Jauh sebelum manusia menetapkan wilayah geografis dan menegakkan wilayah administratifnya masing-masing, manusia saling sengkuyung m...

Bagong dan Wabah Kremi Dunia




Jauh sebelum manusia menetapkan wilayah geografis dan menegakkan wilayah administratifnya masing-masing, manusia saling sengkuyung membangun kerukunan dan bersatu padu dalam menjaga keseimbangan akal dan alamnya. Konon, rasa kemanusiaan terbentuk atas kesepakatan peran nurani dan nur rohani. Tapi itu dulu, saat ini rupanya manusia sedang menerima ujian karena menjadikan bumi menjadi sekat-sekat, bilik-bilik yang tersertifikat dan dimiliki oleh masing-masing individu. Kemanusiaan menjadi hilang sehingga perlu dilatih kembali dengan kesepakatan dengan adanya musuh bersama, atau mungkin suatu hal yang mewabah ke seluruh penjuru dunia. Kemanusiaan perlu dilatih kembali untuk manusia-manusia, saat ini.

Bagong yang merindukan kehidupan leluhurnya dahulu malah tidak bisa berbuat banyak saat ini. Kehidupannya yang sekarang hanya terbelenggu oleh kepentingan dan keinginan individu. Bagong hanya bisa terdiam di rumahnya karena di luar rumah sedang ada wabah kremi yang mematikan. Selangkah ia keluar rumah, selangkah pula virus kremi itu mendekati tubuhnya.

Tapi namanya juga Bagong, pasti ia tidak bisa diam. Selalu ada saja kejahilan dan tingkah yang ia ciptakan. Sudah beberapa hari ini ia bertapa di rumah saja, memang ia melakukan itu karena anjuran dari Boponya, Semar. Semar berujar kepada Bagong bahwa wabah ini akan menjadi jinak jika Bagong berdiam diri di rumah untuk bertapa. Mencoba menyamakan frekuensi vertikal dengan Tuhan lagi setelah puluhan tahun berambisi memuaskan keduniawian.

Tapi, setelah beberapa hari tidak menemukan jawaban dari pertapaan, Bagong keluar rumah dan menuju kahyangan. Di atas, Bagong melihat betapa sepinya bumi. Hutan-hutan kembali menghijau, tanah-tanah kembali memproduksi unsur-unsur yang sudah lama hilang. Bagong, terbang lebih tinggi lagi, dan ternyata ia melihat bahwasannya buminya sedang mengeluarkan racun-racun keramaian. Menata metabolismenya kembali untuk siap digunakan manusia-manusia lagi kedepannya.

“Oh, Bumi sedang melakukan agenda bersih-bersih diri untuk membuat nyaman penghuninya.” Ujar Bagong dalam hati.

Tidak berhenti disitu, bagong kembali naik ke atas hingga tiba di pelataran Kahyangan dan berhadapan langsung dengan Bathara Guru yang sedang duduk di Singgahsana.

“Bagong, ada apa kok tiba-tiba datang ke Kahyangan” Bathara Guru bertanya.

“Tempat tinggalku sedang dilanda wabah kremi, Paduka.” Bagong menjawab dengan gaya yang slengekan.

“Kenapa malah keluar dari rumahmu, bukannya Bopomu menyuruh untuk bertapa di dalam rumah?”

“Halah, Bopo sudah tua tidak tahu perasaan anak muda sepertiku. Aku ini sehat, Paduka. Tidak ada penyakit yang bisa menempel di badanku selama ribuan tahun ini.” Bagong menjawab.

“Bagong, jangan adigung. Penyakit itu kuasa Tuhan, tidak ada yang dapat mengelak takdir-Nya. Se-sehat apapun kamu, kalau sudah ditakdirkan mati karena penyakit itu, tetap saja mati.” Bathara Guru mulai jengkel.

“Tenang saja, Paduka. Saya hanya bosan dan ingin melihat keadaan dunia di Kahyangan ini, sebentar lagi saya juga kembali bertapa di rumah. Tapi saya punya satu keinginan yang dari dulu ingin saya dapatkan sebenarnya. Saya akan pergi setelah keinginan saya paduka penuhi.” Bagong mencoba membuat ulah.

“Katakan, Bagong!”

“Saya ingin sekali memegang keris yang paduka selipkan di pinggang itu.”

“Hanya itu, Gong? Baiklah, kemari.”

Bathara Guru langsung mengeluarkan keris itu dari tempatnya dan menyerahkannya kepada Bagong. Bagong hanya tertawa saat menggenggam keris itu. Kemudian ia berkata,

“Oh jadi ini keris milik Bopo yang dicuri, paduka.” Dengan tersenyum, Bagong melirik Bathara Guru.

“Kurang ajar, saya tidak pernah mencuri.”

Bathara Guru langsung merebut keris itu kembali dan memasukkannya kembali. Setelah itu, ia meminta Bagong untuk kembali ke Bumi.

Setibanya di Bumi, Bagong kembali bertapa. Sukmanya melebur ke alam semesta, raganya terlihat terlelap dan tak bisa diganggu. Beberapa hari setelah ia ke Kahyangan, rupanya Bathara Guru dan bala tentaranya turun ke Bumi untuk bertemu Bagong. Namun sayang sekali, Bagong sudah tidak bisa diajak berbicara karena sedang bertapa. Kabarnya, Bathara Guru terkena wabah kremi karena tertular oleh Bagong. Usut punya usut, ia bisa tertular karena Bagong membawa virus penyakit itu dan kemudian memegang keris milik Bathara Guru. Virus yang ada di Bumi pun tertinggal di kerisnya dan membuat Sang Paduka dan beberapa dewa kahyangan gatal-gatal silitnya.

Mendengar kabar itu, Semar tidak bisa tinggal diam. Semar melihat bahwa pertapaan anaknya diganggu oleh Bathara Guru, ia pun marah dan mengusir Bathara Guru. Bagi Semar, Bathara Guru telah memiliki sifat Adigang, Adigung, dan Adiguna, sehingga berani mengganggu pertapaan sacral seorang abdi untuk Tuhannya. Tidak ada jalan keluar selain perkelahian.

Akibatnya, Kahyangan gempar dan porak-poranda akibat pertempuran Antara Semar dan Bathara Guru. Sedangkan Bagong, masih terlelap dalam pertapaannya. Dan, yang terpenting, wabah kremi ini telah menyebar hingga Kahyangan.

0 komentar: