Pernah kamu merasa dikejar-kejar waktu yang jika kamu sampai dilewatinya, maka hancurlah sudah. Aku pernah, atau mungkin bisa dikata, saat...

Undangan Lamaran!!!

Pernah kamu merasa dikejar-kejar waktu yang jika kamu sampai dilewatinya, maka hancurlah sudah. Aku pernah, atau mungkin bisa dikata, saat ini, hal itu sedang terjadi padaku. Rasa-rasanya aku harus berkompromi dengannya, menceritakan semua kendala agar ia tak lagi berlari menghampiriku. Tapi, mungkin saja ia tak mau, dan memilih untuk berlari lebih kencang dari sekarang. 

Usahaku belum berhenti, aku harus meyakinkan diriku sendiri, karena berkompromi dengannya adalah hal yang sia-sia. Sifatnya yang abstrak tak sesuai dengan sandangannya sebagai ‘kata benda’. Bagaimana Tuhan menciptakan waktu, dan apakah waktu itu. Aku tak bisa melihatnya, mengenggamnya, meraihnya, memuklnya, dan menghujatnya. Jika aku marahpun akan sia-sia, karena aku tak bisa menghajarnya. Waktu itu aneh, ia ada dan menyelinap dalam wujud benda penanda yang lain, Jam. Apakah waktu adalah jam atau arloji yang kita kenakan? Jika iya, apakah di luar bumi tidak ada waktu? Lagi, jika waktu adalah deretan angka hitung satu sampai enam puluh dan satuan besar sampai dua belas, bagaimana kita mengukur waktu jika berada diluar bumi. 

Jangan-jangan waktu bukanlah sebuah benda, ia adalah dimensi yang tidak bisa diukur. Dan penanda waktu di arloji hanyalah semu, ia hanya eksis untuk jangka waktu tertentu. Diluar itu, waktu masih misteri dengan segudang pertanyaan yang terus menari-nari. 

Waktu adalah dimensi, yang untuk kembali mundur, kita tak menyanggupi. Untuk ke masa depan, justru kita menunggu ia membawa kita. Dan untuk hidup sekarang pun kita masih bertanya-tanya. Kapan yang dimaksud sekarang? Apakah tahun ini, bulan ini, minggu ini, hari ini, jam ini,menit ini, detik ini, dan kapan detik ini itu? Hahaha , aduh pikirku kalut dengan bahasan yang aku anggap selalu luput. 

Waktu adalah dimensi, dan dimensi selalu berhubungan dengan ruang. Jika bisa aku persepsikan dalam bahasa gambling, dimensi adalah soal ruang dan waktu. Ruang, masih bisa kita lihat dan jangkau, walau pada presisi lebih besar, ia adalah tak mungkin digapai walau dengan teknologi tercnggih manusia abad ini. Namun, waktu, selamanya misteri.

Lebih dulu mana, Tuhan menciptakan ruang atau waktu. Diskusi hebat mungkin akan tercuat pada topik yang abstrak ini. Lembaran demi lembaran analisa dari berbagai teori. Professor-prefesor fisika, matematika, dan ilmu eksak lainnya mungkin menjelaskan dengan sangat mahir dan terkesan menjadi penyihir yang menciptakan ruang dan waktu itu sendiri. Ah, aku jadi mengingat konsep Islam yang menasehati kita agar tidak berlebih-lebihan dalam segala urusan. Menganalisa ruang dan waktu tidak perlu butuh teori yang berlebih, aku tidak mau berlebihan seperti itu. Analisaku sederhana untuk pertanyaan, “Tuhan menciptakan yang mana dulu antara ruang dan waktu?”, maka aku jawab dengan analisa bahasa yang sederhana, “Loh, kamu ini bagaimana, kamu bertanya ‘duluan mana’ itu sudah merujuk ke waktu.”

Aku tidak berlebih-lebihan. 

“Loh, tidak berlebih-lebihan ini kan harus digambarkan, bagaimana batasannya. Apa yang dimaksud berlebihan dan lain sebagainya.” 

“Ah, kamu. Memahami tidak berlebih-lebihan saja kamu sudah berlebihan.”

Waktu adalah dimensi. Seperti aku menemukanmu pada waktu itu. Aku tak tahu, aku hanya mengikuti waktu, hingga ternyata ada kamu di batas waktu tempatku berlabuh. Dan aku tahu itu, waktu rupanya sedang membersamaiku. Oke. Skip.

Aku ingin sedikit bercerita tentang sebuah fenomena waktu, yang mungkin kalian juga pernah mempunyai pengalaman sepertiku. Dejavu. Pernah? Bisa kamu mengenali waktu kejadian yang seakan sama dengan realita itu? Kalau aku, lebih memaknai dejavu sebagai benturan dimensi ruang dan waktu. Dejavu, membuat kesadaran ruang dan waktu tertentu seakan menjadi sama dengan masa lalu yang entah itu kapan. Ruang dan waktu berbenturan pada dimensinya. Sehingga menciptakan titik temu dengan kesadaran yang tak utuh. Pernah melihat film lebih dari satu kali? Dan ketika melihat film yang sama untuk kedua kalinya, pernah merasakan “loh aku sepertinya sudah pernah melihat ini deh”. Tidak pernah kan? Karena diri kita masih dalam kesadaran. Sedang ruang dan waktu tak bertabrakan. 

Jadi, inti dari tulisanku ini bukanlah tentang undangan lamaran. Melainkan ke-absurd-an, yang aku kemas sok bijaksana dan teoritis. Atau mungkin mengabaikan teori itu sendiri. 

Tapi, ngomong-ngomong soal lamaran dan waktu. Aku jadi teringat dengan kisah hancurnya kerajaan Majapahit. (Apa hubungannya, Rudi!!) (Ya, sebentar, Bakri, aku jelaskan!!)

Banyak yang berkata bahwa Majapahit jatuh akibat Islam yang semakin berkembang dan akhirnya menjatuhkan kerajaan termegah sedunia itu. Mungkin itu adalah penggalan kisah yang tak lengkap dan kurang runtut adanya. Semakin kesini, ternyata ada missing-time yang coba dibenturkan oleh pihak-pihak yang berpihak. Aku menyadari, bahwa jatuhnya Majapahit adalah karena Girindrawardhana yang berkuasa semena-mena, juga, ia bukan dari keturutan tahta asli Brawijaya. Pertikaian itu akhirnya membuat pewaris aslinya melipir ke Demak, Raden Patah. 

Singkat cerita, Majapahit hendak menyerang Sunan Kudus yang saat itu dianggap turut membantu berkembangnya kerajaan Demak. Membawa pasukan terbaik dan banyak, Majapahit menghampiri Sunan Kudus yang seorang diri. Tidak bisa dibilang sakti, andaikata Sunan Kudus lari. Dengan modal Lillahi, beliau menghadapi dengan gigih. Lalu apa yang terjadi? Menyanggah semua bantahan bahwa Sunan Kudus adalah pemberontak, beliau menanggapi tanpa perlu meninggikan suara. Intinya seperti ini, “Loh jika kalian memang benar-benar setia pada Majapahit, kenapa membela Raja yang bukan dari keturunan Brawijaya. Sedangkan Raden Patah yang sudah jelas setia pada raja dan keturunan asli sang raja malah tidak kau bela.”

Ucapan itu, membuat hati prajurit menjerit, meminta bisik kepada sanubari, mana yang harus dibela. Akhirnya prajurit itu bertengkar dengan sendirinya, antara satu dan lainnya. 

Jadi apa kaitannya dengan bahasan waktu dan lamaran? Soal sejarah, jika saat ini kamu belum bisa melamar masa lalu untuk bertemu pada satu titik, tak mungkin bahasan ini menjadi menarik. Apakah konteks masa silam kita pahami dengan masa millennial? Tentu tak akan bisa dipadukan artinya. Makanya, setiap saat, dalam hidupmu, lamar lah waktu itu, agar berkompromi dan memahami masa silam dengan pemikiran masa silam, masa depan dengan kemungkinan berpikir mengikuti jaman, sedang sekarang lebih baik berpikir aman. Dengan, tidak berlebihan. 

Di paragraph terakhir ini, aku ingin berpesan, bahwa tidak semuanya melekat pada satuan waktu. Ada titik temu yang bebas dari ikatan waktu, bahkan tak menganggap ruang juga ada. ia terlepas dari dimensi ruang dan waktu. Karena, ia bisa menciptakan dimensi baru diluar itu. Apa? Jatuh hati sedalam-dalamnya hatimu bisa menanggungnya. Kau terlepas dari batasan. Pandanganmu kedepan, tapi waktu tak dapat mengejar. Hidupmu seakan diam memandang, tapi waktu terus berjalan. Sembilan kata lagi dan tulisan ini akan ku berhentikan.

0 komentar: