Setelah kurang-lebih tiga minggu berhenti menulis, akhirnya di suasana kupatan ini aku mencoba menulis kembali. Sampai tulisan ‘ini’,...

Jadi, Begini Makanan Bisa Dikenal



Setelah kurang-lebih tiga minggu berhenti menulis, akhirnya di suasana kupatan ini aku mencoba menulis kembali. Sampai tulisan ‘ini’, aku bingung mau membahas topik apa. Eh, bukan sampai tulisan ‘ini’, tapi sampai saat ini, aku bingung mau menulis apa. Jadi prolognya agak diperpanjang aja biar kelihatan tulisannya banyak. Padahal ya belum nyentuh topik sama sekali.

Yasudahlah, ini beneran, aku belum ada topik. Jadi jika kalian terus membaca tulisan ini, kalian buang-buang waktu. Tapi jika kalian berhenti membaca, aku yang buang-buang waktu. Udah nulis masak gak dibaca.

Sebelum membuat paragraf baru ini, aku berhenti sejenak memikirkan masalah topik. Dan, akhirnya ada sebuah kata yang melintas dengan cepat di kepala, hmm.. sebenarnya bukan di kepala sih, tapi di pikiran. Sebuah kata yang mungkin saja ini penting, atau bisa saja sangat tidak penting. ‘Makanan’. Tidak, aku tidak akan membeberkan resep makanan disini, atau membuat review makanan tertentu. Tapi, aku terpikir saja, kenapa makanan itu bisa menjadi representasi budaya dari sebuah suasana, etnis, dan kelompok tertentu. Mungkin ini tidak menarik, tapi aku ingin saja membahas ini, soalnya terpaksa, gak ada topik. Sampai detik ini, aku belum tahu mau aku bawa kemana arah penjabaran topik ini. But, Let me try.

Jeng..Jeng..Jeng..

Sebenarnya sudah menjadi hal yang biasa saja, semua konstituen atau satuan pasti mempunyai ikatan terhadap variabel-variabel tertentu. Jika aku menyebut kata ‘Indonesia’, setiap orang bisa membuat dan mengkaitkan satu kata itu dengan makna yang berbeda-beda, tergantung tingkat pengetahuan dan pengalamannya dalam melihat objek. Kalau aku, jika ada yang menyebut Indonesia, maka variabel-variabel yang terbesit adalah;  budaya, sejarah agung, masyarakat tangguh. Setiap orang bisa saja berbeda pemaknaan. Ini merupakan salah satu hal yang masih umum, dan suatu yang masih general menciptakan sesuatu yang bias.

Mari kita coba untuk mengkerucutkan, jika tadi ‘Indonesia’, sekarang aku coba mengambil bagian yang lebih segmental dari Indonesia dan semua orang mungkin mempunyai asosiasi variabel yang sama, karena sudah dianggap sebagai kebenaran umum. Percobaan kedua, ‘Jakarta’. Asosiasi pikiran yang mungkin saja muncul; Ibukota, macet, gedung-gedung pencakar langit. Kata ‘jakarta’ sudah membuat variabel-variabel nya lebih detail. Kita coba semakin mengkerucut, ‘Reog’. Yang muncul bisa jadi merujuk ke suatu tempat; Ponorogo. Lagi, sekarang bukan sebuah kata, tapi sebuah frase, ‘candi besar di Indonesia’, variabel yang keluar pasti Borobudur. Lagi, kita coba dengan hal lain, ‘Hadratus Syekh Hasyim Ashari’, variabel yang muncul, Nadhatul Ulama.

Semakin mengkerucut, semakin membuat nilai itu jelas, dan juga mempunyai pengalaman suasana budaya yang melekat pada satuan kata tersebut. Begitu pula dengan makanan. Kenapa Yogyakarta identik dengan makanan Gudhek, lebaran identik dengan ketupat dan opor, dan anak kos identik dengan Ind*omie.

Pengalaman kebudayaan dan latar belakang suasana dan budaya menciptakan segi-segi dan ruang dimana bisa menciptakan suatu karakter yang kental. Semua melekat dalam framing budaya. Penciptaan frame budaya sehingga melahirkan ciri pada suatu makanan dan yang lain tidak bisa dihancurkan oleh sistem kapital yang ingin merubah pandangan budaya. Jadi, seenak-enaknya tempat makan luar negeri, fried chicken apalah-apalah, yang disana ada peranan modal besar, kita tak akan betah dan ujung-ujungnya juga bilang ‘masakan ibu yang nomer satu’. Masakan ibu ini adalah budaya, terus diulang-ulang. Kita terus memakannya mulai dari kecil hingga sekarang. Kita sudah biasa. Itulah esensi kecil budaya. Sedangkan, makanan luar, mungkin saja enak, tapi tak bisa mengambil hati kita untuk berlabuh.

Kalau makanan saja bisa mempunyai representasi budaya yang kental, bagaimana dengan budaya itu sendiri. Budaya ternyata bukan hanya menjadi representasi dan pembeda suatu negeri, budaya rupanya menjadi kehidupan. Jadi aneh, jika ada yang bilang harus memisahkan agama dengan budaya. Berarti ketika lebaran, gak boleh makan ketupat dan opor. Ketika ngekos gak boleh makan indo*mie. Hahaha. Yang jelas kalau memberi pernyataan ya. Budaya kan juga bagian dari agama, kenapa harus dipisah. Pahami isinya, bukan hanya bungkusnya. Rasakan nikmatnya isi indo*mie, jangan rasakan bagusnya bungkus indo*mie.

Ya Allah absurd sekali topik kali ini. Aku tanpa persiapan. Maafkan hamba.

0 komentar: