Di desa, kehidupan masyarakat Jawa terkadang penuh dengan misteri tanda tanya. Setiap ada orang yang bekerja kasar, entah itu memban...

'Tukang' Itu Berkata, "Laut-Laut!!"



Di desa, kehidupan masyarakat Jawa terkadang penuh dengan misteri tanda tanya. Setiap ada orang yang bekerja kasar, entah itu membangun rumah, angkat-angkat batubata, atau apa saja, jika matahari sudah mulai senja, biasanya mereka saling mengingatkan satu sama lain, “Laut-laut, wes surup”, (istirahat-istirahat, sudah senja). Kira-kira seperti itu bahasa indonesianya. 

Aku mulai berpikir, kenapa istirahat dinamakan ‘laut’ ya kalau dalam terminologi Jawa. Terlebih lagi, terminologi satu kata ini hanya disandingkan oleh pekerjaan tertentu saja yang mengasosiasikan bahwa pekerjaan itu membutuhkan tenaga ekstra. Mungkin beberapa kali kita jumpai, istilah istirahat ini juga dilantunkan oleh pekerja kantor. Tapi, kurang pas saja menurut saya pribadi.

Apakah arti kata ‘laut’ sebagai makna istirahat ini memang merujuk pada makna laut yang sebenarnya? Atau jangan-jangan ini memang simbol saja atau bisa juga suatu tanda bahkan kode tersendiri bagi pekerja untuk menandakan bahwa waktu mereka harus istirahat telah tiba. 

Mungkin saja saat itu, masyarakat Jawa daerah pesisir, setelah bekerja keras mereka suka mengahampiri pantai untuk memandang matahari terbenam, sekaligus mereka sejenak beristirahat. Sehingga, tenggelamnya matahari di seberang lautan juga diidentifikasikan sebagai tanda waktu alam untuk mereka berhenti bekerja dan pulang ke rumah. Jadi, ketika mereka berkata ‘laut-laut’, itu berarti ‘sudah, ayo istirahat, kembali pulang. Matahari saja sudah berpulang dan tidur, masak kita terus lembur.’

Pendapat saya boleh kalian percaya dan boleh kalian abaikan. Karena saat ini, belum ada orang yang mampu menyalahkan pendapat ini, dan belum ada yang mampu membenarkan pendapat ini. Jadi, terserah. Hidup kok dibikin susah. Hehe

Memang, jawa itu rajanya simbol, hal semacam ini saja bahkan orang Jawa sendiri tiak mengerti artinya. Termasuk saya. Mungkin, inilah salah satu akibat terputusnya rantai informasi dari pendahulu-pendahulu kita kepada generasi saat ini. Tidak adanya tradisi tutur, sehingga menjadikan adanya missing space yang saat ini kita bingungkan. Bukan perkara ‘laut’ saja, rupanya saat ini usaha melisankan sejarah dan budaya juga harus mulai digencarkan. Bukan tidak mungkin, lima atau sepuluh tahun kedepan anak-anak kita tidak paham makna dari ‘nderawasih’, ‘obak sodor’, ‘sunggek’, dan lain-lainnya. Karena apa? Karena tidak adanya generasi yang mau melisankan cerita-cerita adiluhung. Semua terdiam memandang gadget masing-masing. Baru akan sadar, saat semua sudah hilang. 

Sudah, laut-laut, aku mau tidur dulu.

0 komentar: