(Fotonya anu) (Sebelumnya maaf, ini bukan lanjutan serial ‘ Batas Waktu’. Lanjutan menyusul minggu depan ya) Menjadi bagian d...

Masalah 'Hati' dan.....

(Fotonya anu)

(Sebelumnya maaf, ini bukan lanjutan serial ‘Batas Waktu’. Lanjutan menyusul minggu depan ya)



Menjadi bagian dari sejarah. Hmm….. rasanya terkesan arogan jika aku berkata seperti itu untuk diriku sendiri. Seperti aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku ini pintar, alim, dan baik. Rasanya kita perlu kaca agar perkataan kesombongan itu menampar diri kita sendiri, atau biarkan diriku yang dalam kaca ini yang menamparku bahwa aku tidak sebaik, se-alim, dan sepintar itu. Pengakuan terhadap diri sendiri inilah yang dilabeli dengan sifat ke-aku-an, atau bahasa arabnya, kata Romo Agus Sunyoto, penyakit Ananiyah.

Kurang lebih satu hingga dua bulan yang lalu, aku diberi kesempatan oleh Allah untuk turut serta mensukseskan Asian Games 2018. Menjadi relawan. Selalu digembor-gembor oleh setiap orang bahwa kami sangat beruntung karena telah menjadi bagian dari sejarah. Aku selalu mengamati ekspresi orang-orang di sekelilingku, ada yang menunjukkan ekspresi senang ketika dirinya disandingkan dengan ‘bagian dari sejarah’, ada yang bangga dengan contemporary status itu. Bagiku sendiri, aku selalu biasa saja jika mendengar kata ‘bagian dari sejarah’. Karena itu terkesan berlebihan, bagiku.

Sejarah tak pernah bisa disandingkan oleh satuan orang, atau, sejarah tak pernah bisa dilegitimasi oleh orang tertentu. Sejarah merupakan pengalaman substansial yang hanya bisa dihasilkan oleh aspek-aspek pendukung. Terutama dalam kosmos jaak dan waktu. Ia merupakan sebab dari suatu rentangan waktu dan akibat dari waktu yang lain. Jadi, jika ada orang yang berkata kepadaku, “wiih, keren ikut Asian Games.” Atau “wih, jadi bagian dari sejarah.” Aku selalu biasa-biasa saja, nothing to be proud of. Hal itu sama saja seperti ada orang yang bilang kepadaku bahwa aku itu keren, aku biasa saja ketika mendengar itu. Karena aku sudah mengetahui dari awal kalau aku itu keren. Kan gak ngefek ke saya. Hehehe

Tapi, tapi, tapi, aku tak perlu membahas masalah ‘kulit’ itu. Aku punya topik yang lebih melankolis terkait Asian Games. Hehe. Mungkin ini nanti akan terkesan sedikit curhat ya, tapi gak masalah, ini kan blog pribadi ku, kalau gak suka ya japri saja. kita main gundu bareng nanti.

Asian Games bagiku adalah hal yang biasa saja, karena awalnya, aku mengikuti ini karena ikut-ikutan saja. ketika Invitation Tournament Asian Games dulu, aku hanya ikut teman saja. aku tidak punya semangat dan niat untuk ikut. Namun ketika sampai hari H, yaitu hari pelaksanaan, tetiba aku seperti mendapatkan semangat yang luar biasa. Aku terbawa euforia, terbawa suasana dan semangat teman-teman yang lain. Hingga akhirnya, aku mentuntaskan tugas ini.

Beberapa bulan ITAG (Invitation Tournament of Asian Games) sudah berakhir, namun grup di WA setiap hari selalu ramai. Hingga akhirnya, something big happens. Ada hati yang tertinggal pada satu personal, ya, rupanya yang namanya cinlok itu benar adanya. Haha, skip.

Ya Allah, baru pertama ini aku membuat tulisan macam ini. Ampuni hamba Ya Allah. (can, fokus).

Oke, jadi begini wahai sobat yang budiman. Asian Games atau kegiatan apa saja yang membuat kita terlibat di dalmnya, bukanlah kegiatan personal untuk mendongkrak popularitas kita, bukan untuk pamer atau adu gaya dengan kawan lainnya. Kegiatan apapun itu, lakukan dengan tanpa ambisi, atau bisa dikatakan, lakukan dengan hati. Dan hati-hati, bisa juga kau menemukan sesuatu yang akan mengisi hatimu yang sudah lama berlubang karena taka da pengisinya itu.

Kenapa harus hati? Karena hati adalah letak kejujuran dan kebenaran, akal adalah penyeimbang. Ada suatu paradigma islam, jika kita tidak tau kemana harus melangkah maka mintalah fatwa kepada hatimu. Karena hati adalah awal mula semua terencana. Hati adalah manifestasi Tuhan membisikkan secuil kebenaran-Nya. Namun sayang beribu sayang, saat ini kita lebih mengidolakan akal ketimbang hati. Kita lebih mengutamakan logika ketimbang metafisika. Kita hilang keseimbangan hanya gara-gara imingan keduniaan.

Berarti, akal tidak penting? Ya jelas penting, pada takaran tertentu, ia harus dominan, pada masa tertentu ia harus berimbang, pada waktu tertentu ia harus mengalah. Bagaimana situasi kita harus menggunakan akal untuk dominan, berimbang, dan mengalah? Parameternya sederhana, parameternya berbeda-beda dari setiap manusia, karena kita punya pengalaman yang berbeda, pengetahuan yang berbeda, latarbelakang yang berbeda. Jadi untuk menjawab pertanyaan itu, kita hanya perlu mensinergikan keduanya puntuk bertemu pada satu titik berdasarkan pengalaman kita masing-masing. Bagaimana caranya? Loh, bagaimana kita ini, itu bukan pertanyaan yang bisa dijawab oleh lisan dan kata karena itu butuh pencarian panjang. Dan jangan mengandalkan lisan dan kata,  karena kedua hal itu datangnya belakangan.

Maksudnya datang belakangan? Aku beri analogi, rasa ‘manis’ itu sudah ada jauh sebelum ‘kata manis’ terucap. Gampangnya, segala hal ini sudah ada sebelum kita mengucapkannya. Karena kata verbal itu adalah olahan otak, dan otak selalu datang terlambat pada waktu-waktu tertentu. Akal, itu belakangan, karena ilmu manusia itu tak bisa menandingi ilmu Tuhan. Dan ilmu Tuhan bukan tentang verbal, melainkan tentang cinta. Dan cinta bukan tentang sesuatu yang empiris, melainkan substansi hati.

Apa buktinya? Allah menciptakan alam semesta ini bukan karena dasar logika, melainkan cinta. Dalam Hadist Qudsi, Allah berfirman, “Kalau tidak karena engkau, Muhammad, maka tidak kuciptakan jagat ini.”  Cinta kepada Rasulullah, Allah menciptakan apa-apa yang dibutuhkan Rasulullah dan umat beliau.

Ada lagi gak? Ada. Ketika Rasulullah sudah officially di bumi, Allah berfirman yang intinya dalam bahasa Jawa (supaya asyik), “Hai Muhammad, lek menungso iku pancen tresno karo Aku, utus menungso kuwi melu awakmu.”  Ini adalah urusan cinta. Allah mencintai Muhammad, Muhammad mencintai kita, kita mencintai Allah melalui Muhammad. Terciptalah yang namanya segitiga cinta (teori Mbah Nun).

Sudah jelas kan kalau hidup ini masalah hati, jika sudah jelas, maka mari praktek. Praktek bisa ditujukan untuk memberikan treatment ke pasangan, mungkin. Dan kuncinya adalah, ketika ada sesuatu yang melibatkan hati, jangan dahulukan lisan dan kata. Melainkan perbuatan dan ketulusan. Jadi, jika dia bertanya, “kamu sayang aku?” , anda sekalian bisa menjawab, “Jangan bertanya seperti itu, selama ini kamu merasakannya gak?”

0 komentar: