Untuk Apa Hidup!  Kali ini, saya mencoba mengikuti arus konsistensi menulis yang diciptakan oleh iklim grup menulis saya. Baru ber...

'Masalah Bijak'





Untuk Apa Hidup! 


Kali ini, saya mencoba mengikuti arus konsistensi menulis yang diciptakan oleh iklim grup menulis saya. Baru bergabung di grup menulis, langsung disuguhi dengan tema Life Solution. Mau tidak mau, karena saya harus mengikuti hukum adat yang berlaku. Tapi, pasti ada yang mengganjal, kok tiba-tiba berbicara tentang solusi hidup. Jika diruntut dalam skema drama, solusi termasuk bagian akhir sebuah jalan cerita setelah adanya klimaks. Tidak mungkin saya langsung membahas tentang solusi jika tidak ada permasalahan, dan tidak mungkin saya punya masalah jika tidak punya tujuan. Sama halnya saya tidak mungkin untuk menikah jika tidak ada pasangan. (fokus bro)

Akhir-akhir ini, saya menyelesaikan membaca buku Peter Levine Nietzsche. Seorang filsuf besar, dan juga seorang yang bergerak di humanistik. Jangan bertanya dulu tentang hubungannya Pakdhe Nietzsche dengan masalah dan solusi hidup, saya akan jelaskan. 

Sebenarnya, untuk mencari solusi perlu mengkonstruksi variabel-variabel dari masalah tersebut. Nah, sadar kah kita, untuk mencari solusi awal saja kita sudah menciptakan masalah baru, yaitu kemampuan mencari variabel permasalahan. Lalu apa hubungannya dengan Pakdhe Nietzsche? (iya bentar, masih mikir ini).

Sebelum membahas Pakdhe Nietzsche, saya akan sedikit menjelaskan tentang tujuan hidup dan masalah yang tercipta.

Sama halnya manusia kebanyakan, cita-cita pasti tinggi setinggi langit. Namun tak bisa dipungkiri bahwasannya kita hidup pada determinasi individu maupun determinasi golongan. Sehingga terkadang cita-cita menjadi bukan syarat pemuasan individu, melainkan syarat kepeduliaan dan tujuan kolektif. Waktu berlalu, pertumbuhan pola pikir dan benturan realita kadang mengkikis tujuan kita untuk menciptakan tujuan yang baru. Semisal, semasa TK, tujuan saya menjadi Polisi. Sampai SD masih ingin menjadi Polisi. SMP sudah berubah ingin jadi anak Band. SMA gak jelas mau jadi apa. Sampai sekarang saya sadar bahwasannya tujuan ini yang membuat kita terus berproses. Semakin dinamis tujuan, semakin gencar keberanian kita dan bakat kita untuk mencapainya. Bayangkan jika tidak punya tujuan, proses apa yang kita jalani. Kita akan tetap termenung dalam bilik kosong penuh kerancuan pikiran. 

(Sekarang tujuan saya apa?) Iya bentar, saya masih milih kata-kata yang bisa disombongkan biar kelihatan ‘wow’.

Karena tujuan ini selalu dinamis, maka saya mencoba mengubah rotasi berpikir menjadi skala yang universal untuk pemenuhan tujuan saya. Untuk profesi, saya tak punya tujuan. Saya hanya punya keinginan. Untuk skala universal, tujuan saya sangat klise dan mungkin remeh, saya ingin menjadi seperti pohon kelapa yang setiap bagian dan konstituennya bisa dimanfaatkan. Batang bisa digunakan, daun bisa digunakan, kulit kelapa bisa digunakan, serabutnya bisa digunakan, air kelapa bisa digunakan, dagingnya bisa digunakan, air perasan dagingnya masih bisa digunakan. Nah, sudah jelas kan tujuan saya. 


Bagaimana Hidup!! 

Setelah mengetahui tujuan, sekarang pasti muncul kemungkinan penghambat atau bisa disebut Mas Shaleh, eh maaf, masalah maksud saya.

Memang sih tujuan saya terlalu universal sehingga masalah yang tercipta juga universal. Hakikat dari sebuah masalah adalah ada benturan terhadap sesuatu yang ingin kita capai dengan kontradiktif realita. Untuk masalah pada tingkatan tertentu memliki jangka waktu tertentu juga. Ketika berbicara tentang masalah dalam mencapai suatu tujuan, pasti jangka waktunya adalah hingga tujuan itu tercapai. Nah, itulah sebabnya tujuan harus yang infinity, kalau kata Buzz di Toy Story ‘Menuju Tak Terbatas dan Melampauinya’. Kalau tujuan bersifat statis, jika sudah mencapai tujuan itu. Terus untuk apa hidup ini, hayoo.

(Lalu apa hubungannya dengan Nietzsche?) Iya bentar, sabar dong.

Masalah yang saya hadapi disini bersifat absurd ya karena tujuannya terlalu universal sehingga tidak bisa dijelaskan. Namun saya akan mencoba menggambarkan rumusan masalah (buset, kayak skripsi aja). Masalah itu bisa dirumuskan. Sebelum merumuskannya, seperti sepakbola, harus ada lapangan bertandingnya yang membatasi pemainnya untuk tidak keluar dari tempat itu, alangkah baiknya kita mengenal sifat-sifat masalah. 

Kita beri nama ‘solusi’ sebagai tempat bertanding antara ‘Masalah’ melawan ‘Tujuan’. Pertandingan ini akan saya atur ‘Tujuan’ sebagai pemenang, loh kok bisa seperti itu? Iya dong, karena tempat bertandingnya juga menguntungkan bagi ‘Tujuan’. Seperti apa tempat bertanding yang membatasi gerak pertandingannya?

Oke kita sedikit lebih aritmatika ya, kita sebut ‘Masalah’ sebagai X, ‘Tujuan’ sebagai Y, dan lapangan bertanding sebagai ‘Q’. Q ini terkonstruksi dengan adanya pattern yang diberikan oleh Tuhan dan juga oleh rumusan Nietzsche. Nah itu lo, akhirnya Pakdhe Nietzsche kepakai juga. 

Pasti sering mendengar bahwasannya Tuhan tak memberikan masalah melebihi kemampuan hambanya. Siiip. Satu variabel sudah terkumpul. Dan dalam buku Pakdhe Nietzsche menjelaskan, ini ada kaitannya dengan sejarah ya. Pakdhe Nietzsche berujar yang intinya, kita ini mempunyai lingkungan yang sama dari sejarah kita, manusia dengan karakter yang sama dengan sejarah kita, sistem yang sama dengan sejarah kita, presiden yang hamper sama dari sejarah kita, masalah yang sama juga dari sejarah kita, untuk menemukan solusi, kita harus berkaca pada masa lalu. Hakikat dari sebuah masalah adalah siklus, yang kita hadapi saat ini sudah pernah kita alami. Terus berputar hingga kita lulus. 

Jreeeng, variabel kedua sudah ada. Jadi, Q bisa diperoleh dari Iman dan Sejarah. Kalau dalam budaya Jawa, manusia harus mengerti Sangkan lan Paran, manusia harus mengerti tujuan dan asalnya. Oleh sebab itu tujuan dan histori menimbulkan masalah yang sebenarnya solusinya juga menguntungkan tujuan daripada masalah itu sendiri. 

Mengutip Surah Al-Insyirah. Disana, ada terjemahan ‘Sesungguhnya di dalam Al-usri bersamanya ada Yusro’ . Dalam sisi nahwu sorof (asem, guaya ngomong Nahwu Sorof), Al-usri disini punya arti kesusahan atau masalah, dan ada Alif Lam dikata Usri, berarti masalah atau kesusahan itu sudah jelas nampak. Namun, Yusro tidak ditulis Al-yusro, maksudnya, solusi dari masalah yang nampak itu belum jelas, harus kita cari sendiri. Bagaimana cara mencarinya, ya kita harus bersahabat dengan masalah. 

Terimakasih kepada Pakdhe Nietzsche yang sudah menemani saya selama menulis dan terimakasih kepada istri saya, eh bentar, gak punya. Yasudah, begitu saja.

Selamat membaca….

0 komentar: