Suatu ketika, Sarmin bertanya kepada ayam yang
setiap pagi selalu berkokok di samping rumahnya.
“Hai ayam, kamu menikmati kegiatan
sehari-harimu?”
Sarmin
juga pernah bertanya kepada pohon kersem yang
berdiri kokoh di depan rumah.
“Wahai pohon, kamu senang setiap hari tubuhmu
dipanjati anak-anak kecil?”
Tapi
Sarmin tak pernah bertanya kepada dirinya sendiri tentang apakah Sarmin
menikmati hidupnya atau tidak. Hingga suatu hari, ada momentum yang harus
membuatnya merenung lama, kali ini ia tak bisa diganggu, bahkan oleh tawaran ngopi sekalipun.
Sarmin ini seorang yang tanpa
rencana matang, ia bergerak karena ia mau bergerak. Dia bermain bukan untuk
menang, melainkan untuk mengikuti permainan. Menang-kalah baginya hanyalah
standar dasar dalam hidup.
Di suatu sore, Sarmin mendengar
perkataan seorang motivator tersohor dari sebuah televisi buntut mengenai
hidup. Ia mencoba memahami kata demi kata yang diucapkannya, hingga
konsentrasinya terpecah ketika sang motivator berkata, “anda harus bisa menikmati hidup anda…”. Seluruh fokus dan
perhatiannya mencoba memaknai kata-kata itu. Menghayati lebih dalam, hingga
Sarmin akhirnya jenuh dan mematikan saja televisinya.
Pada malam hari, ia merenung di
kamar, ditemani oleh secangkir kopi dan beberapa tumpuk buku yang belum juga ia
tuntaskan membacanya. Malam itu, masih, ia memikirkan kata-kata sang motivator.
Padahal, secara praktikal, ia sudah bisa dikatakan orang yang menikmati hidup.
Namun, ia ingin pergi kembali ke permukaan definisi teoritis mengenai ‘Menikmati Hidup’. Ia runtut segala
aktifitasnya dengan frame yang agak
berbeda.
“saya ini, laptop hilang, masih bisa
menikmati hidup. Diputusin pacar, masih bisa menikmatinya. Terkena musibah
apapun, masih enjoy. Dapat berita gembira apapun juga masih merasa nikmat. Lalu
apa definisi menikmati hidup, padahal setiap kejadian punya parameter berbeda
dan kenapa saya menikmati semuanya dengan segala parameter yang sudah
ditentukan oleh suatu kejadian tersebut ya.”
Pertanyaan demi pertanyaan ia daftar
dalam sebuah lembaran kertas. Diatas kertas putih A4 itu tertulis di tengah
“Menikmati Hidup”. Pikirannya kemana-mana. Hingga tak terasa secangkir kopi
yang ada di dekatnya sudah masuk ke tahap, tegukan terakhir. Tak kuat terlalu
lama duduk, akhirnya Sarmin mencoba merebahkan tubuhnya, kepala menghadap
keatas, memandangi lampu yang kiranya juga pasti sedang menikmati tugasnya.
Beberapa kali ia membatin satu kata, “hidup….hidup….”.
Sarmin tiba-tiba bangkit,
memposisikan tubuhnya untuk duduk, mengambil bulpen dan menuliskan beberapa kata yang bisa dikatakan kata yang
ditulis adalah macam-macam perasaan. Ia menulis dengan cepat kata-kata, ‘Senang, sedih, kecewa, sakit, marah,
gugup…..’.
Bibirnya mulai membentuk simpul
bahagia, akhirnya ia memahami makna menikmati hidup. Ia terus tersenyum karena
lega rasanya. Ia menulis beberapa kalimat di kertas yang sama, bagian bawah,
untuk menutup renungannya malam itu.
“Hai aku, tak usah munafik merubah
rasa sedih menjadi sok bahagia. Rasa marah menjadi sok baik-baik saja. Jujurlah
pada diriku sendiri. Menikmati hidup berarti bisa menikmati segala rasa, yang
enak ataupun tidak. Karena hidup bukan tentang bahagia saja. Hidup yang lengkap
adalah ketika aku sudah merasakan segala rasa. Dan yang terpenting, hari ini aku
masih menikmatinya.”
0 komentar: