“Para manusia-manusia itu disandera ambisi dan diperbudak harapan yang berapi-api. Dalam diam mereka sembunyi, dalam ramai mereka sok suci. Bisakah kita biasa-biasa saja?”
Aku sedang berjalan dalam jalanan yang tergenang, terhalang oleh suara gemuruh dari arah belakang. Aku diam. Dan ternyata suara petani mengendarai mobil desel nya. Setiap hari, aku melihat pemandangan yang bagi orang yang jarang melihatnya, bisa dikatakan indah. Bagiku, biasa-biasa saja. hamparan sawah yang luas dan dihimpit bukit-bukit yang seolah memanjakan mata sang pemilik mata. Setiap hari aku merasakan aroma sejuk pedesaan yang mungkin menjadi aroma langka untuk warga kota. Setiap hari aku melihat senyum-senyum tetangga ketika bercanda, berkumpul, menemani anaknya yang masih bocah saat bermain, saling bercerita dengan tetangga yang lain. Bagiku itu lumrah, namun bagi orang kota mungkin saja mereka berkata, “kok bisa, ya!”.
Halaman rumahku cukup luas, ada dua pohon kersen di depan, setiap hari bocah-bocah desa di kampung bermain sepakbola di pelataran rumah, memanjat pohon kersen, laki-laki dan perempuan tak ada beda. Memanjat hingga ranting tertinggi. Semuanya. Apakah ini yang dikatakan kesetaraan gender dan diriuhkan oleh orang sana? Kenyataannya, sudah hidup di kampungku. Sedari bocah.
Kemarin aku melihat bocah perempuan umur lima tahunan, tetangga depan rumahku, memanjat pohon kersen dengan sangat lihai. Orangtuanya tak khawatir. Dan bocah itu memang berhasil. Apakah ini yang terus diperbincangkan dengan bahasa orang sana dengan sebutan, ‘kegigihan dan keberanian’? bagiku yang orang desa, ini hanya mainan bocah.
Beberapa waktu yang lalu, tetangga samping rumahku meninggal. Karena sebagian besar dari kami adalah dari kelompok organisasi Islam Nahdhatul Ulama, maka kami melakukan Tahlil-an. Semua berkumpul, mendoakan. Tanpa ada yang menyalahkan, menyesatkan, dan melarang. Apakah ini yang sedang dibuat ramai nasional oleh orang-orang modern yang beragama dan apakah ini yang disebut persatuan dalam beragama yang saat ini sedang digandrungi pemain politik untuk berebut label Ulama. Ah, di desaku kami melakukan persatuan dan guyub rukun tanpa embel-embel kata-kata persatuan. Kami sudah khatam menelan perbuatan tanpa berkata dan bersuara.
Tapi, mungkin aku dan warga desa disini perlu belajar satu hal dari orang sana. Tentang apa yang disimbolkan dengan globalisasi dan modernitas. Sosial media. Kami perlu belajar tentang, bagaimana menjadi acuh dengan sekitar, bagaimana menjadi sangat peduli di media sosial dan sepi di lingkungan, bagaimana menjadi pintar berujar padahal dia adalah sosok pendiam, dan bagaimana mereka tahan dengan kepalsuan sedang dunia nyata masih menjanjikan untuk dikenang.
Jujur, kami juga ingin disebut modern, dan ingin belajar menjadi modern seperti orang sana. Namun, aku pikir harga untuk menjadi modern adalah dengan meninggalkan ke-tradisional-an. Sedang yang orang sana pikir mengenai tradisional selalu ketinggalan jaman.
Sebentar, aku masih belum paham tentang ini. Tolong ajarkan aku dan jelaskan aku makna hidup kalian dalam dunia global dan kepura-puraan yang menjanjikan itu.
0 komentar: