Banyak yang mempunyai persepsi ‘mistis’ jika mendengar kata Kejawen. Satu kata yang diasosiasikan sebagai laku-laku spiritual yang penuh dengan ghaib khas orang Jawa ini rupanya mempunyai cerita panjang dan salah tafsir. Tidak heran jika banyak diantara kita yang mengetahui bahwasannya laku spiritual orang Jawa adalah Kejawen, mungkin karena namanya ada jawa-jawanya kali ya. Padahal Kejawen bukanlah hal yang seram dan mencekam.
Konsepsi pertama adalah, jika membicarakan mengenai laku
spiritual khas Jawa atau Nusantara, maka kejawen bukanlah sebuah
terminologi yang cocok. Karena kejawen sendiri baru muncul saat era Wali
Songo. Dalam buku Ketua Les Bumi NU, Agus Sunyoto, beliau menjelaskan
bahwasannya agama asli Jawa adalah Kapitayan, dan bukan animism,
dinamisme, atau kejawen.
Lalu, sebenarnya dari mana datangnya istilah Kejawen
ini?
Dalam artikel kali ini, penulis mendasarinya dari sumber
yang terpercaya, yaitu sebuah Induk Ilmu Kejawen yang ditulis oleh Damar
Shasangka. Isi dari buku tersebut adalah terjemahan dari kumpulan Wirid
Hidayat Jati, sebuah informasi-informasi Kejawen dari Kanjeng Sunan
Kalijaga dan diteruskan oleh Kanjeng Sultan Agung Prabhu Anyakrakusuma
dandilanjutkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita.
Wirid Hidayat Jati adalah rujukan utama bagi penganut
Kejawen. Jika ditelusuri, Kejawen pada mulanya diprakarsai oleh
para Wali Songo. Karena pembawanya adalah para Wali yang menyebarkan agama
Islam di Nusantara, tentu saja aromanya adalah Islam Tasawuf. Ajaran Kejawen
bahkan ditulis dengan Bahasa Jawa baru dan naskah-naskah aslinya masih disimpan
rapi di Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Pakualaman, Mangkunegara, dan
Kecirebonan.
Perkembangan selanjutnya, karena ketidaktahuan masyarakat
umum, Kejawen dianggap sebagai sebuah aliran di luar dari Islam. Sehingga
biasanya yang mengaku sebagai Kejawen akan dikucilkan karena mendapat stigma
negatif dari golongan selainnya. Hal ini akhirnya juga mengakibatkan putusnya
hubungan mereka dengan Islam, dalam artian, penganut Kejawen juga
akhirnya memisahkan diri dari Islam. Di abad ke-19, dimana hubungan antara Kejawen
dan Islam memburuk, akhirnya muncul sebuah wacana ahistoris yang mengaburkan
sejarah dan menyatakan bahwasannya Kejawen adalah agama asli Jawa.
Oleh karena itu, dengan mengacu kepada sejarah, alangkah
baiknya definisi Kejawan diluruskan. Dan, atas dasar itu pula perlu
mempertimbangkan fakta-fakta sejarah mengenai Kejawen, diantaranya adalah.
Satu, Kejawen pada mulanya dibawa oleh para wali dan bukanlah
ajaran asli Jawa karena tidak dijumpai istilah Kejawen pada
lontar-lontar Majapahit atau kerajaan-kerajaan di atas majapahit. Dua, Kejawen
adalah ajaran dengan substansi Islam karena banyak sekali dijumpai
naskah-naskah yang saat ini juga masih disimpan rapi di keraton-keraton.
Sebenarnya, nama Wirid Hidayat Jati sendiri adalah
nama yang diberikan oleh Ranggawarsita yang mengumpulkan wejangan-wejangan ilmu
kejawen. Dan secara konotasi, Wirid Hidayat Jati mempunya arti
yang luas dan besar. Wirid sendiri berarti sesuatu yang berhubungan dengan
ibadah dan dilakukan secara terus-menerus. Sedangkan hidayat berarti petunjuk,
sebuah kata dari Bahasa Arab. Dan, jati adalah kata yang berasal dari kata
sejati dan memiliki arti yang sesungguh-sungguhnya, atau sebenar-benarnya. Jika
digabungkan maka makna dari Wirid Hidayat Jati sendiri kurang lebih ‘wejangan
yang berisi petunjuk kebenaran untuk memicu para hamba agar senantiasa
beribadah kepada Allah.’
Namun, sebelumnya Wirid Hidayat Jati ini sering dikenal
dengan berbagai macam sebutan, diantaranya adalah Ngelmu Kasampurnan, Ngelmu
Kak (Ilmu Haq), dan Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi. Tetapi sebenarnya
istilah-istilah tersebut juga dapat ditemui dalam Wirid Hidayat Jati.
Yang terakhir adalah, sesungguhnya yang disebut Kejawen
adalah ajaran-ajaran yang tertulis dalam Wirid Hidayat Jati. Jadi, tidak
benar jika kita memberikan stigma bahwa kejawen adalah agama asli jawa
atau kejawen terlepas dari substansi keislaman. Justru kejawen
adalah corak Islam tasawuf yang disebarkan oleh para wali songo.
Menarique....
ReplyDeleteTulisan yang memperkaya perspektif