Kehidupan modern nyatanya mempunyai dampak yang meluas di
segala lini kehidupan. Namun, sebenarnya segala hal yang ada di dunia ini tentu
pasti ada akarnya. Dan konsep yang demikian tak terlepas dari modernitas itu
sendiri. Perlu dikeahui bahwasannya konsep modern bukanlah hadir hanya pada
infrastruktur ataupun bentuk fisik yang sudah disandingi dengan kemampuan pintar
teknologi. Modern merupakan terminologi masa kini yang hadir untuk menggeser
masa lalu, yaitu ‘tradisional’.
Apakah benar modernitas itu ada? atau sebenarnya modernitas
itu adalah cara manusia saat ini untuk mengkemas ulang tradisionalitas? Jika kita
telisik, sebenarnya dikotomi antara modern dan tradisional lahir di masa ‘sekarang’.
Sedangkan jika kita berbelok kepada pengalaman masa lalu, maka pengalaman yang
cocok adalah pengalaman atas ketradisionalan. Dan, dapat disimpulkan
bahwasannya modern dan tradisional itu melekat pada waktu.
Jika melihat dari definisi yang diberikan oleh sebagian para
ahli, modern atau modernisasi itu sebenarnya adalah transformasi total
kehidupan bersama yang tradisional dalam arti teknologi serta organisasi sosial
ke arah pola-pola ekonomis dan politis. Kita bisa menggarisbawahi bahwasannya
sebenarnya modern adalah sebuah transformasi. Namun, secara sepihak sebenarnya
definisi tersebut juga seakan melakukan judgement kepada masa lalu
(tradisional) sebagai ‘tidak modern’.
Padahal, fenomena sosial maupun fenomena budaya yang terjadi
di masa lalu merupakan aspek modernitas dan akar dari modernitas yang saat ini.
banyak sekali hal-hal yang modern yang berakar pada tradisionalitas. Bahkan beberapa
hal yang dibilang tradisional belum bisa dijelaskan oleh manusia modern saat
ini. dan banyak pula hal modern yang saat ini terjadi sudah digambarkan oleh
manusia masa lalu yang dianggap sebagai masyarakat tradisional.
Disini, penulis akan memberikan beberapa contoh yang
berkaitan dengan tradisional dan modern. Pertama, dukun beranak, jauh sebelum
profesi kebidanan hadir dalam subjek pengetahuan, manusia ‘tradisional’ sudah mengetahui
teori dan konsep cara menangani kelahiran. Bahkan para dukun beranak tidak
hanya dibekali dengan pengetahuan praktis namun juga pengetahuan spiritual. Namun,
rupanya zaman menelan profesi ‘tradisional’ tersebut dan akhirnya
ditransformasikan menjadi Bidan. Sekolah-sekolah kejuruan, kampus-kampus
berlomba-lomba membuka lowongan pengetahuan untuk mempelajari kebidanan. Bahkan,
banyak pula dukun beranak yang harus bermitra kepada bidan dulu untuk bisa
membantu. Standar modern rupanya menggeser nilai kearifan masa lalu. Tak hanya
itu, monopoli terminologi juga digencarkan. Para intelektual lebih suka mengambil
nama ‘bidan’ ketimbang ‘dukun’ karena aspek ‘modern’ dan ‘tradisional.’ Padahal,
segala konsep dan ide justru datang jauh sebelum munculnya bidan. Lalu siapa
yang modern dan siapa yang tradisional jika begini?
Kedua, Sistem perbankan syari’ah. Jauh sebelum bank-bank di
zaman modern ini muncul, konsep dan teori keuangan justru sudah diatur dalam
konsep Islam. Saat ini justru sistem bank syari’ah ini mempunyai market yang
besar, sehingga banyak yang tertarik untuk menjadi nasabah. Padahal jika kita
telisik, konsep ini justru ratusan bahkan ribuan tahun sudah ada namun
nyatanya baru masif digunakan di satu dekade terakhir ini. lalu, siapa yang
modern dan siapa yang tradisional?
Ketiga, alat minum Kendhi. Jika kita biasanya minum air dengan
mengambil air dari galon dan dituangkan ke gelas kaca atau plastik, maka cara
minum pada zaman dulu bukanlah dari gelas kaca melainkan dari alat minum dari
gerabah, yaitu kendhi. Rupanya konsep tradisional ini membuat manusia modern
takjub, dibalik kendhi ada banyak manfaat Kesehatan yang diberikan, diantaranya
adalah air dari kendhi dapat meningkatkan metabolisme tubuh, air dalam kendhi
juga dapat menyesuaikan pH air yang diinginkan tubuh kita, dan masih banyak
yang lain. Rupanya modernitas masih tertinggal jauh dari pengetahuan masa
lampau. Lalu siapa sebenarnya yang modern dan siapa yang tradisional?
Dan, tidak hanya itu, bahkan konsep yang digunakan manusia ‘tradisional’
masih banyak yang belum bisa dijawab oleh manusia modern, walaupun sudah
berabad-abad waktu yang diberikan, tetap saja tidak bisa. Semisal; menjelaskan
tentang peristiwa Isra’ Mi’raj secara intelektual, menjelaskan bagaimana sebuah
candi pada masa singosari bisa berdiri kokoh walau tanpa semen, dan banyak yang
lainnya. Sedangkan kemunculan peristiwa modern justru dianggap biasa oleh masyarakat
‘tradisional’, contohnya; munculnya pesawat, kereta, orang zaman dulu akan
menjawab ‘Itu sudah diramalkan Jayabaya, gak perlu kaget.’
Nah, sebenarnya konsep modern dan tradisional itu masih bias.
Tidak ada yang mutlak. Jadi dikotomi yang terjadi antara keduanya sebenarnya
hanyalah semu. Modern hanyalah terminologi untuk ‘berjualan’ di masa saat ini.
sedangkan tradisional hanyalah sebuah termiologi untuk menyudutkan produk lama.
Menarik. Tapi aku ada pendapat lain, bahwa sekarang, yang dijual itu adalah tradisionalitas. Apa-apa yang disebut tradisi, dikemas, dipermak, dan disuguhkan dengan, biasanya, berlebihan untuk mendatangkan rupiah. Fungsi tradisi yang merupakan solusi lokal yang penuh nilai filosofi, kini didangkalkan dengan hanya menyasar keuntungan ekonomi semata. Jadi, modernitas juga berarti komersialisasi produk tradisional. 😅
ReplyDeletenah ini nih bener, wkwkwk
Deletefilosofinya luntur, sehingga harga yang nampak hanya sebatas nominal uang