Banyak sekali produk-produk budaya di tanah air saat ini
yang mengadopsi bentuk fisik maupun bentuk moral dari pengalaman masa lalu,
baik itu di tatanan arsitektur hingga pendidikan. Terang saja jika Indonesia
menjadi salah satu negara yang diakui memiliki keragaman yang luar biasa di
dunia ini. Selain gerusan arus global yang sangat kuat, Indonesia dengan
gagahnya masih mampu mempertahankan identitasnya sebagai ‘Nusantara’. Tak luput
dari semua aspek kehidupan, terutama adalah hal Pendidikan. Jika dilihat dari
sejarah Pendidikan yang ada di Indonesia, rupanya Pondok Pesantren merupakan
simbol atau simplifikasi dari Pendidikan Nusantara jaman dahulu.
Sistem pendidikan dengan model dukuh, asrama, atau padepokan
merupakan cara pendidikan yang sudah ada sejak jaman Hindu-Budha. Munculnya
para walisongo akhirnya juga mengadopsi model pendidikan yang sudah ada.
Menurut Zaini Achmad Syis dalam buku berjudul Standarisasi Pengajaran Agama
di Pondok Pesantren (1984), sebenarnya konteks pendidikan pesantren yang representatif
mencitrakan sistem pendidikan Islam di Nusantara adalah pengambilalihan bentuk Pendidikan
sistem biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan bhiksu saat proses
belajar dan mengajar. Itulah mengapa pondok pesantren biasanya disebut berasal
dari mandala Hindu-Buddha. Terlebih, Clifford Geertz juga pernah mengatakan
bahwa pondok pesantren mengingatkan orang pada biara, tetapi santri bukanlah
para pendeta.
Seiring waktu berjalan, dukuh yang akhirnya disebut ‘pesantren’.
Dan, kata ‘santri’ sendiri sebenarnya adalah adaptasi dari istilah sashtri yang
berarti orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra). Tidak hanya
itu, dalam pesantren juga diajarkan bagaimana tata krama dalam menuntut ilmu,
biasanya menggunakan kitab Ta’limul Muta’allim karya Syaikh az-Zarnuji.
Rupanya, tata krama yang diajarkan di dalam pondok pesantren juga sebenarnya selaras
dalam ajaran Hindu-Buddha yang diberi nama ‘gurubakti’.
Usaha adaptasi para walisongo terhadap sistem Pendidikan
model dukuh dan asrama ini rupanya juga membawa dampak yang sangat dignifikan
untuk para santri dalam memahami ajaran Islam dan mengajarkan nilai-nilai sosio-kultural.
Sehingga dengan proses pembelajaran melalui model dukuh dan asrama, para santri
tidak hanya dapat memahami ilmu agama saja, melainkan juga kompleksitas dalam
bersosial dan berbudaya. Sehingga, para santri mempunyai pemahaman yang mumpuni
jika sudah keluar atau menyelesaikan pembelajarannya di pesantren.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya konsep pembelajaran
Nusantara yang paling penting bukanlah pada hal fisiknya melainkan peristiwa
moral. Dan, ada satu titik temu yang membuat pondok pesantren masih relevan
dengan pendidikan di Nusantara kala itu. Konsep moral dan tata krama dalam Pendidikan
adalah bahwasannya guru harus dimuliakan, sehingga yang patut untuk datang saat
ingin menuntut ilmu adalah murid atau santri. Pada jaman dahulu tidak ada les
privat dengan guru datang ke rumah. Ada filter dari masyarakat bahwasannya jika
ingin belajar suatu ilmu, maka harus datang ke orang tertentu. Guru yang
mendapat pengakuan dari masyarakat bukanlah seseorang yang telah menamatkan
studi hingga tinggi, melainkan seseorang yang memang dianggap masyarakat ‘pantas’.
Filter ini lah yang masih bertahan di dunia pondok pesantren, dimana santri lah
yang datang ke tempat guru berada. Menuntut ilmu dengan kurun waktu tertentu
dan masyarakat pun meyakin bahwa sosok yang berada di pondok pesantren itu
adalah pantas. Karena adanya filter dari masyarakat inilah yang menjadikan
setiap pondok pesantren memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Aturan paling
baku, kurikulum paling ampuh bukan pada yang tertulis dalam kertas, kurikulum
paling ampuh itu ada pada sosok guru atau kyai. Kurikulum hidup yang dapat
memahami setiap santrinya. Kurikulum hidup yang dekat dengan Allah, sehingga
membuat ilmu yang diajarkan akan selalu mendekatkan kepada Allah. Ya, itulah Pendidikan
yang sudah diwariskan dari dulu. Pendidikan pondok pesantren yang bukan hanya
sekedar menjadikan pintar, melainkan menjadikan santrinya menjadi manusia yang
paripurna.
0 komentar: