Aku selalu percaya bahwa alam mempunyai cara tersendiri untuk berdialog dengan manusia, salah satunya adalah dengan wabah. Aku sebis...

Menyapa Wabah




Aku selalu percaya bahwa alam mempunyai cara tersendiri untuk berdialog dengan manusia, salah satunya adalah dengan wabah. Aku sebisa mungkin menjauhkan pikiran dan hatiku dari kata bencana. Entah, seperti terkesan bahwa manusia adalah entitas tunggal yang mengalami kerugian atas kejadian itu. Terlebih jika kata bencana itu sudah menjadi terminologi padat, bernama ‘bencana alam’, aku selalu berat hati menerimanya.

Kita sebagai manusia memosisikan diri kita sebagai subjek, sehingga melihat dari kacamata manusia. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dan melahirkan kerugian selalu kita sebut sebagai bencana. Apakah itu memang benar-benar adil saat kita sendiri mengabaikan aspek-aspek lainnya?

Beberapa hari yang lalu, aku berbicara Panjang lebar dengan wabah yang sekarang sudah menjadi pandemi ini. Aku tidak menyalahkan dan menyudutkannya. Aku bertukar argumen dan memohon kepadanya agar senantiasa bersabar memahami hati manusia yang masih saja belum merasa penuh dengan segala Hasrat dunia. Dan sebelum aku menceritakan lebih jauh lagi mengenai obrolan kami berdua, aku selalu mencoba mengingatkan kalian semua, bahwasannya tidak ada bencana alam, yang ada adalah alam dan semesta sedang menjalankan tugas untuk kembali mengatur keseimbangan yang sudah tidak seimbang akibat ulah manusia.

Saat kami mengobrol, aku ingat sekali bahwasannya hari sudah larut. Saking sepinya, aku tidak bisa mendengar apa-apa melainkan suara lirih yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Aku pun mengetahui bahwasannya semua kebisingan lirih ini bermula dari kerisauan makhluk kecil dari Tuhan yang selalu disudutkan. Aku tak mau dipandang jahat oleh mereka, sehingga akulah yang menyapa mereka semua terlebih dahulu.

“Salam, dari kami semua untuk kalian, wahai makhluk Allah yang teguh dalam Sunnatullah-Nya.” Aku menyapa mereka.

“Semoga keselamatan juga selalu menyertaimu.” Salah satu diantaranya membalas.

“Maaf dariku, karena kami, manusia salah paham terhadap kehendak Allah atasmu.” Aku memulai pembicaraan.

“Tugasku di bumi ini sudah sesuai kehendak Allah, segala prasangka dari kalian semua tidak akan membuatku marah ataupun tersanjung.”

“Sekali lagi, maaf atas sifat jahil kami yang belum bisa mempunyai kejernihan pikiran dan hati, sehingga setiap hari selalu ada saja diantara kami yang tergelincir.”

“Tugasku, tidak hanya menimbulkan ketakutan di dunia ini. Aku juga menebar pelajaran bagi setiap manusia yang rela bertafakur. Tugasku tidak hanya menebar kebencian, melainkan menunjukkan kepada manusia sebagai penyandang makhluk paling sempurna dari Allah, bahwa sejatinya, ibadah tidak berfokus pada wajah. Tugasku tidak hanya menebar kecemasan, aku hadir untuk mendidik manusia tentang keridhoan. Pentingnya ridho kepada Allah, agar Allah juga ridho terhadap manusia.”

Haturannya itu membuatku terdiam dan merenung. Aku yang seakan sudah tak sanggup menanggapi perkataannya hanya bisa tertunduk dan memikirkan semua kata dari Tuhan itu. Aku yang selama ini memahami bahwa menyembah Tuhan harus dengan syariat yang fisik dan saklek, kali ini dipatahkan dengan firman alam yang juga bersumber dari Tuhan.

Tuhan tidak membutuhkan sholat kita, Allah hanya membutuhkan keikhlasan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa menghadirkan sikap pasrah terhadap segala sunnatullah. Bukan sifat keras dan merasa paham atas segala ilmu sehingga mengucilkan lainnya.

Dan yang terpenting, alam tidak pernah sanggup menyakiti manusia. Ia hanya berusaha menghadirkan yang terbaik agar ia dapat menyajikan hidangan terbaik untuk kita manfaatkan. Memang itulah tugas alam yang dititipkan dari Allah untuk kita. Hanya saja kita terlalu tidak tahu diri untuk memahami ini semua.

Setelah renungan itu, aku beranikan diri untuk mengangkat kepalaku. Dan ku dapati wabah itu sudah pergi dari hadapanku. Suasana semakin sepi, rupanya tugasnya sudah usai. Dan perlahan manusia mendapat pelajaran berharga dari wabah yang mampir itu. Wabah itu, tidak kejam. Sapalah ia dan berdamailah dengannya. Ia adalah garis firman Tuhan yang dihantarkan melalui gelombang alam.

5 comments:

  1. Sebuah cara memandang fenomena dengan cara yang segar. Tidak mengujat fenomena namun mengajak manusia berefleksi dan introspeksi diri.tulisan yang bagus! Fotonya juga bagus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih, Gus.
      Tetap ikuti goresan-goresan katacandra yg lain, Gus. Ditunggu saran dan kritiknya

      Delete
  2. sepakat sekali dengan apa yang sampean tuliskan, bahwa mereka ada karena ada banyak hal yang mereka ajarkan untuk kita. mantul kakak!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salah satunya mengajarkan utk menunda pertemuan, agar rindu juga tumbuh

      Delete