Sebelum
memulai substansi bahasan, aku ingin disclaimer terlebih dahulu. Topik ini
aku buat karena pikiran yang sedang buntu sehingga tak bisa memilih tema
bahasan yang lebih menggigit untuk mengisi Challenge menulis selama 14
hari. Tapi, I promise you gaes, aku akan tetap
menghadirkan bahasan yang segar. Apapun topiknya.
Aku
mencoba membahas ini karena keresahanku selama berada di dalam rumah. Sudah
lebih dari dua minggu aku terpenjara, batinku sudah ingin berteriak dan
berkelana, naik gunung, berpetualang ke hutan, tour menggunakan sepeda
motor bersama teman-teman, nyasar di perjalanan, pantai, taman, kolam, ah
rasanya sungguh sangat menggoda.
Tidak
ada yang tidak menghasilkan kebaikan, meskipun itu hanya berdiam diri di dalam
rumah. Setidaknya aku dihibur oleh beberapa fenomena yang selalu muncul di
layar gawaiku. Dan dua diantaranya sangatlah seirama serta bertentangan. Pertama,
fenomena video TikTok yang semakin menggila. Kedua, Pemerintah yang
setiap hari sibuk bersuara untuk publik. Kita bahas yang pertama dulu yuk
TikTokers.
Sejak
melakukan karantina di rumah, aku lebih sering membuka sosial media hanya untuk
scrolling hingga jenuh. Dari awal karantina hingga hari ini, aku selalu
menjumpai video TikTok dari masyarakat +62, aku bahkan mengetahui tren-tren
TikTok yang muncul di kolom explore instagramku; goyang mama muda, jamet,
video loncat-loncat gak jelas sampai pegel, penari orang mati, entah apa
sebutannya aku tidak tahu. Dan anehnya, dari beberapa tema video itu, kenapa
semua yang membuatnya menjadi viral, sehingga aku disajikan konsep yang sama
tapi dengan orang yang berbeda. Awalnya lucu, tapi setelah karantina hari ke
5675, aku jadi bosan. Karena tidak puas dengan video TikTok yang ada di
Instagram, akhirnya aku mencoba mengunduh kampung halaman video ini nih, ya
saya mengunduh TikTok dong. Dan, memang lebih bervariatif sih videonya,
tapi tidak bisa menghiburku lagi.
Selanjutnya,
rupanya kemampuan komunikasi politik saat ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah
untuk memberikan informasi kepada masyarakatnya. Bayangkan saja, setiap hari
harus memberikan informasi perihal perkembangan wabah, setiap hari juga selalu
ada dialektika pejabat yang diekspos oleh media untuk masyarakat. Ada Menteri yang
tidak melarang mudik, ada Menteri yang ingin membebaskan koruptor, lah. Untung
gak jadi. Semua tingkah mereka sungguh justru membuatku terhibur. Karena berita
yang tidak statis dan lebih mempunyai efek kue lapis setelah pejabat tersebut
melakukan komunikasi politik ke publik.
Saat
Sang Menteri bersabda, maka efek domino akan berjalan segera. Ada banyak
komponen yang merespon sehingga kita akan mendapatkan banyak variasi dengan
topik yang sama namun dengan konsep dan orang yang berbeda. Aku selalu serius
mendengarkan respon-respon dan diskusi dari masyarakat. Seru gaes.
Tapi,
karena banyaknya blunder-blunder akibat cara komunikasi yang salah dari
pemerintahan, akhirnya saat ini masyarakat sudah mulai jenuh dan hampir tidak
peduli. Bayangkan saja, bro, kita sebagai masyarakat fokus ada di rumah,
kita punya fokus yang lebih fokus untuk mengikuti alur suara pemerintahan. Tetapi,
komunikasi yang diciptakan selalu mendapatkan blunder yang itu memojokkan kita
sebagai rakyat, bagaimana kita tidak jengkel. Memang kita terus memerhatikan setiap
gerik dan gelagat para bapak-bapak berdasi ini, namun jika yang dihadirkan
justru melahirkan rasa gelisah dan memperpanjang usaha kita untuk tetap di
rumah, ya buat apa. Aku kan juga ingin naik gunung.
Jadi,
rupanya aku salah sangka terhadap TikTok, ku kira TikTok adalah hiburan,
ternyata TikTok adalah ekspresi kejenuhan warga +62 terhadap apapun yang
melanda mereka selama di rumah. Terlebih, dari sini aku bisa merumuskan satu
hal, mungkin saja kegelisahan terhadap tindak laku para pemimpin-pemimpin kita
ini membuat rakyat semakin acuh dan tidak peduli dengan pikiran kekanak-kanakan
mereka, sehingga apa? Salah satu cara untuk menghibur diri dari pengkhianatan
adalah dengan mengekspresikan diri melalui TikTok. Di rumah aja sudah bisa jadi
karya. Jadi sebenarnya, masifnya video TikTok (mungkin) adalah akibat dari
sebab suara pemerintah yang mbulet.
Maaf
ya kalau bahasan kali ini tidak jelas, lagi gak bisa mikir jernih.
wOw. baru buka blog kamu dan amazed! udah tambah bagus aja desainnya brow.. good jobb!
ReplyDeleteanyway, awalnya aku pikir dua tulisan tadi, soal tiktok dan pemerintah ibarat rel kereta api yang sejajar tapi tidak pernah bertemu. Namun ternyata kalimat pamungkasmu membelokkan pikiranku tadi, bahwa masifnya tiktok berbanding lurus dengan kebosanan akut warga +69, eh +62, yak? Nays
btw saran saya, segera keluar rumah, dan temukan aktifitas mendebarkan. sepertinya anda terserang kebosanan akut! heheu
heuheu, itu yang membuat punggung dan boyok ku pegel. ngedit script berhari-hari, wkwkwkwkwk
DeletePENGEN MUNGGAH SIST
Tapi lucu kali ketika ada kebijakan pemerintah yang salah satunya adalah membebaskan tahanan, eh pas keluar malah pada tiktokan. sungguh memang lucu warga +62 ini :')
ReplyDeletetapi eh tapi gimana dengan orang seperti saya yang belum menyukai tiktok? gimana dong cara mencairkan kebosanan?
sorry nggak ngomentari tulisannya soalnya saya bingung harus berkomentar apa. heee peace!
The hypothesis behind this is for TikTok shoppers to find a public area, at that point in the event that they saw a sheet of music, they expected to tumble to the ground and move up like a tumbleweed. sources tell me
ReplyDeleteBayern Munich's TikTok content arrangement, run in the club central command in Germany, includes the social media bunch posting a couple of clasps every seven day stretch of gamers swaggering their stuff. SMM Panel
ReplyDeleteFor brands and business receiving discounts only ranks 12th on their list of reasons why people interact with them. try this web-site
ReplyDelete