Lima tahun terakhir menjadi tahun-tahun yang berat bagi Pancasila karena ideologi Indonesia ini sering muncul untuk didiskusikan dalam forum-forum kecil dan forum berkelas nasional sekalipun. Setidaknya ada dua sudut pandang yang bisa menggambarkan fenomena ini; satu, Pancasila menjadi ideologi yang kuat namun para elit gagap dalam memahami Pancasila sehingga saat mendiskusikannya, ia tidak membawa amunisi yang banyak atas Pancasila; dua, kita sebagai rakyat meyakini Pancasila sebagai ideologi namun memerlukan diskusi untuk membuktikan bahwa falsafah itu benar.
Munculnya wacana bahwasannya Pancasila adalah ideologi final
bahkan sudah dideklarasikan sejak tahun 1940-an, namun anehnya di tahun 2020
ini sebuah diskursus panjang terhadap Pancasila membuat wacana ‘Pancasila
adalah ideologi final’ ini keluar kembali. Sebenarnya apa yang terjadi dari
fenomena-fenomena ini.
Saya setidaknya melihat bahwasannya konteks Pancasila saat
ini dan dulu sudah berbeda. Pada tanggal 1 Juni 1945, pada saat Presiden
Soekarno memberikan pidato dengan judul ‘Lahirnya Pancasila’, konteks
Pancasila hadir atas dasar sebagai jawaban dari hiruk-pikuk yang terjadi. Sehingga
masyarakat secara sadar meyakini bahwasannya untuk hidup dalam
ketidakseimbangan ini perlu adanya arah yang menyeimbangkan, dan penyeimbang
itulah bernama Pancasila. Tentu saja dalam konteks ini, Pancasila menjadi
sesuatu yang final karena menjawab tantangan zamannya. Terlebih, aplikasi terhadap
Pancasila pada zaman dahulu sangat kental sehingga pengetahuan teoritis mengenai
Pancasila tidaklah disebut ‘Pancasilais’.
Dalam konteks sekarang, Pancasila masih dan akan tetap
menjadi sebuah penyeimbang kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya saja,
wacana Pancasila sebagai ideologi final dikeluarkan bukan karena sebagai
jawaban atas puasnya rakyat terhadap Pancasila, melainkan wacana tersebut
dimunculkan kembali oleh para pengambil kebijakan dan para politisi untuk
memenangkan kepentingan yang mereka bawa. Sehingga Pancasila hanya dipahami
atas dasar pengetahuan, dan bukan pengaplikasiannya. Hal ini bisa sangat membahayakan
karena jika Pancasila hanya dianggap sebagai doktrin, maka ruang diskusi terhadap
Pancasila juga akan dibatasi. Atas dasar politik, Pancasila digunakan tameng
sebagai katrol kepentingan. Namun, atas nama kestabilan negara, diskusi
Pancasila menjadi ruang yang menegangkan dan diawasi oleh pihak-pihak tertentu.
Mengganti Pancasila sebagai Ideologi adalah suatu hal yang ‘haram’.
Namun mendiskusikan Pancasila sebagai ideologi adalah cara meluaskan perspektif
sehingga Pancasila menjadi sebuah ideologi yang bisa diakses oleh siapa saja. Pancasila
adalah ideologi final bangsa Indonesia. Namun pengkajian mengenai Pancasila
harus tetap berjalan sampai kapanpun agar masyarakat juga mengetahui bahwa
Pancasila bukan hanya mengenai kehidupan masa lalu, namun juga saat ini dan ke
depan.
Pancasila adalah Ideologi Terbuka
Sudah menjadi barang lama bahwasannya Pancasila merupakan ideologi
terbuka, namun sebenarnya apa makna dibalik itu semua?
Menurut Franz Magnis Suseno, ideologi dikategorikan menjadi
tiga; ideologi tertutup, ideologi terbuka, dan ideologi tersirat. Maksud dari
ideologi tertutup adalah bahwasannya ideologi tersebut melegitimasi penuh
monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan
lagi, bersifat dogmatis dan apriori, dalam arti ideologi tersebut tidak bisa
dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi tertutup
adalah klaim atas kebenaran dan tiak boleh diragukan.
Sedangkan ideologi terbuka mempunyai makna bahwasannya
ideologi ini menyuguhkan orientasi dasar sehingga dalam aplikasi kesehariannya
akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita
masyarakat. Praktek kehidupan dalam ideologi ini tidak bisa dimaknai secara
apriori melainkan harus sesuai keputusan yang demokratis sebagai bentuk
cita-cita bersama.
Dan, ideologi tersirat adalah sebuah ideologi yang hadir dalam
amsyarakat-masyarakat tradisional yang mengatur tentang bagaimana mereka harus
hidup sehari-hari. Ideologi ini hanyalah implisit saja, karena tidak diturunkan
dan diajarkan namun cita-cita dan keyakinan yang ada sangat berdimensi
ideologis.
Dari beberapa penjelasan mengenai ideologi, kita seharusnya
sudah paham bahwasannya letak Pancasila adalah sebagai ideologi yang terbuka. Sehingga
wacana-wacana dapat didiskusikan dan menjadi sarana untuk memperkaya wawasan
ideologis kita sebagai bangsa Indonesia.
Hebatnya Pancasila di Tengah Arus Filsafat Ideologi Besar
Penulis memahami mengapa Pancasila memang menjadi ideologi
yang final, hal ini didasari karena Pancasila berbeda dengn ideologi-ideologi
dunia yang berakar dari tiga filsafat.
Pertama, Filsafat Idealisme (philosophy of
Idealism), filsafat ini mengedepankan faham rasionalitas dan individualitas
sehingga dalam berpolitik filsafat ini melahirkan ideologi Liberalisme dan
Kapitalisme. Ideologi ini beranggapan bahwa manusia adalah pusat dari
segalanya. Atas dasar itulah dalam praktek beragama pun ideologi ini mengatur
bahwa hubungan agama dan negara adalah terpisah.
Jika berkaca dari ideologi tersebut, apakah Pancasila salah
satunya? Tentu tidak, Pancasila bahkan mengakomodasi antara nilai keagamaan dalam
bernegara.
Kedua, Filsafat Materialisme (philosophy of
materialism), filsafat ini mengedepankan faham emosionalitas berupa
perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivitas. Dalam kehidupan berpolitik,
filsafat ini melahirkan ideologi Sosialisme dan Komunisme. Dalam kehidupan
beragama, filsafat ini bahkan lebih ekstrim dari filsafat pertama. Dalam praktik,
agama bahkan dianggap menjadi candu yang bisa menghmabat laju negara.
Jika berkaca dari sini, saya pikir sangat tidak cocok dengan
Pancasila. Pancasila justru menjadi sebuah jawaban atas kehidupan berbangsa dan
beragama dengan sangat harmonis dan dialektis.
Ketiga, filsafat teologisme (philosophy of
teologism), filsafat ini meyakini bahwasannya ajaran Tuhan menjadi sentral
dari kehidupan bernegara. Sehingga faham ini sangat membuka peluang sebagai
sarana pengkultusan seseorang untuk mengambil peranan dalam beragama.
Jika berkaca dari filsafat itu, saya kira Pancasila sangat
tidak seperti itu. Pancasila bahkan mampu menjembatani iman dan akal untuk
berjalan seimbang. Sehingga tentu saja dalam praktik kehidupan di Indonesia,
jika ada seseorang yang mengaku menjadi Nabi atau malaikat pasti akan segera
diamankan oleh petugas karena Pancasila juga mengatur dalam keseharian kita
untuk menjauhi kemusrikan dan tidak ada pengkultusan individu.
Dari semua penjelasan di atas, sangat aneh rasanya jika
masih banyak yang membatasi ruang gerak Pancasila sehingga membatasi
diskusi-diskusi Pancasila. Padahal bukan Pancasilanya yang salah melainkan
wawasan kita terhadap Pancasila yang minim. Jika sudah seperti itu, para elit akhirnya
memilih untuk tidak berdialog atau memilih untuk tidak mengikuti diskusi karena
khawatir mereka akan gagap dalam menjelaskan Pancasila. Padahal, Pancasila juga
merupakan sebuah wadah kritik terhadap Pemerintah atas ketidakseimbangan
bernegara.
Pancasila menjadi hal yang teramat seksi saat ini. Saking seksinya, pemerintah sampe membuat BPIP yang sepertinya mubazir karena, selain menghabiskan dana, tidak ada lagi dampak langsung terhadap pancasila itu sendiri. bahkan saat rame-rame RUU yang menyoaal pancasila, tidak ada gerakan nyata dari BPIP. hehe. mon maap komennya ga nyambung. nays.
ReplyDeleteAwas keciduq mansss
Delete