Tadi
siang, ada pemandangan yang sudah lama tak ku lihat. Selepas dari swalayan
untuk berbelanja kebutuhan rumah, aku melihat ada seorang bapak yang sedang ngarit
di sekitar kompleks rumah. Hampir satu tahun aku tinggal di ibukota, dan
baru kali ini aku jumpai seseorang yang masih ngarit. Berbeda dengan
kehidupan di Jawa Timur, ngarit bukanlah hal yang langka, bahkan
kegiatan itu sudah jamak dilakukan masyarakat.
Mungkin
untuk orang kota, ngarit bukanlah hal yang istimewa atau bahkan dipandang
sebelah mata. Maklum saja, tak banyak orang kota yang bisa angon
peliharaan, karena semua sudah kenyang dengan perkantoran. Tapi keseimbangan
selalu ada. Di Jawa, ngarit bukanlah sekedar rutinitas untuk mencari
rumput saja. Atau bukan pula aktifitas mencari rumput untuk makan ternak saja. Ngarit
mempunyai filosofinya tersendiri.
Memang,
jika berbicara perihal ngarit, selalu ada kaitannya dengan ternak dan angon.
Biasanya orang ngarit bukan untuk dimakan dirinya sendiri melainkan
ternak yang kebanyakan adalah kambing dan sapi. Aku sering melihat orang-orang
desa baik dari yang muda sampai ke yang tua, setiap siang menjelang sore,
banyak yang menggiring ternaknya, biasanya kambing, menuju ke ladang. Ternak diikat
di pasak untuk memakan rumput sekitaran. Sedangkan empunya sibuk membabat
rumput liar untuk dibawa pulang. Dan aktifitas itu dilakukan setiap hari.
Sempat
aku berbincang dengan seorang yang sudah lumayan sepuh, kami membicarakan ngarit
saat itu. Di malam dengan ditemani secangkir kopi dan kacang-kacang yang
membuat ketagihan.
“Ngarit
kuwi tegese ngasah wirid.”
(Ngarit
itu artinya mengasah wirid)
Bapak
itu kemudian melanjutkan,
“Wirid
iku kan kudu diulang-ulang. Laailahailallah diulang-ulang, alhamdulillah
diulang-ulang, lan sakteruse. Tujuane wirid kuwi sejatine gawe makani ati. Mangkane
wong jowo biasane sing sregep ngarit kuwi, yen gak ngarit sedino wae yo gak
iso, sebab mengko ternake ora mangan, terus mati.”
(Wirid
itu kan harus diulang-ulang. Mengucap Laailahailallah diulang-ulang, mengucap
alhamdulillah diulang, dan mengucap kalimat-kalimat baik lainnya. Tujuan wirid
itu sendiri hakikatnya kan untuk memberi makan hati. Itulah sebabnya orang Jawa
yang biasanya rajin ngarit itu jika sehari saja tidak ngarit pasti
gak bisa. Sebab jika sehari saja tidak ngarit, nanti ternaknya tidak
makan, terus mati.)
Mendengar penjelasan dari beliau,
ikatan dipikiranku seakan terlepas, pertanda bahwa ada satu kunci yang akhirnya
terbuka. Spekulasi dan pikiranku akhirnya menjalar kemana-mana, mencoba untuk
meluaskan makna dari makna ngarit itu. Bayangkan saja, hanya melalui ngarit
yang dianggap remeh oleh banyak orang, ternyata mempunyai makna yang luar biasa.
Wirid itu harus diulang. Ya, jika ngarit
hanya dilakukan sekali saja dan tidak berlanjut maka tentu saja ternak akan
mati kelaparan. Wirid itu memberi makan hati. Ngarit itu untuk memberi
makan ternak. Hati adalah hewan ternak kita yang harus kita beri makan setiap
hari dengan wirid. Kita adalah penggembala yang tugasnya angon setiap
hari. Dan tentu saja ngarit bukanlah hal kecil. Di era modern ini jelas
saja jika hati sering merasa lapar dan tak tenang, kita memang lupa akan tugas
kita sebagai penggembala yang harus angon setiap hari untuk memberi
makan ternak kita, untuk memberikan kesempatan ternak kita hidup sampai lama.
0 komentar: