Si Dullah ini yakin bahwa tidak ada orang yang
bisa mengukur ke tidak warasannya kecuali dirinya sendiri. Bagaimana orang bisa
paham dengan si Dullah kalau oranglain itu hanya bisa mengoreksi oranglain dan
bukan dirinya sendiri. Toh pada hakikatnya Si Dullah ini tidak ada, si Dullah
bukan si Dullah. Memang Dullah ini sedikit sableng kalau disuruh bicara
mengenai konsep Tuhan dan Nusantara. Gak usah pakai dalil-dalil agama, gak usah
pakai pasal-pasal, dia berusaha berpikir bebas, berpikir liberal. Ya namanya
juga belajar, berpikir bagaimanapun kan boleh, malah itu bagus biar cara
berpikir kita itu lebih komprehensif. Gak Cuma sebatas air di dalam cangkir
kopi kecil. Mikir itu ya sampai dasar lautan dan samuderanya, luas dan gak
dangkal.
Si
Dullah ini radak mlengse otaknya, dituduh kafir ya gakpapa, dituduh liberal ya
boleh, dituduh kejawen ya biasa saja. ‘Lah kan itu hanya tuduhan’ si Dullah
mesti komentar seperti itu.
Seperti
halnya kemarin, dia dituduh kafir ya gakpapa. Si Dullah malah berpikir, bagaimana
bisa oranglain menilai dirinya sebagai seorang kafir. Kok baru tahu gitu lo.
Lah kalau Dullah gak kafir ya gak mungkin dia ada di dunia ini, mestinya ya
sudah di surga. Hakikat hidup di dunia ini kan untuk mencari kebenaran yang
hakiki, kalau sudah menemukan kebenaran tersebut ya pastinya sudah berhasil.
Nyatanya Dullah masih di dunia, ya berarti kan masih belum menemukan kebenaran
yang pas. Makanya dia sibuk mencari. Toh orang-orang ini ya ngawur, masak mudah
sekali menghakimi oranglain dengan cap kafir, kan itu porsinya Tuhan. Bagaimana
mungkin oranglain tahu tingkat kekafiran Dullah, padahal kafir itu letaknya di
dalam hati, gak mungkin bisa orang membaca apa yang ada di hati setiap insan
manusia. Lebih ngawurnya lagi, penghakiman mengenai kekafiran hanya dimiliki
oleh Allah, itu merupakan hak priogatifnya Allah, kok diambil oleh manusia.
Berani-beraninya ngambil jatahnya Tuhan. Astaghfirullah......
Si
Dullah mah biasa saja kalau dituduh kafir, lah wong memang dia kafir, hidup di
dunia ini kan kita penuh dengan kehati-hatian akan menuju kafir. Siapa tahu
besok setelah beriman, kita menjadi kafir. Contohnya saja, pasti kita semua
paham dengan bahasan rasa syukur, kalau kita bersyukur maka kita ditambah
nikmatnya, kalau gak bersyukur namanya kufur. Kufur adzabnya pedih. Lah berapa
banyak kita bersyukur dan berapa banyak kita kufur, lebih banyakan kufur kan
pasti? Lah itu buktinya, wong kita hidup itu ya banyak kafirnya mungkin. Ngaku
saja lah, si Dullah juga seperti itu kok. Makanya dia mencoba memandang manusia
bukan karena perbedaan, tapi karena manusia itu ciptaan Allah yang indah.
Kenapa harus dihina, bersyukur lah melihat ciptaan-Nya.
Maksud
dari semua ini hanya satu, ayo gak perlu meenghakimi kekafiran orang lain.
Mengingatkan dan menasehati itu lebih bagus daripada menuduh dan memberi label
kafir. Malah membuat yang dituduh marah. Katanya agama Rahmatan Lil Alamin,
masak gak welcome sama yang berbeda dengan dirinya. Jangan belajar dari Ustad
Google dan Ustad Facebook saja. Gak nyampai kalau belajar ilmu agama tanpa
pembimbing. Gak bakal nyampai mas, mbak. Wes toh mandek wae ngafir-ngafirne,
Islam itu bukan kata benda, tapi kata sifat. Jadi tunjukkan sifat Islammu,
bukan sikap anarki yang dimiliki iblis dan para pengikutnya.
0 komentar: