(Gambar ini tidak ada kaitannya dengan artikel ini, hehe) Dua payung terbesar Islam di Indonesia adalah Nahdhatul Ulama dan Muh...

NU ft. Muhammadiyah (Bukan Lagi Masalah Vertikal)



 
(Gambar ini tidak ada kaitannya dengan artikel ini, hehe)
Dua payung terbesar Islam di Indonesia adalah Nahdhatul Ulama dan Muhammadyah. Berada pada sumber guru dan pendidikan yang sama, kreator atau pembentuk kedua organisasi tersebut cenderung memiliki visi-misi segmental yang berbeda. Jika dulu, sering kali terlihat adanya saling sindir dan menyalahkan antara kedua kelompok tersebut; biasanya perihal Do’a Qunut, Tahlilan, Sholawatan, dan segmen berbeda yang lain, saat ini, masyarakat kita dari kedua payung tersebut sudah mulai dewasa dan bahkan sudah dapat menciptakan keselarasan yang sangat dominan. Disaat Nahdhatul Ulama dan Muhammadyah sudah mulai menyatu, muncul suatu aliran kelompok dagang yang membawa komoditinya untuk dijual secara murah di masyarakat luas. Tak heran, aliran ini biasanya dengan mudah menyalahkan kelompok lain bahkan mengkafir-kafirkan kelompok yang bukan dari dirinya. Anehnya, kelompok ini membawa dan mengusung simbol-simbol bahasan yang NU dan Muhammadyah sebenarnya sudah khatam dari dulu. Karena targetnya adalah masyarakat awam, jadi ya mereka menerima saja. Sedang dua badan besar Islam di Indonesia tetap anteng karena mereka sudah tahu bahwa itu barang lama.

Tapi, bukan itu yang akan saya bahas. Saya akan mencoba membagi pengalaman saya secara personal.

Beberapa hari yang lalu, saya mengawali puasa Ramadhan saya di Tulungagung. Saya mengunjungi teman saya, sekaligus meminta belas kasih agar diberi makan oleh empu-nya rumah. Karena ini membahas NU dan Muhammadyah, maka saya perkenalkan dulu basis saya dan mengkerucutkannya kedalam dua segmentasi itu. Saya basisnya adalah NU, sedang teman saya yang lama jomblo, bisa dipanggil, Luqman. Dia basisnya adalah Muhammadyah yang taat (sebelumnya. Sekarang mbleot-mbleot). Saat itu, kami akan melakukan tarawih pertama di bulan Ramadhan. Karena basis kami tak sama, kami melakukan kompromi. Menggabungkan dua syariat dari masing-masing badan menjadi alternatif baru. Karena biasanya tarawih NU adalah 20 raka’at, dan Muhammadyah 8 raka’at, akhirnya alternatifnya adalah, kami berdua sholat di masjid NU dengan mengambil delapan raka’at. Atau bisa dikatakan, raka’at nya ikut syariat Muhammadyah, kecepatannya (speed) ikut NU. Masalah selesai.

Tidak hanya itu, rupanya ketika saya sudah di rumah Luqman, saya menjumpai dia bersholawat dan memutar sholawat di androidnya. Dalam benakku, “Alhamdulillah, akhirnya sholawatan juga.” (sambil ketawa jahat).
Bahkan Luqman ini mulai menghafal beberapa sholawat, yang mungkin saya malah tak menghafalnya. Luar biasa.

Rupanya, sekarang ganti saya yang mencicipi basisnya. Kali ini, tarawihnya berada di langgar Muhammadyah. Karena saya tak paham caranya, saya beberapa kali menanyakan cara taraweh Muhammadyah supaya ketika sholat tarawih berlangsung, saya tidak kecilik.

Man, iki mengko loro-loro opo langsung papat-papat terus salam?” Tanyaku
Mbuh ya, kadang enek sing loro-loro, kadang papat-papat.” Jawab Luqman sambil ngupil dengan jempol kakinya yang besar.
“Nek missal papat-papat, enek duduk tasyahud awal gak?” tanyaku penuh kekhawatiran lagi.
“gak onok, langsung.” Masih melanjutkan Ngupil, namun kali ini sambil menjilat upil yang dia peroleh di jempol kakinya.

Oke, akhirnya kami berdua berangkat ke langgar. Dan Alhamdulillah, saya lulus dan berhasil mengikuti tarawih sesuai cara Muhammadyah. Terdengar sepele memang masalah ini, tapi satu hal yang menjadi hal penting dalam tulisan ini adalah, “Jangan ngupil dengan jempol kaki.” Hmm… maksud saya, anu, bukan itu. Kedewasaan dalam beragama tidak memandang perbedaan. Perbedaan merupakan alternatif dan sudut pandang baru bahwa keyakinan kita bukan mutlak merupakan kebenaran hakiki. Ada jalan-jalan yang sangat multitafsir, namun tujuannya tetap kepada Allah. Jika saya berada di jalan yang tidak sama dengan yang anda lewati, bukan berarti saya benar dan anda salah. Saya pun tidak punya kewenangan untuk menyalahkan anda. Dan anda juga tak punya kewenangan untuk menyalahkan saya.

“Wa likuliw wij-hatun huwa muwallihaa Fastatabiqul khairaat…..” (Al-Baqarah :148)

0 komentar: