Bunuh Diri Sebagai manusia normal, wajar jika kita ingin hidup enak, menikmati banyak uang, rumah besar, masalah tidak berat-berat ...

Temanku Bunuh Diri (Dan Diantara Manusia Bag 3. Akhir)



Bunuh Diri
Sebagai manusia normal, wajar jika kita ingin hidup enak, menikmati banyak uang, rumah besar, masalah tidak berat-berat amat, apalagi jika masalahnya bisa diselesaikan dengan uang, pasti lebih nikmat lagi. Namun, rupanya yang demikian hanya ada di angan. Dambaan seperti itu hanya bisa dinikmati oleh imaji, dan untuk menikmati suatu hal dengan imaji, semua orang bisa. Tak harus kaya dan tak harus ber-ijazah.

Saya pernah merasakan bagaimana rasanya putus cinta, sungguh. Tidak enak. Galau tidak karuan. Skripsi mangkrak tiga bulan. Kejaran dosen pembimbing pun saya hiraukan. Ini beneran, teman satu kontrakan lah saksi ketika saya pada keadaan seperti itu. Tapi, dalam kegalauan itu, saya juga selalu mencari cara bagaimana Self-Healing versi saya. Akhirnya saya menemukan cara yang saya bisa menikmatinya. Proses dan waktu. Sungguh, itulah diges atau intisari dari semuanya. Keberhasilan Self-Healing yang saya terapkan, akhirnya menghantarkan pada saya yang sekarang. Hasilnya apa? YA SAYA JADI JOMBLO LAH.

(Ini hubungannya apa ya sama topik bunuh diri kita?)

Diam dulu, itu namanya prolog.

Cerita dimulai………..

Bunuh Diri Sedang Tren

Akhir-akhir ini, bunuh diri menjadi tren dikalangan masyarakat dunia. Mulai dari penyanyi hingga artis, bahkan rakyat biasa. Untuk menangani masalah seperti ini, rupanya sangat bahaya jika salah langkah. Sungguh, mengecam tidak akan menyelesaikan masalah. Perlu kedewasaan yang sangat luar biasa untuk menghadapi prolema seperti ini. Sama hal nya dengan seorang teman saya. Berawal dari putus cinta, entah kehidupannya menjadi kacau-balau. Cara piker dan ritme hidupnya menjadi berantakan. Bingung akan arah.

Saya bisa sedikit mencicipi perasaannya, karena saya juga pernah putus cinta. Bedanya, dia sudah menjalin asmara lebih dari enam tahun. Sedang saya, ah masih seumur kecambah, jika dibandingkan dia. Pantas saja, jika dia sangat depresi. Hampir setiap hari, pagi-siang-malam saya medapat curhatan dari dia yang monoton. Itu-itu saja. Jujur, sebenarnya saya malas dan bosan meladeninya. Namun, akan sangat salah jika saya meninggalkannya dalam keadaan seperti itu. Karena, resikonya sudah jelas, kenekatan bunuh diri.

Entah apa yang ada dalam pikirannya, sehingga masalah yang nampaknya biasa saja bisa menjadi kronik seperti itu. Berawal dari ditinggal sang kekasih, lalu melebar masalahnya hingga ke cita-cita, dan masalah keluarga besarnya. Padahal, kalau masalah masa depan, saya bisa bilang, dia punya kemampuan yang sangat untuk mewujudkan. Namun, dia merasa hopeless and helpless. Merasa dirinya tak berbakat, tak punya cita-cita, dan tak punya alasan untuk hidup lagi, karena dia sudah merepotkan banyak orang. Pikirnya seperti itu.

Tidak, ia tidak bodoh dalam pilihannya untuk bunuh diri. Dia hanya belum menemukan Self-Healing versinya. Sehingga, akan terasa picik bagi saya jika saya mengabakannya. Namun, saya punya cara yang unik dalam membantunya menemukan dan mengantar pada Self-Healing nya.

Andai orang seperti dia, yang nekat bunuh diri ini ditangani oleh orang yang judgemental dalam urusan sosial dan urusan agama. Mungkin tak selamat ia hingga hari ini. Bukannya mendapat Self-Healing, namun malah dikecam, “Bodoh kamu, ngapain bunuh diri. Haram. Kafir kamu. Goblok. Gak masuk surge kamu.”

Jujur saja, kita yang dalam keadaan normal dan tidak dalam masalah, dicaci maki, bagaimana perasaannya. Senang, langsung ngakak dan joget-joget di tengah jalan tol sambil kayang dua ribu kali? Tidak kan. Pasti marah, jengkel, sedih. Nah, jika ada orang yang begitu judgemental mengurus orang yang ada masalah dalam perasaan dan tidak bisa berpikir jernih, apa yang akan terjadi? Bisa-bisa besoknya saya jadi melayat.

Kalian tahu, seberapa kronisnya dia dalam masalah ini? Dia sampai ke psikiater, sempat cerita ingin minum baygon, sempat ingin ke Palestina buat bantu disana. Hmm..yang terakhir nih seharusnya bagus sih, tapi saya larang, karena orang yang masih seperti dia boro-boro bantuin orang, bantu diri sendiri belum bisa. Hehehehe. Btw, saya sudah ijin ke dia untuk menulis kisahnya disini. Jadi sudah aman. Sekarang saya ngatain dia goblok juga gak masalah. Karena insya Allah, dia sudah sembuh. Goblok pancen arek e, duh duh.


Inti Cerita Bunuh Diri

Jadi, hampir setiap hari dia chat saya. Saya termasuk beruntung, karena menjadi satu dari beberapa temannya yang direpoti. Dan anehnya, setiap chat dengan saya, dia selalu mendesak saya agar saya bilang bahwa ‘Bunuh Diri’ itu diampuni. Saya tak pernah membalas ucapannya dengan dalil, karena memang saya gak hafal (ehe he he he #KetawaMamahDed*h). ketika dia sudah membahas masalah bunuh diri, saya selalu mengajak diskusi ringan tentang cara-cara biar dia tidak seperti itu. Mulai dari saya suruh membaca Dzikir pagi-petang dahulu. Apakah ada hadist nya? Tidak. Karena dia berkata bahwa galau nya itu biasanya saat pagi, moleh sebab itu saya suruh membaca Dzikir pagi-petang untuk mengisi waktu, supaya gak galau. Tujuan saya Cuma itu saja. Mending kan? Daripada saya suruh dia buat main petak umpet sama Satpol PP.

Beberapa hari setelah saya meminta dia untuk membaca Dzikir, dia chat saya, katanya masih taka da pengaruh. Saya tak habis akal, saya bilang saja bahwa kalau masih beberapa hari ya jangan berharap efeknya. Lalu saya minta dia baca Dzikir tersebut selama satu minggu dulu, kalau masih belum, saya suruh sampai satu bulan. Itulah trik supaya saya gak terbebani oleh dia yang merepotkan, dan bebas dari tugas mencarikan alternatif lain.

Curhatan galau dan bunuh diri masih berlanjut, sangat lama. Kadang ketika dia chat lama sekali, kemudian saya tidak membalasnya. Memang sengaja, karena saya ingin dia perlahan mencari jalan keluarnya sendiri. Entah itu berhasil atau tidak, bodoamat. Saya bisa ringan ngrasani dia disini dengan bahasa yang sinis dikarenakan saya percaya saat ini dia sudah sembuh. Sembuhnya kenapa?

Jadi, dia sembuh dengan cara yang luar biasa. Karena Umroh. Setelah pulang umroh, 180 derajat dia berubah menjadi sosok periang. Hidupnya mulai tertata kembali. Percintaannya mulai terbangun kembali. Namun, saya masih takut dia menjadi edan. Karena dia menjadi gampang senyum dan tertawa. Menganggap semuanya adalah guyonan Allah. Jadi, saya bahkan sempat berpesan kepada dia, kalau terjadi apa-apa sekecil apapun, saya meminta dia untuk cerita ke saya. Karena sungguh, saya takut dia menjadi gila.
           
Hidupnya sudah rapi sekarang. Malah, hidup saya yang menjadi berantakan. Hehe……

Jadi, kita dapat mengambil suatu pelajaran untuk melapangkan intuisi kita dan rasa kita untuk lebih objektif dan tidak menjadi seorang pengadil kepada orang yang tak patut untuk diadili. Kenapa jika orang tersesat, kita sibuk mengutuknya? Kenapa tidak kita rangkul, kita tuntun, kita tolong untuk menuju cahaya bersama.
  

Kita tidak pernah tahu masalah, dan rasa yang oranglain rasakan. Seperti di pembahasan sebelum-sebelumnya. Sangat rentan jika masalah sensitif seperti ini, dicairkan dengan hujatan. Maka, tetap, mari bersifat penuh rasa positif, objektif, dan hadirkan rasa simpati dan empati. Itu kunci menjadi pribadi yang disegani Sang Kekasih Illahi Rabbi.


Dan untuk teman saya yang saya ceritakan disini, tolong, Ojo Gendeng. Ohiya…tambahan…dia perempuan. Yakali, masak saya bantu sampai intens kayak gitu ke cowok. Emangnya saya cowok apaan. Ihhh jijay……..

1 comment: