Rewritten by:
Debbi Candra Dianto
Allah
memberi peluang bagi tiga kemungkinan atau tiga level kemusliman. Terserah
kepada manusia mau memilih yang mana. Ada - kalau saya memakai term aktual-
“Muslim Birokratis”, ada “Muslim Kapitalis”, dan ada “Muslim”.
Yang pertama, dalam khazanah
tasawuf, disebut “Muslim Rahbani”: manusia yang melakukan peribadahan karena
peraturan dan rasa takut. Disebut “Birokratis” karena motivasi ibadahnya mirip
dengan psikologi pegawai yang berorientasi kepada presensi.
Yang kedua disebut “Muslim
Hayawani”. Diasosiasikan kepada kapitalisme karena ibadah diposisikan sebagai
“kapital”. Dia melakukan shalat, puasa, memberi zakat dan seterusnya, agar
memperoleh laba yang bernama pahala. Muslim jenis ini adalah pedagang yang
bernegosiasi kapitalistik dengan Allah.
Terminologi yang dipakai adalah
untung-rugi. Surga adalah keuntungan, neraka adalah kerugian. Tidak beribadah,
tidak menjalankan perintah Allah, dan melanggar larangan-larangan-Nya berarti
merintis kebangkrutan. Jadi, seluruh perilaku keagamaan dilaksanakannya
menyangkut kepentingan untuk tidak mengalami “defisit akhirat”.
Pada level syariat formal, dua
tingkat kemusliman ini masih diterima Allah. Mengucapkan syahadat sudah membuat
seseorang berstatus Muslim, meskipun dalam praktik hidupnya belum tentu dia
menomorsatukan Allah. Asal melakukan shalat lima waktu, seseorang sudah bisa
disebut muthi’ atau loyal kepada
norma Islam, meskipun belum tentu ada interaksi fungsional antara shalat
resminya dan sepak terjang kehidupan konkretnya.
Betapa sayangnya Allah kepada
manusia, makhluk yang dibuat-Nya tertinggi dan termulia.
Tetapi iming-iming “transparan” yang
sering dilupakan atau diabaikan muslimin, oleh fatwa-fatwa ulama, oleh
pelajaran mengaji, serta oleh kurikulum persekolahan Islam, baik di pesantren
atau di Madrasah Islam Modern, ialah perjumpaan dengan Allah.
Liqa’ Rabb.
Perjumpaan agung dan indah dengan Si Maha Penyantun yang menggembalakan semua
gejala hidup manusia. Inilah jenis Muslim ketiga, “Muslim Rabbani”.
Penyair
Rabiah Al-Adawiyah menangis “kalau ibadahku ini aku lakukan untuk mengharap
surga-Mu, ya Rabbi, campakkanlah aku dalam api ganas-Mu. Kalau ibadahku ini aku
lakukan karena takut kepada neraka-Mu, ya rabbi, tutuplah pintu surga bagiku….”
Rabiah
menginginkan Allah. Hanya Allah. Bukan rindu laba. Dia tidak diperbudak oleh
kengerian, terhadap ketidakkuasaan, terhadap kejatuhan ke kerak neraka, apalagi
sekedar kejatuhan dari kursi jabatan di dunia.
Note: Tulisan ini
saya ambil dari salah satu karya Emha Ainun nadjib (Cak Nun) yang berjudul
“Puasa, Arak, dan Kekuasaan” diterbitkan oleh Suara Merdeka, 13 Maret 1991.
0 komentar: