Kita
sudah mengetahui bahwa weton merupakan hari kelahiran manusia menurut
pertanggalan Jawa. Sedangkan wetonan adalah perbuatan untuk menyikapi weton
itu sendiri, yaitu berupa ‘perayaan’ atas kelahiran manusia. Penjelasan mengenai
wetonan sudah saya posting kemarin, dan saat ini saya akan lebih
berfokus kepada jenang sengkolo. Salah satu kuliner yang ampuh dan penuh
makna dari Jawa.
Memang
jika saya pikir-pikir, Jawa ini penuh dengan filosofi. Banyak sekali
simbol-simbol yang hidup di belakang definisi. Setelah makna wetonan
sudah kita bahas, maka sekarang mari kita menemukan makna jenang sengkolo.
Sebenarnya
pasti untuk kalian yang orang Jawa pernah dan hafal dengan apa yang disebut jenang
sengkolo atau bubur abang. Jenang sengkolo yang terbuat dari beras
yang dicampur dengan gula aren dan santan ini menjadi kuliner yang lekat dengan
tradisi suku Jawa. Bahkan kurang afdhol rasanya jika ada suatu tradisi selametan
yang tidak menghadirkan jenang sengkolo.
Rasanya,
jenang sengkolo menjadi kunci dari banyak tradisi di Jawa. Sebagai contoh,
biasanya jenang sengkolo ini hadir dalam selametan bersih desa, wetonan,
ritual panen, dan masih banyak yang lainnya. Aku pernah berbincang dengan orang
yang sudah disepuhkan bahwasannya jenang sengkolo ini adalah induk atau
inti dari segala macam ubo rampe atau sesaji. Sebenarnya apa makna jenang
sengkolo menurut masyarakat Jawa?
source: merdeka.com |
Biasanya
saat merayakan wetonan, orangtua kita menyajikan jenang sengkolo
untuk kemudian diberi do’a dan dibagikan ke tetangga-tetangga terdekat. Jenang
sengkolo dan wetonan merupakan sebuah kesatuan makna yang tak bisa
dilepaskan. Jenang sengkolo sendiri mempunyai makna sebagai proses
kelahiran manusia di muka bumi. Bubur sengkolo yang berwarna merah
diibaratkan sebagai indung telur, sementara bubur putih yang diisyaratkan
sebagai sperma. Dengan demikian, bubur sengkolo mempunyai makna sebagai
proses kelahiran dari orangtua.
Sebenarnya
ada banyak makna yang dapat didapat dari jenang sengkolo, namun karena
kita sedang membahas mengenai wetonan, maka tentu saja makna mengenai
kelahiran lah yang dapat disandingkan.
Jika
kita melihat betapa masyarakat Jawa menghargai sebuah kelahiran, tentu ada
pesan yang mendalam dibalik itu semua. Masyarakat Jawa percaya bahwa kelahiran
adalah tanda kebesaran Tuhan yang harus dimaknai. Sedangkan kelahiran merupakan
sebuah perayaan dan pengingat bahwa kelahiran bukan hanya tentang ‘hidup’,
namun ada tanggungjawab besar yang diemban. Dalam falsafah Jawa, ada dua
dimensi yang harus dipenuhi atau setidaknya diusahakan selama hidup. Yang pertama
adalah dimensi sosial, dan yang kedua adalah dimensi semesta. Kedua dimensi itu
akan menciptakan jembatan menuju dimensi ketiga, yaitu dimensi Ketuhanan.
Untuk
mencapai hubungan yang baik dengan Tuhan, manusia membutuhkan dua proses yang
baik juga. Berbuat baik kepada manusia, biasanya kita mengenal sebuah falsafah Urip
Iku Urub atau Memayu Hayuning Bebrayan. Dan, yang kedua berbuat baik
kepada alam semesta, karena tentu kita hidup bukan tentang diri kita, namun
semua komponen semesta juga hidup dan menyambung hingga ke Tuhan. Dalam istilah
Jawa disebut, Memayu Hayuning Bawana.
Karena
peranan manusia yang besar itulah kita setiap bulan diingatkan melalui wetonan,
bahwa kita pernah terlahir di dunia ini bukan tanpa peranan dan tanggungjawab. Kita
terlahir untuk misi yang besar. Semua peran serta misi itu tersirat dalam wetonan
dan jenang sengkolo.
Bagus. Pertanyaannya adalah, apakah anda melakukan wetonan? Atau bikin jenang sengkolo untuk anak anda nanti? 🙄 🙄
ReplyDelete