(Dimulai Dari Prolog)
“Dimana ya letak inti dari pendidikan, apakah gelar atau pemahaman. Atau jabatan kedepan, jangan-jangan pendidikan hanyalah ilusi dari kenaifan dan ke-arogansi-an sistem kapital dalam bayang semu ajaran.”
Hai, sahabat Go Blog (bukan goblok ya).
Masih dalam euphoria pendidikan nasional, iseng-iseng berpikir liberal tentang pendidikan di Indonesia. Bukan tentang sistemnya, atau mengkritik pemerintah, atau perihal pendidikan formal yang ada. Kali ini saya serius gak bercanda, SERIUS.
Jika membahas mengenai pendidikan, apa sih yang pertama kali muncul di pikiran kita? Coba saya list dulu kemungkinan-kemungkinannya:
MahalKurang diperhatikan
Setiap tahun sistem ganti
Corat-coret kelulusan
Pacaran
Uang jajan
Balap liar
Jualan Teh Sis*ri gula Batu
(Woi fokus woi)
Oke, maaf kurang fokus. Dari kelas Dua SMP saya gak pernah minum Aq*ua jadi kurang fokus.
Oke, lanjut. Mungkin beberapa idiom diatas sudah mewakili perihal pendidikan. Namun seperti kesepakatan yang sudah kita buat, kita tidak membahas pendidikan formal. Idiom diatas sayangnya merepresentasikan pendidikan formal. Jadi kita skip saja.
(Buat apa tadi saya nulis kalau akhirnya gak digunakan, geblek)
Anda boleh setuju atau tidak setuju, Pendidikan menurut saya adalah suatu rangkaian manifestasi pengetahuan yang diajarkan seorang Mursyid kepada Murid. Dengan kata lain, ada dua subjek dalam pendidikan, pemberi informasi dan penerima informasi. Kita coba perluas jangkauan pendidikan kepada subjek utama rangkaian tersebut.
Koloni semut selalu mempunyai Ratu, ia tak pernah mencari makan sendiri, ia duduk di singgahsana kebesaran-Nya. Semut yang lain lah yang mencarikan ia makan, melindungi kerajaan dan ratunya jika ada serangan dan ancaman. Perhatikan juga bahwa semut mampu mengangkat beban berkali-kali lipat dari berat tubuhnya. Bagaimana jika kita membahas pendidikan dengan menggunakan analogi semut. Jika anda gak setuju, yaudah, ngeblog aja sendiri. Kata Gus Dur, “Gitu Aja Kok Repot.”
Subjek terpenting dalam pendidikan adalah Mursyid, ia adalah sumber semua energi ilmu bagi Murid. Jika kita menelusuri filosofi pendidikan masa lampau, khususnya di Jawa saat sekolah formal belum ada, maka peran Mursyid ini bak oase di tengah hamparan pasir nan terik. Mursyid seperti ratu dalam koloni semut, jika ingin menuntut ilmu, bukan Mursyid yang memberi pengumuman bahwa dia adalah Mursyid. Namun masyarakat yang mendatanginya langsung karena ada verifikasi secara natural oleh masyarakat. Sehingga dalam langkah awal saja sistem kepercayaan terhadap seseorang sudah ditanamkan dalam kemasyarakatan.
Contoh:
Jaman dahulu, jika ingin belajar ngaji, belajar ilmu silat, belajar agama, belajar bertani, dan belajar apapun, masyarakat akan memberikan referensi berguru ke orang yang dianggapnya mumpuni.
“Oh, kalau ingin belajar ngaji ke Pak X saja”
“Oh kalau ingin belajar ilmu kanuragan ke Kiai X saja.”
Ada verifikasi natural dalam masyarakat, sehingga Sang Mursyid tak perlu membuat spanduk untuk belajar di tempatnya. (itu jaman dahulu)
Mursyid menjadi ratu yang selalu menjadi arus dan sumber utama bagi muridnya. Sehingga ketika ada ancaman yang mengancam sang Mursyid, murid akan melindunginya. Ini bertujuan untuk mencari keridhoan Sang pencipta, ke-Tawadhu’-an, dan menghormati sang Mursyid sebagai generator pengetahuan.
Saat ini, jika saya bertanya apakah masih ada rasa percaya, tawadhu’, dan hormat kepada Guru?
Pasti masih ada, namun pasti juga ada degradasinya. Rasa hormat juga tak sekental dahulu. Dicubit aja langsung lapor polisi dengan dalil HAM. Jika seperti itu, apakah sang guru menjadi Ridho kepada muridnya? Jika semisal tidak ridho, apakah ilmunya bermanfaat? Jika missal tidak bermanfaat, apa dampak kepada masa depannya dan masa depan negaranya?
Ya, paling tawuran, mabuk, narkoba, dll. Tidak, saya tidak mengatakan pendidikan Indonesia seperti itu, namun harus ada kemungkinan-kemungkinan jika terjadi.
Dalam simbolis Ki hajar dewantara, ada idiom “Tut Wuri Handayani”. Dan dalam tatanannya, idiom tersebut diletakkan paling akhir,setelah dua idiom lainnya. Apa maksud Ki Hajar Dewantara tersebut perlu kita analisis. Moto dunia pendidikan itu mencapai puncaknya dan menerima keberhasilan jika “Tut Wuri Handayani”. Pendidikan berhasil jika dalam proses dan manifesto nya, sang pemilik ilmu tidak meng-aku-kan dirinya, atau bisa disebut tidak memiliki sifat Ananiyah. Sehingga perannya adalah menjadi manusia yang baris di barisan paling belakang untuk memberi sokongan kepada yang lain. Semua orang tahu, ia mampu di depan, namun ia menolaknya karena takut sifat ananiyah semakin tebal. Oleh sebab itu, ia lebih memilih menjadi hampa, menjadi pendorong namun tak mengurangi tugasnya sebagai sang Maestro Pendidikan. Walaupun tak pernah berada di depan, namun semua orang tahu bahwa dirinya mampu dan mendapat kepercayaan, bahkan menjadi panutan.
Itulah yang dimiliki para Mursyid jaman dahulu. Dan itu pula yang dilakukan Guru, Mursyid saya hingga saat ini. Ada tawaran menjadi menteri, tak mau. Tawaran bertemu dengan Presiden, tak mau. Tawaran cek senilai 3 Miliar, beliau robek di depan orang yang memberinya. Kalian tahu siapa beliau…….
0 komentar: