Budaya selalu muncul dimana manusia ada. kebutuhan akan hal spiritual ataupun kebutuhan secara jasmani membuat manusia menciptakan buday...

‘Old-Normal’ Yadnya Kasada tanpa Komodifikasi Budaya di Masa Pandemi

 

Budaya selalu muncul dimana manusia ada. kebutuhan akan hal spiritual ataupun kebutuhan secara jasmani membuat manusia menciptakan budaya. Sesuatu yang dikenal dengan olah cipta, rasa, dan karsa membuat manusia bertahan hidup, dan produk dari manusia ini adalah budaya. Tak lepas juga dengan hal-hal spiritual, ritus-ritus keagamaan, dan cerita dibaliknya adalah keanekaragaman budaya karena masih melekat dengan kehidupan manusia. Di masa pandemi ini, rupanya agama juga berperan penting untuk mengkontrol perilaku manusia agar sesuai koridor atau protocol yang aman dan normatif. Tak hanya itu, dengan adanya pandemic ini kita juga mengetahui bahwasannya agama bukanlah doktrin, karena alternatif dalam peribadatan diperbaharui. Peran manusia dalam berijtihad adalah hasil dari hadirnya budaya dalam pagar agama.


Di sisi lain, rupanya masyarakat Tengger, atau biasanya dikenal dengan sebutan Wong Tengger juga merasakan perubahan dalam peribadatannya. Suku yang mendiami empat kabupaten di Jawa Timur ini sangat erat kaitannya dengan budaya yang sudah menjadi budaya nasional. Memang budaya muncul dari kebutuhan manusia, dan Sebagian besar wong tengger ini adalah petani sehingga kebudayaan jasmani dan kebudayaan spiritualnya juga mungkin selaras untuk menunjang kebutuhan masyarakatnya. Contohnya adalah upacara Yadnya Kasada. Upacara Kasada aalah upacara untuk meluapkan rasa syukur atas hasil ternak dan hasil bumi yang melimpah.


Dan. Pada awal Juli nanti masyarakat tengger akan mengadakan upacara kasada. Upacara yang biasanya menjadi ajang pariwisata yang mendatangkan ribuan orang dari sudut negeri ini selalu ramai. Esensi spiritual yang tertangkap di layar kaca biasanya kurang dominan karena banyaknya manusia yang hadir. Kekhidmatan dalam bersyukur terdegradasi karena banyak pengunjung belum mengetahui esensi budaya spiritual ini sehingga dengan gampangnya datang dan sibuk berswa-foto atau hanya sekedar menjawab rasa penasaran terhadap upacara ini. semua dilakukan karena Bromo dan Tengger sudah menjadi salah satu destinasi ‘Pariwisata Internasional’. Memang dalam hal ekonomi negara, itu akan menguntungkan, lantas bagaimana dengan munculnya ajang pariwisata di dalam substansi budaya yang sakral? Tak bisa dinafikkan bahwa komodifikasi hadir dalam budaya yang sakral sekalipun.


Saya sebagai penulis sangat bersyukur rupanya Kasada masih tetap diadakan di tahun ini, dan pasti akan tetap ada selama masyarakat tengger masih membutuhkan. Dan hal yang membuat saya lebih bersyukur lagi adalah bahwasannya upacara Kasada yang akan diadakan di tengah pandemi ini hanya diperuntukkan masyarakat tengger saja, alias, upacara kasada akan dijalankan oleh pemeluknya saja dan tidak menghadirkan wisatawan. Hal ini merupakan sebuah simbol bahwasannya untuk sejenak, kebutuhan atas spiritualitas tidak lagi dicampur dengan kebutuhan pariwisata.


Maksud dari ini semua adalah bahwasannya Suku Tengger akan menjalani kebutuhan atas upacara kasada tanpa ada komodifikasi budaya. Tidak ada kepentingan-kepentingan di luar kepentingan ibadah. Inilah upacara yang normal dan seharusnya memang seperti itu.


Jauh sebelum adanya komodifikasi budaya, upacara kasada memang dilakukan secara khidmat dan hanya didatangi oleh penganutnya, tanpa embel-embel pariwisata dan tanpa ‘wisatawan’. Namun semenjak dijadikan menjadi destinasi wisata, semua berubah menjadi kepentingan pariwisata. Tentu saja substansi upacaranya sebagai sesuatu yang sakral tidak berubah, namun orientasinya pasti tidak hanya satu arah, melainkan banyak arah karena banyak pihak-pihak yang ikut campur dalam proses budaya ini.


Old normal, yadnya kasada akhirnya kembali kepada substansi budaya spiritual tanpa diirngi dengan kepentingan pariwisata. Walaupun hanya sejenak, setidaknya upcara kasada bisa kembali ke porosnya. Dan, suku tengger pun tidak merugi sedikitpun atas kebijakan ini. karena jauh sebelum destinasi wisata ditetapkan, mereka juga sudah menjalani kasada ini dengan tanpa ‘wisatawan’.

 


4 comments:

  1. Jadi ingat beberapa tahun lalu sempat ngobrol dengan beberapa orang yg mengeluhkan soal wisatawan yang datang pas upacara. Ritual yang seharusnya khidmat malah jadi tontonan orang-orang yang ga paham akan esensi dari Yadnya Kasada itu.

    Btw, Can, blogmu kalau diakses lewat mobile web agak kacau layoutnya. Tulisan-tulisan yg ada ga muncul sesuai urutan waktu nge-post.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah iya kah?
      Nanti coba aku benerin deh.

      Iya, belum ada strategi kebudayaan yang pas nih biar terlepas dari rantai kepentingan pariwisata.

      Delete
  2. Pandemi ini membuat kita belajar restart (istilah maiyah),termasuk juga pariwisata. Nays perspektif

    ReplyDelete
    Replies
    1. yoi... sing penting yaqiinnnnn
      ojo kenek korona bro, ngesakne, kurus

      Delete