Sedari tadi, sosok itu masih menatap
untuk, sepertinya, menetap. Membayangi setiap gerak dalam diriku. Wajahnya
penuh dengan kebingungan, sesekali ia mengimbangiku tersenyum. Sesekali, ia
mengkerutkan dahi, tanda bahwa ketidakjelasan sedang terjadi. Panggil aku, sunyi,
karena aku terlahir dari keramaian yang begitu sepi.
Aku hendak berkisah, yang ini ada
kaitannya dengan terkasih. Oh tidak…tidak.. jangan paksa aku untuk menceritakan
semua tragedi. Jujur, aku tak ada nyali. Aku hanya inggin berbagi sepenggalan
peristiwa yang menurutku, membuatku berbelok tujuan, mencintai sepi.
Seorang teman sebayaku pernah
berbincang membersamaiku hingga jatuh menuju kelarutan malam. Di hitamnya
langit, aku heran, kenapa manusia begitu bersemangat menimbun harta dengan
segala cara, senang dengan peristiwa terang. Aku tak mengerti, aku tak begitu
paham mereka. Yang jelas, tak ada malam yang terlalu larut, bagiku. Sama halnya
dengan teman sebayaku ini, ia begitu kuat menatap ku dan menceritakan
pengalamannya kepadaku. Sedang aku hanya bisa mendengarkan dengan terkadang
berekspresi bosan.
“Apa tujuanmu bercerita? Kamu sudah
paham raut wajahku menandakan kebosanan, kan?”
“Ah biarkan, aku hanya suka
berbicara. Walau tanda didengar.”
“Dan kamu bahagia?”
“Alasan apa yang membangkitkan
sedihku?”
“Tak dihiraukan?”
“Bukan. Maksudku, bukan masalahku”
“Maksudnya, bagaimana?”
“Tanggungjawabku adalah hidupku.”
“Dan hidupmu terikat pada status
sosial.”
“Dan status sosial tak bisa mendikte
ku.”
“Dan artinya kamu arogan.”
“Dan jika arogan diartikan pemaksaan
sehingga menciptakan kesepakatan kolektif, maka aku memang arogan.”
“Kamu tidak bisa hidup diluar
lingkaran kami.”
“Tidak, kalian yang tidak bisa hidup
dalam lingkaranku.”
“Kenapa kau belokkan?”
“Karena sudah belok sedari awal,
maka aku membelokkan untuk meluruskan.”
“Jangan beranggapan pendapatmu yang
benar.”
“Tidak, pendapatku jelas tidak
benar. Tapi pendapatmu juga jelas belum benar.”
“Jadi mau kamu apa?”
“Pyaarrr” Suara kaca itu tetiba
retak dan pecah.
Sungguh, aku tak mengetahui apa yang
terjadi, rupanya, teman sebayaku tak mau lebih lama mengobrol denganku. Atau,
mungkin saja, ia muak dengan pertentanganku. Sesekali, aku pandangi serpihan
kaca itu dan mengetahui, aku tak akan punya teman lagi.
0 komentar: