ada dua dimensi yang harus dipenuhi atau setidaknya diusahakan selama hidup. Yang pertama adalah dimensi sosial, dan yang kedua adalah dimensi semesta. Kedua dimensi itu akan menciptakan jembatan menuju dimensi ketiga, yaitu dimensi Ketuhanan.

Untuk mencapai hubungan yang baik dengan Tuhan, manusia membutuhkan dua proses yang baik juga. Berbuat baik kepada manusia, biasanya kita mengenal sebuah falsafah Urip Iku Urub atau Memayu Hayuning Bebrayan. Dan, yang kedua berbuat baik kepada alam semesta, karena tentu kita hidup bukan tentang diri kita, namun semua komponen semesta juga hidup dan menyambung hingga ke Tuhan. Dalam istilah Jawa disebut, Memayu Hayuning Bawana.

Karena peranan manusia yang besar itulah kita setiap bulan diingatkan melalui wetonan, bahwa kita pernah terlahir di dunia ini bukan tanpa peranan dan tanggungjawab. Kita terlahir untuk misi yang besar. Semua peran serta misi itu tersirat dalam wetonan dan jenang sengkolo.

Bagi orang Jawa, weton bukanlah hal yang luar biasa dan sangat sakral karena dalam laku keseharian sudah sering dilakukan bahkan m...




Bagi orang Jawa, weton bukanlah hal yang luar biasa dan sangat sakral karena dalam laku keseharian sudah sering dilakukan bahkan menjadi tradisi yang setiap individu mengetahui. Weton sendiri adalah hari kelahiran manusia menurut penanggalan Jawa. Secara mudah, weton sendiri dapat diketahui dari hari kelahiran dan pasaran. Sebagai contoh, saya lahir pada tanggal 13 Agustus tahun xxxx. Saat tanggal 13 Agustus itu bertepatan di hari Sabtu Wage. Sabtu wage itulah weton saya.

Banyak orang yang salah kaprah ketika membicarakan mengenai penanggalan Jawa dan weton. Sebenarnya jika ditelusuri secara logis dan dianalisa secara empiris, tidak ada hal yang perlu disangkutpautkan dengan klenik atau apapun. Karena penanggalan dalam suatu suku merupakan sebuah sistem yang terlahir dari manusia. Tidak ada perbedaan fungsi umum antara penanggalan Jawa dengan penanggalan masehi. Hanya saja, penanggalan-penanggalan yang terlahir dari sistem kebudayaan daerah kita biasanya lebih akurat, dan bukan lebih ‘kolot’.

Tentu saja jika kita masih menggunakan dan mengikuti penanggalan Jawa, kita akan dianggap kolot. Padahal, tentu saja para leluhur kita dahulu sudah dengan susah payah menuangkan usaha pikiran dan mendonasikan waktu-waktunya untuk membuat sebuah sistem kolektif penanggalan ini. tidak hanya untuk menandai waktu, namun penanggalan kita juga sudah bisa menandai sifat manusia dan pergerakan alam yang jelas sudah teruji selama ribuan tahun. Hanya saja saat ini, ketika kita kembali kepada sistem itu maka akan dianggap klenik, syirik, dan lain-lain.

Pernahkah kalian mendengar dari orangtua atau sesepuh kalian saat membicarakan tentang weton. Bahkan terkadang orangtua saya dapat mengetahui sifat dari weton. Saya yang wetonnya adalah sabtu wage kata ibuk orangnya gak keras alias tidak keras kepala, sedangkan ibuk saya pernah berujar bahwa adek saya sifatnya keras kepala, lantas ibuk menyangkutpautkan dengan weton, “yo pantes ae weton e pancen………”

Tentu secara ilmiah tidaklah bisa diberi justifikasi sebagai suatu kesimpulan. Namun dalam kehidupan masyarakat, setiap orang bisa dilihat karakter umumnya dari weton.

Satu hal lagi dari Jawa yang membuat saya merasa bahwa perilaku kebudayaan ini sangatlah istimewa adalah wetonan. Wetonan berarti ‘merayakan’ hari lahir, berbeda dengan ulang ahun. Keakuratan waktunya justru lebih spesifik wetonan. Jika ulangtahun, yang dirayakan adalah tanggal dan bulan kelahiran (bukan tahunnya, eh tapi namanya ulang tahun), wetonan justru yang dirayakan adalah hari dan pasaran saat kelahiran.

Loh bagaimana itu?

Tentu saja kita harus mengetahui filosofi dibalik wetonan itu sendiri. Sebenarnya makna wetonan bukanlah hanya sebagai perayaan, namun ia adalah pengingat dan penanda sebuah kelahiran. Oleh karena itu, biasanya setiap wetonan maka ditandai dengan membuat jenang sengkolo atau bubur abang, penjelasan mengenai weton dan jenang sengkolo akan saya jelaskan besok. Kali ini lebih fokus ke wetonan dahulu ya.

Wetonan adalah penanda mengenai kelahiran. Karena ia adalah penanda, maka tentu saja ada makna dibaliknya. Maknanya adalah sebagai pengingat bahwa sebagai manusia kita ini dilahirkan, dari yang semula tidak ada menjadi ada. Weton adalah penanda bahwa kehidupan mempunyai masa, maka dari itu kita selalu diingatkan dengan wetonan yang datangnya tidak setahun sekali, namun sebulan sekali. Wetonan adalah sebuah pengingat kehidupan, dan dalam kehidupan akan selalu ada syukur sebelum kematian. Dan rasa syukur itu ditandai dengan adanya wetonan yang biasanya diaplikasikan dengan cara membagikan jenang sengkolo minimal untuk tetangga-tetangga dekat kita.

Banyak sekali hal yang perlu dituangkan mengenai wetonan ini, besok akan saya jelaskan makna jenang sengkolo dan wetonan. Untuk kali ini sudah ya, salam.

Lahan yang semakin tergerus oleh bangunan, gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik, tempat perbelanjaan modern, setiap hariny...



Lahan yang semakin tergerus oleh bangunan, gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik, tempat perbelanjaan modern, setiap harinya terbangun menggerus lahan. Desa yang sudah seperti kota, kota yang semakin menjadi ultra-city. Sama halnya dengan apa yang terjadi di Kalimantan. Pulau dengan beragam fauna dan mendapat label paru-paru dunia, kini sedang berpotensi menjadi pulau kaya yang mengabaikan kesehatan paru-parunya.

Kelapa sawit, menjadi perkebunan yang semakin hari semakin meluas di daerah Kalimantan, terutama Kalimantan Barat. Perkembangan sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat memang mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan, hampir sepertiga kawasan Kalimantan Barat telah menjadi lahan kelapa sawit. Hal yang menyebabkan maraknya komoditas kelapa sawit dalam masyarakat Kalimantan adalah karena sangat menguntungkan bagi masyarakat. Lagi, faktor ekonomi mendesak masyarakat mengorbankan keanekaragaman hayati yang dimlikinya.

Realitas yang terjadi dalam pengembangan bisnis kelapa sawit adalah masyarakat berbondong-bondong mengalih-fungsikan lahan mereka menjadi lahan kelapa sawit demi  keuntungan yang berlimpah. Salah satu korban kelapa sawit adalah hutan yang terus dikonversi menjadi lahan perkebunan. Tentu saja hal itu sangat diminati para investor karena lahan yang dituju adalah wilayah hutan. Dengan kata lain, sebelum berinvestasi para investor sudah mendapat keuntungan besar berupa kayu dengan harus menyertakan ijin pemanfaatan kayu kepada pihak pemeritah.

Terjadinya fenomena itu menyebabkan keanekaragaman hayati di Kalimantan menjadi lebih homogen. Tentu saja hal yan demikian akan menyebabkan berbagai faktor akibat yang sangat signifikan. Berikut adalah beberapa gambaran dampak yang terjadi akibat perluasan kawasan perkebunan kelapa sawit:

1. Pembukaan lahan sering dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efisiensi biaya dan waktu. Sangat bisa dimengerti bahwasannya Indonesia sering terjadi bencana kabut di titik-titik tertentu. Selain karena memang benar unsur kemarau, ada juga pihak yang memanfaatkannya.
2. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas, dan konversi menghasilkan hilangnya keanekaragaman hayati yang berdampak dengan adanya menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama , dan penyakit.
3.Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, satu batang pohon sawit dapat menyerap 12 liter (hasil penelitian dari Universitas Riau). Selain itu pertumbuhannya juga harus diberi stimulan dari unsur lain seperti pestisida. 
4. Praktek konversi hutan juga dapat menyebabkan terjadinya bencana alam seperti longsor, banjir, dan erosi tanah.
5. Habitat orangutan yang terancam akibat meluasnya lahan kelapa sawit. Bahkan, di Aceh, ekosistem orangutan sudah sangat kritis. Ditambah, populasinya yang hanya 150 ekor, hal demikian diungkapkan oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Masih banyak dampak negatif yang perlu digarisbawahi dan harus menjadi urgensi demi lingkungan kita. Jika terus digunduli, bisa saja Bumi yang tak lagi kokoh ini akan tergerus oleh jenis penyakit baru ini. Terlebih, keseimbangan ekosistem dan lingkungan juga harus menjadi prioritas utama dibandingkan factor ekonomi. Jikalau, memang benar kelapa sawit membawa dampak positif yang lebih dominan, maka harus dipikir ulang bagaimana cara mengatasi sub-sub masalah atas keberlangsungan semuanya ini.

Disaat bisnis kelapa sawit semakin kokoh berdiri, disisi lain, bumi pertiwi sedang merintih. Semua, pasti, mempunyai dampak positif dan negatif. Semua, tentu, masih berkutat pada pro dan kontra. Lantas, dimanakah keadilan berpijak jika semua hanya didukung oleh serakah dan hal yang disebut ‘untuk kaya’? Nurani selalu berkata, lingkungan dan tempat kita lahir harus diselamatkan. NKRI harga mati, bukannya, uang harga mati. Jika ada solusi tengah yang tanpa merugikan keduanya, maka tangan ini pasti terbuka. Sejauh ini, saya masih berpijak pada penolakan eksplorasi yang tak menguntungkan Sang Ibu.

Jangan mengeluh jika bumi ini berbenah, jangan kaget jika tanah ini mulai menyeimbangkan. Bumi ini hanya tak ingin mati, ia hanya menyembuhkan diri. Dan manusia-manusia layaknya sadar diri.

Sebelum memulai substansi bahasan, aku ingin disclaimer terlebih dahulu. Topik ini aku buat karena pikiran yang sedang buntu sehing...



Sebelum memulai substansi bahasan, aku ingin disclaimer terlebih dahulu. Topik ini aku buat karena pikiran yang sedang buntu sehingga tak bisa memilih tema bahasan yang lebih menggigit untuk mengisi Challenge menulis selama 14 hari. Tapi, I promise you gaes, aku akan tetap menghadirkan bahasan yang segar. Apapun topiknya.

Aku mencoba membahas ini karena keresahanku selama berada di dalam rumah. Sudah lebih dari dua minggu aku terpenjara, batinku sudah ingin berteriak dan berkelana, naik gunung, berpetualang ke hutan, tour menggunakan sepeda motor bersama teman-teman, nyasar di perjalanan, pantai, taman, kolam, ah rasanya sungguh sangat menggoda.

Tidak ada yang tidak menghasilkan kebaikan, meskipun itu hanya berdiam diri di dalam rumah. Setidaknya aku dihibur oleh beberapa fenomena yang selalu muncul di layar gawaiku. Dan dua diantaranya sangatlah seirama serta bertentangan. Pertama, fenomena video TikTok yang semakin menggila. Kedua, Pemerintah yang setiap hari sibuk bersuara untuk publik. Kita bahas yang pertama dulu yuk TikTokers.

Sejak melakukan karantina di rumah, aku lebih sering membuka sosial media hanya untuk scrolling hingga jenuh. Dari awal karantina hingga hari ini, aku selalu menjumpai video TikTok dari masyarakat +62, aku bahkan mengetahui tren-tren TikTok yang muncul di kolom explore instagramku; goyang mama muda, jamet, video loncat-loncat gak jelas sampai pegel, penari orang mati, entah apa sebutannya aku tidak tahu. Dan anehnya, dari beberapa tema video itu, kenapa semua yang membuatnya menjadi viral, sehingga aku disajikan konsep yang sama tapi dengan orang yang berbeda. Awalnya lucu, tapi setelah karantina hari ke 5675, aku jadi bosan. Karena tidak puas dengan video TikTok yang ada di Instagram, akhirnya aku mencoba mengunduh kampung halaman video ini nih, ya saya mengunduh TikTok dong. Dan, memang lebih bervariatif sih videonya, tapi tidak bisa menghiburku lagi.

Selanjutnya, rupanya kemampuan komunikasi politik saat ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk memberikan informasi kepada masyarakatnya. Bayangkan saja, setiap hari harus memberikan informasi perihal perkembangan wabah, setiap hari juga selalu ada dialektika pejabat yang diekspos oleh media untuk masyarakat. Ada Menteri yang tidak melarang mudik, ada Menteri yang ingin membebaskan koruptor, lah. Untung gak jadi. Semua tingkah mereka sungguh justru membuatku terhibur. Karena berita yang tidak statis dan lebih mempunyai efek kue lapis setelah pejabat tersebut melakukan komunikasi politik ke publik.

Saat Sang Menteri bersabda, maka efek domino akan berjalan segera. Ada banyak komponen yang merespon sehingga kita akan mendapatkan banyak variasi dengan topik yang sama namun dengan konsep dan orang yang berbeda. Aku selalu serius mendengarkan respon-respon dan diskusi dari masyarakat. Seru gaes.

Tapi, karena banyaknya blunder-blunder akibat cara komunikasi yang salah dari pemerintahan, akhirnya saat ini masyarakat sudah mulai jenuh dan hampir tidak peduli. Bayangkan saja, bro, kita sebagai masyarakat fokus ada di rumah, kita punya fokus yang lebih fokus untuk mengikuti alur suara pemerintahan. Tetapi, komunikasi yang diciptakan selalu mendapatkan blunder yang itu memojokkan kita sebagai rakyat, bagaimana kita tidak jengkel. Memang kita terus memerhatikan setiap gerik dan gelagat para bapak-bapak berdasi ini, namun jika yang dihadirkan justru melahirkan rasa gelisah dan memperpanjang usaha kita untuk tetap di rumah, ya buat apa. Aku kan juga ingin naik gunung.

Jadi, rupanya aku salah sangka terhadap TikTok, ku kira TikTok adalah hiburan, ternyata TikTok adalah ekspresi kejenuhan warga +62 terhadap apapun yang melanda mereka selama di rumah. Terlebih, dari sini aku bisa merumuskan satu hal, mungkin saja kegelisahan terhadap tindak laku para pemimpin-pemimpin kita ini membuat rakyat semakin acuh dan tidak peduli dengan pikiran kekanak-kanakan mereka, sehingga apa? Salah satu cara untuk menghibur diri dari pengkhianatan adalah dengan mengekspresikan diri melalui TikTok. Di rumah aja sudah bisa jadi karya. Jadi sebenarnya, masifnya video TikTok (mungkin) adalah akibat dari sebab suara pemerintah yang mbulet.

Maaf ya kalau bahasan kali ini tidak jelas, lagi gak bisa mikir jernih.




Konon, dahulu bangsa Atlantis ini dulu sangalah makmur, kaya, dan damai. Namun semenjak Atlantis berubah nama menjadi Negara ‘Ya A...





Konon, dahulu bangsa Atlantis ini dulu sangalah makmur, kaya, dan damai. Namun semenjak Atlantis berubah nama menjadi Negara ‘Ya Allah’, semua aspek sosial, akademika, religi, politik, dan lainnya menjadi nggedabrus dan hanya perlu disikapai dengan kata ‘Ya Allah’ pula. Dahulu, katanya, orang-orang bangsa atlantis lebih mengedepankan dan menyeimbangkan antara metafisik (religi) dengan ilmu katon. Namun saat ini, Negara ‘Ya Allah’ ini masih berusaha menyeimbangi religi dan katon dengan cara yang ‘Ya Allah’ juga. Atau mungkin bisa dibiang dengan sifat kanak-kanak.

Susah mencari orang yang baik di negeri ‘Ya Allah’ ini. Kalau mencari orang yang benar, di negeri ini melimpah ruah orang benar. Hanya saja, sedikit orang baik dan orang mengindahkan kebenaran disini. Katanya, negara ‘Ya Allah’ ini sangat religius, tapi religiusitasnya masih bersifat kanak-kanak. Beragama dengan meyakini bahwa kelompok dan ajarannya yang paling benar. Sedang output kebenaran mereka, tak ada yang indah dan baik. Saling menyalahkan satu sama lain. Saling menentang satu sama lain. Apalagi, di Negara ‘Ya Allah’ ini teknologi sedang berkembang pesat. Barang dagangan yang bernama media sosial menjadi wadah bukan untuk bersosial, melainkan adu serang kebenaran tanpa mempertimbangkan kebaikan dan keindahan; atau biasanya disebut ‘akhlak’.

Ada hal yang lebih menggelitik di Negara ‘Ya Allah’ ini. Politik. Jujur, disini saya melihat politik menjadi acuan dan sudut pandang bahkan ideologi massal yang digunakan dalam melihat apapun. Terlebih lagi, situasi politik di negeri ini masih terjadi dualis yang cukup kuat dari dua kubu tersebut.  Sehingga penduduk ‘Ya Allah’ ini masih berpikir seperti anak-anak. Berpikir hanya antara benar dan salah, hitam dan putih. Yang kubu A mengait-ngaitkan peristiwa untuk menjatuhkan kubu B, sedang kubu B berusaha mengimbangi agar yang lain tahu bahwa yang salah kubu A.

Secara tak langsung, Negara ini sudah terpecah. Ditambah lagi, suasana media yang memanas. Sindir sana sindir sini. Seakan manusia kehilangan presisi berpikirnya untuk mengambil dan mengolah input menjadi kebaikan dan keindahan, akhlakul kharimah.

Seperti anak kecil sih, tapi ini mungkin proses pendewasaan bagi negeri ini. Ya semoga negeri ini menjadi dewasa sebelum kedatangan kehancuran mendahuluinya.

Saya yang bukan dari Negara ‘Ya Allah’ ini berharap, agar apapun kebenaran yang kita yakini, apapun parpol yang kita pilih, siapapun orang yang akan kita tunjuk, tidak membuat menjadi hancur. Karena kebenaran itu cukup kita yakini, tanpa melukai kebenaran yang lain. Kamu boleh meyakini Partai Garingnda namun output sosialnya harus bersifat baik kepada siapapun, bahkan kepada oposisi anda yang dari Partai PEDE ih.

Kalau di negeri saya sendiri sih masih aman, makmur, tentram, tidak ada kerusuhan. Saya tinggal di negera Indonesia. Disini, masyarakat sangat baik sekali. Keberagaman sangat wajar dan makanan keseharian. Social media bukan acuan kebenaran. Kedewasaan menjadi sifat kami disini. Politik menjadi alat berbuat baik. Dan agama, menjadi pemersatu perbedaan dan benteng iman mempertahankan negeri ini. Disini taka da teroris dan pengeboman. Kabarnya, di Negara ‘Ya Allah’ banyak teroris ya? Kami disini hanya bisa mendo’akan agar negerimu menjadi sama seperti negeriku, Indonesia.  

Salam, dari penduduk Indonesia untuk seluruh masyarakat Negara ‘Ya Allah’.

  (Gambar ini tidak ada kaitannya dengan artikel ini, hehe) Dua payung terbesar Islam di Indonesia adalah Nahdhatul Ulama dan Muh...



 
(Gambar ini tidak ada kaitannya dengan artikel ini, hehe)
Dua payung terbesar Islam di Indonesia adalah Nahdhatul Ulama dan Muhammadyah. Berada pada sumber guru dan pendidikan yang sama, kreator atau pembentuk kedua organisasi tersebut cenderung memiliki visi-misi segmental yang berbeda. Jika dulu, sering kali terlihat adanya saling sindir dan menyalahkan antara kedua kelompok tersebut; biasanya perihal Do’a Qunut, Tahlilan, Sholawatan, dan segmen berbeda yang lain, saat ini, masyarakat kita dari kedua payung tersebut sudah mulai dewasa dan bahkan sudah dapat menciptakan keselarasan yang sangat dominan. Disaat Nahdhatul Ulama dan Muhammadyah sudah mulai menyatu, muncul suatu aliran kelompok dagang yang membawa komoditinya untuk dijual secara murah di masyarakat luas. Tak heran, aliran ini biasanya dengan mudah menyalahkan kelompok lain bahkan mengkafir-kafirkan kelompok yang bukan dari dirinya. Anehnya, kelompok ini membawa dan mengusung simbol-simbol bahasan yang NU dan Muhammadyah sebenarnya sudah khatam dari dulu. Karena targetnya adalah masyarakat awam, jadi ya mereka menerima saja. Sedang dua badan besar Islam di Indonesia tetap anteng karena mereka sudah tahu bahwa itu barang lama.

Tapi, bukan itu yang akan saya bahas. Saya akan mencoba membagi pengalaman saya secara personal.

Beberapa hari yang lalu, saya mengawali puasa Ramadhan saya di Tulungagung. Saya mengunjungi teman saya, sekaligus meminta belas kasih agar diberi makan oleh empu-nya rumah. Karena ini membahas NU dan Muhammadyah, maka saya perkenalkan dulu basis saya dan mengkerucutkannya kedalam dua segmentasi itu. Saya basisnya adalah NU, sedang teman saya yang lama jomblo, bisa dipanggil, Luqman. Dia basisnya adalah Muhammadyah yang taat (sebelumnya. Sekarang mbleot-mbleot). Saat itu, kami akan melakukan tarawih pertama di bulan Ramadhan. Karena basis kami tak sama, kami melakukan kompromi. Menggabungkan dua syariat dari masing-masing badan menjadi alternatif baru. Karena biasanya tarawih NU adalah 20 raka’at, dan Muhammadyah 8 raka’at, akhirnya alternatifnya adalah, kami berdua sholat di masjid NU dengan mengambil delapan raka’at. Atau bisa dikatakan, raka’at nya ikut syariat Muhammadyah, kecepatannya (speed) ikut NU. Masalah selesai.

Tidak hanya itu, rupanya ketika saya sudah di rumah Luqman, saya menjumpai dia bersholawat dan memutar sholawat di androidnya. Dalam benakku, “Alhamdulillah, akhirnya sholawatan juga.” (sambil ketawa jahat).
Bahkan Luqman ini mulai menghafal beberapa sholawat, yang mungkin saya malah tak menghafalnya. Luar biasa.

Rupanya, sekarang ganti saya yang mencicipi basisnya. Kali ini, tarawihnya berada di langgar Muhammadyah. Karena saya tak paham caranya, saya beberapa kali menanyakan cara taraweh Muhammadyah supaya ketika sholat tarawih berlangsung, saya tidak kecilik.

Man, iki mengko loro-loro opo langsung papat-papat terus salam?” Tanyaku
Mbuh ya, kadang enek sing loro-loro, kadang papat-papat.” Jawab Luqman sambil ngupil dengan jempol kakinya yang besar.
“Nek missal papat-papat, enek duduk tasyahud awal gak?” tanyaku penuh kekhawatiran lagi.
“gak onok, langsung.” Masih melanjutkan Ngupil, namun kali ini sambil menjilat upil yang dia peroleh di jempol kakinya.

Oke, akhirnya kami berdua berangkat ke langgar. Dan Alhamdulillah, saya lulus dan berhasil mengikuti tarawih sesuai cara Muhammadyah. Terdengar sepele memang masalah ini, tapi satu hal yang menjadi hal penting dalam tulisan ini adalah, “Jangan ngupil dengan jempol kaki.” Hmm… maksud saya, anu, bukan itu. Kedewasaan dalam beragama tidak memandang perbedaan. Perbedaan merupakan alternatif dan sudut pandang baru bahwa keyakinan kita bukan mutlak merupakan kebenaran hakiki. Ada jalan-jalan yang sangat multitafsir, namun tujuannya tetap kepada Allah. Jika saya berada di jalan yang tidak sama dengan yang anda lewati, bukan berarti saya benar dan anda salah. Saya pun tidak punya kewenangan untuk menyalahkan anda. Dan anda juga tak punya kewenangan untuk menyalahkan saya.

“Wa likuliw wij-hatun huwa muwallihaa Fastatabiqul khairaat…..” (Al-Baqarah :148)

Entah ini hanya saya saja atau mungkin terjadi pada anda juga. Setiap saya membuka sosial media, berita televisi, opini seseorang, be...



Entah ini hanya saya saja atau mungkin terjadi pada anda juga. Setiap saya membuka sosial media, berita televisi, opini seseorang, berita surat kabar, yang terjadi adalah pembicaraan tentang ‘Masalah Negara’. Adu domba, korupsi, perpecahan, teroris, kubu sini vs kubu sana, politik, dan banyak lain sub bahasan yang disajikan. Yah, saya disini bukan orang pintar (secara akademik) dan juga orang pintar (semacam cenayang atau dukun). Saya hanya masyarakat biasa yang khawatir dengan kondisi semacam ini, bukan khawatir terhadap nasib jajaran pemerintahan, namun khawatir kalau tetangga saya dan masyarakat kecil yang lain sudah mulai berubah sirkulasi hidupnya, mulai cemas, hidup tak seimbang, dan takut merajalela.

Judul diatas, ‘Jangan Manja’. Bisa ditarik kepada bahasan kritik kepada yang sedang bermasalah di negeri ini. Dan juga sebuah sugesti sosial agar rekan-rekan, saudara, tetangga saya selaku masyarakat Indonesia tidak manja untuk menunggu uluran tangan Pemerintah.

Maaf saya agak pesimis untuk beberapa hal, namun sangat optimis kepada masyarakat Indonesia. Jika Singapura bisa menjadi negara maju karena regulasi negaranya sangat teratur, pemerintahan Singapura sangat disiplin terhadap rakyatnya, sangat wajar. Namun dalam renungan pagi hari tadi, saya kagum dengan masyarakat Indonesia, mereka sangat mandiri untuk bekerja, mereka sangat mandiri dengan hidup mereka, sehingga jika alokasi dana pemerintah belum masuk kepada desa dan hidupnya, mereka tidak mengeluh dan berkata ‘Ah, sudah biasa’.

Manusia mana yang kuat bertahan hidup dikala gaduh nasional ini, manusia mana yang paling kuat di dunia, yang mampu membuat strategi ekonomi keluarganya, strategi pelunasan hutang kredit sepeda motor, dan strategi yang dibuat dalam ruang lingkup keluarga, jika bukan manusia Indonesia. Oleh sebab itu saya sangat optimis dengan mereka. Kelak, disaat tatanan internsional mulai kacau, negara-negara yang lain akan panik, mencari utara namun ingin ke selatan. Sebuah regulasi hancur tak karuan. Namun manusia Indonesia akan tenang, karena mereka ‘Sudah Biasa’. Tidak hanya mereka akan tenang, mereka juga yang akan menenangkan dunia. Saat itulah, Indonesia menjadi mercusuar dunia yang memberi sinyal arah yang jelas dari kejauhan, yang memberi cahaya pada yang sedang kegelapan. Dan memberi harapan bahwa manusia Indonesia akan menjadi kapten kesebelasan karena sifat adiluhung.

Media
Saya sedikit mencoba menyinggung sedikit perihal media. Berita tentang korupsi, perpecahan, dll yang disajikan secara luas sehingga masyarakat tanpa terkecuali bisa mengaksesnya, apakah tujuannya?

Jika tujuannya untuk sekedar memberi informasi, yah itu bagus. Namun apakah pernah dipertimbangkan bahwa berita semacam itu membuat masyarakat semakin pesimis terhadap Indonesia. Selain itu juga memberikan sebuah konstruksi berpikir kolektif dalam masyarakat bahwa berita tersebut semakin membebani mereka. Seperti ini ilustrasinya,

“Ada sebuah keluarga petani, melihat berita mengenai korupsi dan perpecahan. Sebagai informasi, ini berhasil. Namun sebagai jalan keluar yang perlu dipublikasikan, ini kurang baik. Petani tersebut akan mengeluh, akan dipaksa berpikir tentang korupsi, akan mengganggu sistem psikologi mereka. Seakan berita tersebut bukan merupakan sebuah informasi, melainkan sebuah pelimpahan tanggungjawab  dimana petani tersebut juga harus memikirkan perihal negara padahal tugas utama petani adalah bertani, sedang tanggungjawab suatu negara adalah di kelompok yang diamanahi. Jika petani itu ikut terlibat dalam masalah negara, itu bukan tanggungjawabnya, melainkan sebuah partisipasi, sebuah sedekah terhadap Bangsa.”

Jadi, disinilah peran KPI seharusnya, bukan hanya yang bersifat materi saja yang disensor atau dihilangkan bagiannya, yang bersifat psikologis dan mengganggu keseimbangan juga perlu disensor atau kalau bisa dibuang. Maaf jika banyak yang tidak setuju, ini hanya jalan pikiran subjektif saya.

Kembali ke ’Jangan Manja’, pihak yang terlibat dalam suatu permasalahan jangan manja untuk mengemis kepada yang tidak terlibat. Lain lagi jika ada yang bersimpati dan berempati untuk membantu, tapi tidak bisa dengan paksaan. Jika ini terwujud, rakyat akan tahu barang matangnya, bukan barang mentah yang rakyat disuruh memasaknya sesuai selera.  Dan untuk manusia Indonesia, sifat ‘jangan manja’ malah sudah menjadi kebiasaan.

Pihak luar bisa menghancurkan Indonesia, dalam artian kelompok-kelompok yang memegang kuasa negara, namun tak bisa menghancurkan Rakyat Indonesia. Seperti, pihak luar bisa menghancurkan Islam dalam artian ulama dan pengurus-pengurus Islam, namun tidak bisa menghancurkan Kaum Muslimin.

Jadi, untuk pihak luar yang sedang berniat menghancurkan Indonesia dan menghancurkan Muslim Indonesia, sebaiknya mikir lagi. Rakyat Indonesia penuh filosofi, pelajari dulu filosofinya. Dan saya pastikan, tak akan pernah selesai engkau belajar filosofi Rakyat Indonesia. Karena kita, Bangsa Indonesia sudah lebih lama menjadi Negara Maju dibandingkan Negara kalian. Kata siapa, Indonesia ini Negara tertinggal. Negara disebut Negara tertingal, dan disebut Negara maju itu jika tujuannya sama. Menempuh jalan yang sama. Sebagai contoh, saya dan anda ingin pergi ke Surabaya dari Malang. Saya masih sampai pasuruan, anda sudah sampai Surabaya. Berarti saya tertinggal.

Begitu pula dengan Negara, jika yang dimaksud Negara maju adalah ukurannya mengenai MATERI. Maka Indonesia tidak bisa dikatakan Negara tertinggal, karena tujuan kita bukan materi. Tujuan Indonesia, murni adalah kepada hal spiritualitas.

Indonesia adalah negara yang memiliki daratan sangat luas dan terletak pada garis khatulistiwa sehingga beriklim tropis. Oleh karenanya, t...

Indonesia adalah negara yang memiliki daratan sangat luas dan terletak pada garis khatulistiwa sehingga beriklim tropis. Oleh karenanya, tak sedikit sumber daya yang dihasilkan dari potensi tersebut. Hal tersebut juga membuat Indonesia dianugerahi julukan sebagai Negara Agraris.
INDONESIA ADALAH NEGARA AGRARIS, TETAPI MENGAPA KESEJAHTERAAN PETANI MASIH DIPERTANYAKAN?

Ada pomeo yang mengatakan "kalau ingin hidup tenteram jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan kalau ingin kaya jadilah pedagang". Nampaknya kini pomeo tersebut sudah tidak sepenuhnya berlaku. Kehidupan petani jauh dari kesan tenteram dan sejahtera. Bahkan menurut Sastraatmaja (2006) petani hidup dalam suasana ketertinggalan dengan kondisi kehidupan yang mengenaskan. Kita yang selalu bangga mengklaim diri sebagai bangsa agraris ternyata masih belum meraih kemakmuran. Impor beras dan produk - produk pertanian lainnya masih saja terjadi. (Dr. Ir. Euis Sunarti, IPB)

Merdekanya negeri ini dari penjajahan ternyata belum menemukan jalan untuk memerdekakan petani tanah air. Apabila dahulu petani tak merdeka oleh karena tanam paksa, saat ini petani kita tak merdeka karena tak mendapatkan kesejahteraan. Lalu apa perbedaan antara dahulu dengan sekarang apabila intinya sama - sama menderita?
Berikut sebagian kecil kutipan dari media - media yang mengungkapkan kesedihan petani - petani Indonesia.

Undang - undang lahan pertanian pasalnya juga malah memperburuk nasib petani gurem. Hal ini diungkapkan di kompasiana.com pada 29 Oktober 2009. Undang - undang ynag disahkan oleh DPR, yaitu UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) justru menambah keresahan para petani gurem. "Sebelumnya jutaan petani gurem di Indonesia tentu berharap UU PLPPB itu dapat mengentaskan mereka dari sepiral kemiskinan yang selama ini menyesakan kehidupannya. Sepiral kemiskinan itu adalah akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan. Namun harapan petani gurem itu ternyata bertepuk sebelah tangan.UU PLPBB justru semakin meminggirkan  petani gurem secara legal. Kini, nasib petani gurem laksana di ujung tanduk. Bagaimana tidak melalui UU PLPPB itu pemerintah mengijinkan masuknya korporasi besar ke sektor pertanian pangan. Artinya, harapan petani gurem untuk memiliki akses terhadap lahan pertanian secara lebih layak semakin tipis."
Resource:http://politik.kompasiana.com/2009/10/29/undang-undang-lahan-pertanian-hanya-memperburuk-nasib-petani-gurem-19584.html

Berikut kutipan tentang nasib petani kakao yang dilansir agroindonesia.co.id pada 28 Juni 2010. "Entah apa yang ada di benak para petinggi negara kita saat memutuskan memberikan BK (Bea Keluar) 10% bagi biji kakao yang akan diekspor. Yang jelas, mereka tidak belajar dari kasus larangan ekspor rotan. Padahal, tujuan larangan ekspor rotan sangatlah mulia, yaitu agar industri mebel rotan bisa tumbuh. Namun, nyatanya, hal itu gagal total."

Ayong Winata, pemilik CV Almakmur. Seperti dilansir Detik.com pada 19 Januari 2011, mengungkapkan bahwa Pemerintah tak pernah memerhatikan nasib petani Indonesia yang pada tahun 2010 mengalami kegagalan panen akibat cuaca ekstrem dan gangguan hama. Ia juga mengungkapkan bahwasanya nasib petani saat itu sudah sampai taraf sengsara. Dikatakan bahwa petani dibiarkan begitu saja oleh pemerintah untuk mengatasi masalah di lapangan. Padahal, petani kita berpengetahuan kurang dan dananya juga terbatas.

Dilansir Kompas.com pada 18 Maret 2013, bahwa nasib petani dan masa depan pertaniannya gelap. Hal ini dikarenakan anggapan bahwa menjadi petani tidak menjamin kehidupan yang lebih baik. Para petani sekuat tenaga mendorong anaknya keluar dari sektor pertanian. Selain itu, tidak ada kebijakan yang benar - benar memihak petani. Diungkapkan juga bahwa 80 persen penghasilan para petani justru bukan berasal dari sektor pertanian, melainkan dari hasil menjadi tukang ojek, buruh, tukang batu, dan pedagang kecil.

Dari hasil pengamatan terhadap keadaan petani di Indonesia dari berbagai media setiap tahunnya, dapat dikatakan bahwa kehidupan petani hingga saat ini tahun 2013 masih belum mendapatkan kelayakan. Terbukti pada kutipan terakhir, media kompas pada 18 Maret 2013, dikatakan bahwa petani merasa tidak mendapatkan hidup yang layak sehingga mereka berjuang sekuat tenaga agar anak - anak mereka keluar dari sektor pertanian.

Apabila semua orang ingin menjadi dokter, pilot, dan guru, lalu siapa yang akan menjadi petani? Apabila semua orang tua ingin anaknya menjadi insinyur, mandor, dan pejabat, lalu siapa yang akan menjadi petani? Karena merupakan hal yang konyol ketika potensi lahan seperti di Indonesia ini akan tak tergarap karena punahnya petani dari tanah air.
Bukan maksud kami untuk menganjurkan pembaca untuk menjadi petani, tetapi setidaknya marilah kita mendukung petani kita untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Marilah kita katakan pada pemerintah, bahwa petani Indonesia juga ingin kesejahteraan. (HDC)




*Pada kesempatan ini, sengaja kami menerbitkan post ke empat kami tepat pada tanggal 21 April. Hari ini, 21 April 2013 merupakan hari yang...

*Pada kesempatan ini, sengaja kami menerbitkan post ke empat kami tepat pada tanggal 21 April. Hari ini, 21 April 2013 merupakan hari yang memancarkan aura kerinduan pada sosok Raden Ajeng Kartini. Salah satu tokoh yang sangat berpengaruh bagi Indonesia mengingat kegigihannya untuk memperjuangkan emansipasi wanita. Hingga detik ini, perjuangan beliau tak surut dimakan zaman. Jiwanya yang agung terus menggema di hati setiap insan Indonesia khususnya wanita - wanita bangsa ini. Di tengah gejolak peradaban ini, adalah satu orang wanita yang kami kira patut untuk kita lirik sebagai satu sosok pewaris jiwa Kartini. Dialah Yohana Febrianti Hera. Finalis best eleven X-Factor Indonesia. Beberapa hari yang lalu, kami sempat berbincang langsung dengan wanita ini. Tersungging senyum di atas manis pahit hidupnya. Seakan arwah Kartini telah merasuk padanya.

Dialah, Yohana
Ketika langit tak peduli padanya lagi, dia tetap menatap penuh syukur. Ketika bumi tak lagi bicara padanya, dia tetap melangkah. Ketika takdir tak berpihak padanya, dia tetap tersenyum. Kehidupan yang tak semua orang alami. Terhalang gunung, ia mendaki. Terhempas samudera atlantik, ia selami. Terhadang lubang, ia melompat. Dialah gadis yang menjiwai seluruh teka teki hidupnya. Tergerus arus kehidupan, ia tak pernah layu. Justru aral melintang tersebut menjadi jembatan baginya untuk menikmati irama hidupnya. Ia mencintai nada, ia suka bernyanyi, suara yang dimiliki tak ubahnya seruling surgawi.
Yohana, menggoreskan kisah hidupnya dengan tinta warisan R.A. Kartini. Ia merupakan sosok yang banyak belajar dari perihnya kehidupan. Ia menyadari cercaan padanya, tetapi tak pernah ia menceritakannya tanpa senyum.
Sedikit kami akan menuliskan goresan tersebut :
Usia SMA Yohana merupakan usia yang tak akan pernah ia lupakan. Disanalah ia sempat menemui keputusasaan terbesar dalam hidupnya. Bayangkanlah kawan, apabila kalian berjalan selama dua puluh satu detik, dan dua puluh satu detik itu kalian berjalan dengan menutup mata. Bayangkanlah kawan, apabila kalian belajar selama dua puluh satu menit, dan dua puluh satu menit itu dengan menutup mata. Bayangkanlah kawan, apabila anda berjalan bersama orangtua selama dua puluh satu hari dan anda ingin menatap orangtua anda, tetapi dua puluh satu hari itu kalian dengan menutup mata. Dan bayangkanlah kawan, dua puluh satu tahun langit melihat dirimu, tetapi selama dua puluh satu tahun kalian tak sekilaspun menatap wajah langit. Kita boleh menutup mata kita kawan, tetapi jangan pernah sekalipun menutup mata hati kita.
Yohana, adalah seseorang yang mungkin memiliki pengalaman lebih bersama penutup matanya. Ia tak pernah ingin menutup matanya, tetapi takdir lah yang menutupnya. Matanya selalu tidur, tetapi jiwanya tak pernah kantuk. Bersama kegelapan ia bulatkan tekad juangnya, bersama gelap ia menyinari dunia ini.
Tak pernah diduga suatu ketika dokter menjudge Yohana dengan penyakit glukoma :
Yohana terlahir tanpa cacat, ia dapat menyapa warna - warni dunia ini. Tetapi usia SMAnya berkata lain. Kisahnya berawal ketika ia merasa matanya perih oleh karena sinar matahari. Yang akhirnya membuatnya pergi ke apotek dan mendapatkan obat dari sana. Obat mata tersebut bekerja. Tetapi ketika ia tak menggunakan obat tersebut, matanya menjadi merah dan lebih perih. Ia kemudian menggunakan obat tersebut ketika merasa perih dan matanya memerah. Begitulah ia menggunakan obatnya sebelum daya pandangnya menyempit. Ia pikir hal tersebut hanyalah penyempitan sementara. Tetapi tidak, penyempitan itu menjadi lebih banyak sehingga hanya sebagian kecil jangkauan pandangnya. Akhirnya ia berobat ke dokter, dan apa kata dokter adalah apa yang tak pernah diharapkan oleh Yohana. "Glukoma", begitulah dokter mengatakan penyakit mata tersebut sebagai penyakit yang sangat berbahaya dan tak bisa diobati. Sebelum akhirnya mata Yohana tertutup sepenuhnya. She was officially blind.
Mendengar keterangan dokter tersebut, sungguh sakit hatinya sehingga membuatnya tak berhenti menangis hingga sehari. Yang kemudian ia sempat mencicipi rasa "kapur barus" sebagai bentuk keputusasaannya.
Ucap syukurnya atas hidup yang masih diberikan padanya ia ucapkan ketika kita temui. Dengan menyuguhkan senyum termanisnya.
Kisah pahitnya tersebut tak membuat segalanya berubah. Ia tetap memimpikan yang dulu ia mimpikan. Ia mencintai yang dulu ia cintai, termasuk bernyanyi. Beberapa kali ia mengikuti kompetisi nyanyi seperti Indonesian Idol dan IMB, ia gagal. Tetapi dengan kelemahan yang dimilikinya, tersusun kekuatan tekad padanya sehingga ia menjadi bintang di Indonesia. Ia telah berhasil mewujudkan mimpinya tersebut melalui X-Factor.
Tahukah kawan? Bahwa Yohana tak pernah sekalipun mengikuti privat bernyanyi. Ia berlatih nyanyi secara otodikdak. "Saya sih awalnya hanya belajar dari nenek, dia penyanyi keroncong" begitu ungkapnya.
Bersama dengan ketidakmungkinan dan hanya bermodal kebulatan tekad, ia dapat meraih mimpi tersebut.
Tak banyak yang dapat ia sampaikan kepada kami. Ia juga bercerita bahwa melalui perkuliahan pada jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Brawijaya, ia berharap dapat menjadi guru kelak. Sungguh harapan yang sederhana serta mulia.

Yakinlah, Kartini pasti tersenyum di atas sana. Kartini pasti bangga Indonesia memiliki Yohana. Tekad yang kuat dan perjuangan yang keras, pasti mimpi akan tercapai.
Pesan : Janganlah hanya menatap dunia ini melalui mata, karena seorang wanita dengan kekurangannya hanya menatap dunia ini dengan hati tetapi terwujud mimpinya. (HDC)