Sekarung Haru Untukmu Oleh : Debbi Candra Dianto             Aku bangun dari tempat tidurku yang nyaman karena mendengar suara ib...

Apakah Anakmu Telah Terlambat, Ibu?

Sekarung Haru Untukmu
Oleh : Debbi Candra Dianto


            Aku bangun dari tempat tidurku yang nyaman karena mendengar suara ibuku. Aku bangun dengan ditemani ribuan pertanyaan. Kenapa mimpi ini datang kembali, mimpi yang sama seperti 10 tahun yang lalu. Aku masih ingat betul mimpi itu. Ternyata suara ibu yang membangunkanku kali ini adalah sebuah mimpi.  Sama, sepuluh tahun yang lalu aku sering terbangun karena suara ini, suara ibuku namun bukan sekedar sebuah mimpi. Suara khas ibuku yang lembut dan tak pernah meninggikan nadanya ketika berbicara denganku. Aku merenung di pagi itu, masih duduk di ranjang dan mengingat kata-kata ibuku setiap pagi.
            “Le, ayo bangun. Sudah pagi lo. Kamu gak mangkat sekolah? Ayo Fikri  bangun......bangun....!!,” suara seorang yang melahirkanku ini masih terngiang-ngiang di telingaku.
            Sepuluh tahun yang lalu, di desa tercintaku di kawasan Jombang, aku tinggal hanya dengan seorang ibu. Ibuku yang bekerja mati-matian untuk memenuhi kebutuhan kita berdua. Terutama kebutuhan untuk pendidikanku. Ibuku hanya membuka warung rujak di rumah. Sebab itu ibuku selalu bangun pagi, bahkan sebelum ayam membangunkanku, sebelum suara adzan subuh membangunkanku, Ibuku sudah siap pergi ke pasar untuk membeli bahan rujak. Aku yang ketika itu sudah SMP kelas tiga. Aku selalu minta untuk mendaftar di bimbingan belajar ke ibuku, karena aku akan menghadapi Ujian Nasional. Namun ibuku dengan sabar selalu menyuruhku untuk belajar dengan tetangganya saja yang memang seorang guru juga. Aku tahu kenapa ibuku bersikap seperti itu, pasti masalah biaya.
            Aku mencoba memenuhi keinginan ibuku. Karena memang keluargaku adalah keluarga berkecukupan. Kami hanya tinggal di rumah tua peninggalan orangtua dari ibuku. Rumah tua dari tahun 1992. Hanya memiliki dua kamar untuk tidur. ruang tamu yang tak terlalu luas, dan halaman rumah yang sudah menjadi warung. Rumah ini bahkan baru direnovasi sekali saja. Rumah berwarna biru muda ini akhirnya hanya bisa aku tempati sampai aku lulus SMP saja, karena saat itu Ibuku terpaksa menjual rumah itu karena hutang untuk digunakan merawat bapak dulu.
            “Maaf ya le, ibuk mau jual rumahnya, kita tinggal dirumah pakdhe dulu sampai ada rejeki buat kontrak rumah,” ibuku mencoba menjelaskan jalan keluar masalah ini.
            “Enggeh buk, Fikri bentar lagi juga lulus, bisa nyari kerja buat bantu ibu.” Terangku kepada ibuku.
            Ibuku pasti terlihat sedih karena tidak bisa lagi membiayai sekolahku, karena itulah aku juga memutuskan untuk mencari kerja setelah lulus SMP. Aku tahu mencari kerja dengan hanya modal ijazah SMP pasti sulit sekali. Tapi aku yakin pasti masih ada.

***
            Sudah satu bulan aku terlepas dari jabatan sebagai siswa SMP. Ibuku masih tinggal di rumah pakdhe, aku sudah tidak berada di dekat ibuku. Aku merantau ke kota orang, karena ada tetanggaku yang menawariku bekerja di pabrik rokok di daerah kecamatan Dampit di kota Malang. Bekerja tak sesuai impianku, ironi memang, tapi hidup selalu begitu. Aku bermimpi menjadi seorang Polisi. Terlalu tinggi khayalanku mungkin. Terlalu lelap mungkin tidurku. Hingga aku tak menghiraukan kenyataan karena sibuk tidur.
            Dua bulan bekerja di pabrik rokok, aku kenal dengan seseorang yang usianya sebaya denganku. Namanya Sugeng, tapi orang pabrik memanggilnya ‘Ageng’, karena dia memang gemuk. Aku mulai akrab dengannya hingga aku bertanya kenapa dia bekerja disini. Dia mengaku bahwa memang jika orang dari daerah sekitar pabrik bisa dengan mudah bekerja disini. Dia juga sudah malas sekolah, jadi dia memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, yang jelas dia juga mempunyai kondisi ekonomi seperti aku. Aku masih ingat kata-katanya yang sangat membuat hatiku terpukul.
            “Aku mah sudah malas sekolah kri, makanya aku kerja disini. Bantu orangtua juga kan buat nyambung hidup. Kamu masih semangat buat sekolah kok malah kerja disini? Banyak jalan lo menggapai mimpimu,” pertanyaannya yang membuat hatiku terpukul.
            “Mau gimana lagi, aku diajak tetanggaku kerja disini. Dia supervisor disini. Kalau masalah mimpi, sejak aku lulus, aku wis gak punya mimpi geng,” jelasku pada Ageng dengan penuh rasa pesimis.
            Setelah aku berkata seperti itu, Ageng yang gak lulus SMP itu langsung menjadi motivator dadakan yang sok bijak. Dia menasehatiku kalau untuk meraih mimpi itu harus punya nyali dulu, setelah itu aksi. Dia melanjutkan kalau punya mimpi besar tapi gak punya nyali ya kerja di pabrik rokok saja sebagai karyawan upah pas-pasan. Nasehat Ageng masih bersemayam di otakku. Berdiam di otak sangat lama hingga aku mulai langkahku untuk bernyali.
            Aku tinggal di pabrik ini, ada ruang kosong yang aku jadikan kamar. Ukurannya sekitar 3m x 3m, cukup luas untuk tempatku tidur, lebih luas dari kamar rumahku dulu. Aku duduk di depan kamar, menghadap kedepan, masih ada beberapa orang yang belum pulang dari kerjanya karena menunggu jemputan. Hari sudah mulai sore, matahari sudah mulai berpamitan dengan awan biru. Suara ramai di depan pabrik terdengar hingga tampatku duduk. Saat itu, aku ingat nasehat Ageng, dan aku ingin bernyali. Ageng saat itu belum pulang, dia tiba-tiba datang ke tempatku.
            “Nanti malam aku pergi dari sini saja ya, merantau. Ngejar mimpiku, aku mau bangun,” terangku pada Ageng.
            “Loh, kamu mau kabur dari sini Fik? Terus kalau Ibu kamu nyari gimana, pasti khawatir kan,” Ageng tiba-tiba panik setelah mendengarku.
            “Ya gampang deh, nanti kamu harus bantu aku, setelah aku pergi, besok kamu ceritain kejadian ini ke Pak Ridwan tetanggaku itu, biar Pak Ridwan bisa sampaikan ke ibu. Aku kayak gini juga karena ingin buat Ibu seneng. Ibuku ingin aku jadi Polisi, jadi aku berjuang. Aku gak mau kecawain ibuku geng,” Terangku panjang.
            “Iya deh fik, nomer kamu jangan sampai ganti ya, biar kalau ada apa-apa aku bisa hubungi kamu,” Ageng mulai kepanikan.

***

            Suasana gelap datang, untung masih ada bintang dan rembulan yang masih menyumbagkan cahayanya. Dingin menemaniku, menempel di kulitku, seakan ingin menemani kepergianku. Aku pergi keluar pabrik dengan membawa tas berisi pakaianku, menjauh dan menjauh dari tempat tidurku. Hingga sampai di jalan raya, aku berhenti di pinggir jalan. Kiri kanan dipenuhi persawahan. Aku duduk, menghadap petakan-petakan sawah, bersandar di sebuah pohon randu di pinggir jalan. Aku menunggu mobil pengangkut kelapa, aku tahu dari Ageng bahwa di Dampit biasanya orang-orang mengirim kelapa ke luar kota. Aku menunggu, hingga akhirnya aku melambaikan tangan ke mobil pick up hitam yang memuat kelapa. Aku bertanya dan ternyata dua orang yang berada di dalam mobil hendak ke daerah Surabaya untuk mengirim kelapa. Aku minta ijin kepada mereka untuk bergabung di mobil hitam itu. Mereka mengijinkanku dan akhirnya aku ikut bersama mereka menuju Surabaya.
            Masuk mobil itu aku langsung tidur karena lelah dan ingin istirahat karena esoknya pasti sangat melelahkan. Aku tak mempedulikan obrolan kedua orang itu. Kepalaku bersandar di kaca mobil, condong ke kiri. Karena aku berada di pinggir pintu. Tidur untuk mengakhiri hari ini.

***

            Pagi hari ini, aku sudah di Surabaya. Suasana panas, tak seperti di Malang, atau bahkan kampung halamanku di Jombang. Aku bingung mau pergi kemana setelah ini, aku masih berada di rumah orang yang menumpangiku tadi malam. Dia punya rumah di daerah Surabaya, dan aku diijinkan untuk menginap satu malam. Aku bertanya kepada mereka tentang info-info pekerjaan disini. Mereka memberi tahu bahwa sangat banyak lowogan di daerah kota, aku disarankan untuk kesana. Aku pun mendengarkan nesehat mereka dan mulai pergi keluar rumah setelah sarapan pagi.
            Ibukota Jawa Timur ini terlihat sangat ramai di pagi hari, anak-anak pergi sekolah, orang dewasa pergi bekerja, dan bahkan balita-balita yang tersenyum bahagia digendong ibunya. Aku teringat Ibuku, teringat ketika aku pergi sekolah TK ku, aku diantar ibuku naik sepeda butut miliknya.
            “Sekolah yang pinter le, jadi polisi, pasti gagah sekali kamu nanti le,” ibuku mengucapkan itu sambil tersenyum melihatku.
            “Iya bu, nanti ibu Fikri jaga kalau ada musuh. Dor...dor...dor....aku tembak musuhnya bu,” khayalku sewaktu kecil.
            “Yang penting sekarang sekolah yang rajin ya le, biar bapak ibu bangga punya kamu,” Ibuku masih tersenyum ketika berkata itu.
            Sudah dua bulan lebih aku jauh dari ibuku, sekarang malah aku pergi tidak berpamitan. Pasti ibu sangat khawatir kalau tahu. Tapi aku disini untuk ibuku, melangkah sejauh ini untuk mewujudkan mimpiku dan mewujudkan mimpi ibuku juga. Aku terus membayangkan ibuku, mengkhawatirkan ibuku. Ketika sedang memikirkan ibu, HP ku berbunyi, ada SMS dari Ageng, dia bilang kalau Pak Ridwan sudah tau dan sekarang dia pulang ke Jombang untuk memberi tahu ibuku. Ageng juga meminta maaf karena rencana ini sudah gagal di hari pertama.
            Pada saat itu aku juga panik, bukan panik mengkhawatirkan dirku, tapi mengkhawatirkan ibu yang misalnya tahu aku nekad seperti ini, ibu juga akan menjemputku kesini, mencariku di kota orang ini. Aku bingung, rencana untuk mencari pekerjaan akhirnya tak menjadi prioritas saat ini. Aku terus berjalan di tengah kota, duduk di taman depan studio televisi swasta Jawa Timur, melihat kendaraan yang ramai, melihat pohon yang berjajar, dan melihat ibuku di pikiranku. Aku kemudian berjalan dan melihat anak seusiaku mengamen, aku berpikir kenapa mereka mengamen, apa mereka sepertiku sebelumnya. Aku mendekatinya dan bertanya kenapa tidak sekolah dan kenapa menjadi seperti ini.
            “Aku gak punya uang buat sekolah, aku aja sebenarnya bukan asli Surabaya. Dulu kabur dari rumah karena aku gak suka tinggal sama orangtua, selalu ngekang aku, akhirnya aku kabur dan kesini. Eh sekarang jadi pengamen,” jelas anak itu.
            Tekadku langsung hancur, aku ingin pulang menemui ibuku. Aku ingin pulang ke kampung halaman di Jombang. Tapi bagaimana caranya, aku bingung, aku ketakutan. Aku berlari kencang sambil menangis membayangkan ibu. Hari itu juga aku memutskan untuk pulang, aku pergi ke terminal dan langsung naik bus berwarna putih dan orange yang bertuliskan Harapan Jaya.


***

Sesampainya di terminal Kepuh Sari  Jombang, aku langsung turun dari terminal dan mencari angkot. Dalam perjalanan aku tak tenang, seakan punya firasat yang tidak enak. Lima belas menit aku berada di angkot, dan akhirnya aku turun. Berlari menuju rumah pakdhe, dan ternyata rumah pakdhe tak ada orang. Aku bertanya kepada tetangga, dan mereka bilang kalau ibu dan pakdhe mencariku ke Surabaya. Aku panik atas keadaan ibuku. Aku mohon ke tetanggaku untuk menelpon pakdhe, memberitahu bahwa aku sudah pulang.
Matahari sudah mulai meninggalkan tempatnya, adzan maghrib terdengar di belakang rumah. Aku menunggu kedatangan ibu, menunggu hingga sampai batas waktu. Lima menit berlalu, dan akhirnya aku bisa melihat pakdhe saja.
Pakdhe, ibu kemana kok gak sama pakdhe?” tanyaku khawatir.
“Maaf nak, ibumu tadi tertabrak motor, ketika menyebrang. Dan sekarang ibumu sedang dirawat di Rumah Sakit Islam,” Pakdhe menjelaskan kabar mengejutkan ini.
“Loh...ibu gak kenapa-kenapa kan pakdhe? Ayo antar Fikri ke ibu pakdhe,” aku menangis karena mendengar apa yang sudah terjadi pada ibu.
Aku yang saat itu langsung menuju Rumah Sakit Islam di Jombang, ditemani dengan pakdheku sangat khawatir dengan kondisi ibuku. Luka ibuku serius karena kepalanya terbentur aspal. Sesampainya di depan rumah sakit, aku dan pakdhe berlari masuk ke dalam. Mengintip ke ruangan ibuku. Aku terkejut, karena  pasien di dalam ruangan sudah ditutup dengan kain putih. Aku bertanya kepada pakdhe.
“Siapa itu yang di dalam ruangan? Ruangan ibu mana?” aku bertanya dengan suasana hati tak enak.
“Ini ruangan ibumu tadi nak,” jawab pakdhe sambil menangis.
“Gak...gak mungkin,” aku tidak percaya.
Aku membuka pintu dan memastikan bahwa itu bukan ibuku. Aku tarik kain bagian atasnya untuk melihat wajah yang ada di dalamnya. Dan ternyata benar, itu ibuku. Aku tak berdaya, jatuh tersungkur di tanah. Menangis dan menyesal atas kebodohanku. Semua gara-gara aku. Kenapa menjadi seperti ini. Aku tak bisa membuat bangga ibuku, malah membuatnya seperti ini. Aku gagal meraih mimpiku dan mimpi ibuku. Aku menangis haru atas perjuangan ibuku, menangis haru karena pengorbanannya sampai seperti ini.

***

            Satu minggu setelah pemakaman ibuku, aku tetap tinggal di rumah pakdhe. Di minggu itu pula, aku mendapat tawaran meneruskan belajar ke SMA, tawaran dari Pak Ridwan. Pak Ridwan memintaku kembali ke Dampit karena perusahaan rokok tempat beliau bekerja mau membiayaiku sekolah. Setelah tawaran itu datang, akhirnya aku berpamitan dengan pakdhe dan berziarah ke makam ibuku terlebih dahulu untuk berpamitan juga.
            Aku berangkat kembali ke Dampit, dan aku kembali bersekolah di tingkat SMA. tidak hanya itu, aku juga ditawari kuliah oleh pabrik rokok tersebut. Mereka melakukan itu supaya jika aku lulus nanti, aku bisa bekerja di pabrik tersebut. Aku memutuskan untuk mengejar mimpiku kembali, mengejar mimpi ibuku juga. Kita bersama-sama menikmati mimpi itu. Aku yakin bahwa di langit, ibu sedang melihatku, rindu padaku, sama halnya rinduku pada ibuku. Aku yakin aku tak pernah sendiri. Karena ibuku akan selalu berdiri, di sebelahku.

            Setelah lulus SMA, aku mendaftar sebagai polisi. Sekali gagal dalam seleksi, kemudian tahun berikutnya mencoba lagi dan berhasil. Sekarang aku sudah menggenggam mimpi kita bu. Aku sudah gagah seperti yang ibu inginkan. Tapi aku sudah tidak bisa melindungi ibu seperti apa yang aku omongkan ketika TK dulu. Anakmu ini sudah mempunyai istri juga bu. Dan kami berdua sekarang tinggal di rumah tua milik kita bu, aku membelinya lagi. Aku merenovasinya. Sehingga terlihat tak setua kenyataannya. Ibu, malam tadi aku memimpikan Ibu. Apakah ibu tadi malam mengunjungiku dan mencium keningku seperti ketika aku kecil dulu? Ibu, aku membangun lagi warung rujak di depan rumah. Istriku yang mengolahnya bu. Ibu pasti senang bukan? Ibu, aku terharu atas pengorbananmu hingga merelakan nyawamu, Ibu, aku terharu karena aku senang akhirnya aku bisa meraih mimpi kita. Ibu, aku kumpulkan rasa haru ini, aku ambil rasa haru ini dari serpihan kehidupanku yang terurai di tanah. Ibu, ini sekarung rasa haruku untukmu Ibu. Terimakasih sudah mau menjadi ibuku.

0 komentar: