Perkenalkan,
aku adalah seekor elang jawa. mereka biasanya menyebutku dengan sebutan Garuda.
Sudah berabad-abad aku berada di atas puncak gunung tertinggi. Memang, ini sudah
menjadi ritual selama siklus hidupku. Menyendiri dan berdiam diri untuk
mempertajam insting serta kekuatan fisikku. Dalam kesendirian itu aku tidak
pernah melihat dunia luar. Dalam semediku, aku hanya berfokus untuk menjadi
ksatria saat aku kembali muncul di kehidupan serta muncul ke duniaku lagi.
Selama
aku bersemedi, aku berpuasa dari segala macam makanan. Tujuanku hanya agar mengalahkan
kepentingan nafsu perut ke bawah. Aku benar-benar terputus dari dunia luar. Namun
itu tidak berarti aku meninggalkannya. Ada tanggungjawab besar yang aku panggul.
Ada tanggungjawab besar dimana saat aku kembali, semua kekacauan akan berubah
menjadi keseimbangan.
Aku
mendapat kabar dari Dewa Wisnu, ia menceritakan bahwa saat ini rumahku,
ekosistemku, duniaku, sudah jauh berbeda dari semenjak ku tinggal. Peradaban berjalan
ke arah yang lebih menjerumuskan. Banyak binatang-binatang yang lepas diri dari
rantai makanan. Tikus bisa memangsa singa. Jerapah hanya sanggup memangsa
cacing. Duniaku seakan tak ada pakem lagi. Kodrat menjadi permainan dan mudah
dibelokkan. Semua hanya untuk memuaskan urusan perut ke bawah. Memang begitulah
dunia binatang, dunia dimana aku tinggal. Sangat sulit untuk mencukupi
kebutuhan akal dan pikiran. Semua yang ada hanya tentang perut ke bawah. Itulah
alasanku meninggalkan duniaku dan memutuskan untuk semedi di puncak tertinggi. Kelak,
tentu saja aku akan kembali ke rumah.
Di duniaku, aku menjadi simbol
kebesaran. Aku menjadi lambang keagungan. Tapi, mereka semua hanya mengetahuiku
dari pengetahuan warisan induk-induk mereka. Selama aku disana, aku bahkan
tidak melihat sifat segan atas kebaikan atau sifat baik atas keburukan. Yang mereka
dahulukan hanya hasrat kenyang dan memperbanyak keturunan untuk memperluas kawasan
teritori. Binatang-binatang seperti aku dan mereka yang pada dasarnya tidak
mempunyai kekuatan untuk melampaui batas kemampuan, menjadi tersalahkan. ‘Semua
bisa jika diusahakan’, slogan itu membuat tikus berani memangsa singa. Slogan optimisme
itu menjadikan pohon rindang menjadi tumpukan kayu.
Sang Wisnu memberiku kabar bahwa
saat ini mereka semua menantikan kedatanganku. Semua berharap kepadaku. Aku dijadikannya
simbol yang seakan tak bisa terkalahkan. Namun, aku sendiri tidak seperti itu. Mungkin
salah jika berharap demikian kepadaku. Aku hanya akan menolong yang sedarah
denganku. Aku hanya menolong raga yang masih berbentuk Garuda. Aku hanya akan
membawa ketenangan kepada jiwa-jiwa yang merasa bahwa dirinya adalah Garuda. Yang
tak pernah memangsa hewan di luar rantai makanannya. Aku hanya membawa
kesejukan kepada yang serumpun denganku. Bukan musuh-musuh yang sibuk memanipulasi
simbolku untuk kepentingan menerkam hewan yang lebih kecil darinya. Aku hanya
menjadi ksatria untuk yang sebangsa denganku.
Namun tentu aku tidak tega melakukan
hal pilih kasih seperti itu. Aku sadar, aku tidak akan bisa. Hanya saja aku tak
akan membiarkan hewan liar yang sibuk memangsa menjadi raja hutan. Aku hanya
ingin melihat siapapun saja menjadi raja hutan yang dapat menjaga keseimbangan
hutan, entah darimana ia berasal. Jika ada kebenaran, aku akan selalu ada
disandingnya.
0 komentar: