Dalam suatu kesempatan, Dullah diundang untuk hadir dalam
diskusi pemuda yang diadakan di salah satu kampus swasta kotanya.
Malam itu, Dullah hanya duduk diam dan sangat jarang
menyampaikan argumennya. Pembahasan dan topik diskusi kali ini memang hal yang
tidak begitu diminati oleh Dullah. Politik.
Kencangnya arus politik yang saat ini sudah mulai menabrak
grassroot dalam masyarakat, menyebrang ke dunia akademisi dan generasi
milenial, menjadi kontestasi politik yang sangat hidup dan sangat sensitif jika
sampai terjadi beda sudut pandang.
Di tengah kritisnya diskusi malam itu, sang moderator membuka
wacana mengenai politik identitas.
“Kalau ada salah satu pasangan capres yang melakukan politik
identitas kembali, saya berani menjamin saya akan menentang beliau walau itu
dari capres yang akan saya pilih kedepannya.” Salah satu mahasiswa berkata
dengan penuh semangat.
Dullah yang kala itu hanya terdiam dan mengamati arah
bahasan, sesekali tersenyum. Dia memang agak geli jika ada yang begitu
bersemangat untuk memikirkan yang skalanya tingkat nasional bahkan global.
Bukan karena Dullah tidak peduli, namun karena ia belum mengetahui pribadi sang
pembicara.
“Dimana-mana, politik identitas itu jahat. Karena ia
memanfaatkan golongan dan identitasnya untuk menyatukan suara agar mendapat
dominasi pemilih dalam golongan atau identitasnya itu. Namun, kita tidak bisa
begitu sebjektif menilai bahwa hal tersebut memang merupakan hal negative yang
absolut.” Salah satu mahasiswi berhijab masuk ke diskusi.
“Begini mbak. Dampak politik identias adalah bahwa sang
pelaku bisa memanfaatkannya untuk mendulang suara dan massa, yang akhirnya akan
timbul di permukaan sebagai chaos. Missal membawa agama dalam perpolitikan,
hingga akhirnya terjadi demo berjidil-jilid seperti beberapa waktu yang lalu.
Itukan dampak primordial yang melegitimasi bahwa identitasnya adalah superior
dan kalau ada identitas yang sama tetapi tidak memilih pilihan mayoritas,
berarti ia bukan termasuk golongannya lagi.” Sanggah pemuda yang menentang
politik identitas.
“Sekarang mari kita telusuri sebentar mas. Yang mas jelaskan
tadi itu merupakan dampak negative dari politik identitas, tapi sayangnya mas
tidak melihat positifnya. Kalaupun begitu, demokrasi ini juga bisa saya rangkum
dengan argumentasi negative mas. Jadi harus objektif. Kembali ke penelusuran
politik identitas. Kita sebagai pemuda, jangan mau terjebak dengan ‘nama’. Apa
yang kita diskusikan ini sebenarnya sudah ada contohnya dari leluhur kita.
Sangat wajar jika orang atau golongan akan memilih dari golongannya juga.
Seperti dalam pemilihan dukun pandhita di suku tengger, yang bisa menjadi
pandhita adalah suku tengger juga. Atau, jaman dahulu, yang meneruskan titah
raja adalah dari anak raja juga. Itu kan merupakan identitas yang dibawa dalam
perpolitikan. Hanya saja, sekarang kita terlalu membesar-besarkan masalah.”
Ujar mahasiswi.
“Ya itu berbeda konteks. Saat ini kan demokrasi mbak, justru
konsep monarki seperti itu tidak cocok oleh system kita.”
“Salah besar mas.” Sangkal mahasiswi.
Dalam diskusi itu, Dullah sudah geregetan ingin masuk ke
dalam diskusi itu, namun ia menahan diri dan berusaha untuk menikmati diskusi
yang sudah lumayan memanas.
“Jelaskan mbak.”
“Karena kita demokrasi, makanya kita tidak boleh membatasi
ruang gerak setiap ‘identitas’. Kalau semua harus sama, terus kita harus
menilai apa dari kesamaan itu?” jelas sang mahasiswi.
“Program-programnya lah.”
“Program kerja juga tendensius dan cenderung ada dinamika
identitasnya mas. Dalam skala kecil, mungkin program-programnya lebih
menguntungkan partai pengusung, yang mana membawa partai saja juga sudah
merupakan ‘identitas’. Terlebih, leluhur yang saya contohkan tadi, itu bukan
merupakan politik identitas. Itu merupakan seleksi secara natural yang ada
dalam system sosial kita.”
Suasana panas tetiba meredah, semua berusaha berpikir. Dan
memproses perkataan sang mahasiswi.
“Maksud saya sebagai cara natural dalam masyarakat adalah,
hal itu wajar, jika calon yang membawa identitas sebagai orang islam misalnya,
namun ternyata akhlaknya tidak mencerminkan islam. Otomatis, masyarakat akan
ragu dan tidak mempercayai calon tersebut. Jadi yang punya otoritas penuh bukan
calonnya, tapi masyarakat kita. Jadi, argument mas tentang kalau tidak memilih
dia berarti bukan bagian dari dia itu salah. Statement seperti itu berarti kita
bersudutpandang pada ‘calon yang membawa identitas.’ Sedangkan kontestasi
politik ini adalah untuk rakyat, jai pendekatannya harus dari kacamata rakyat,
dan rakyat berpikir, kalau tidak pantas dipilih berarti saya tidak milih dia.
Karena identitas yang ia bawa tidak mencerminkan identitas aslinya. Masalah
selesai. Maunya masyarakat mah simple.”
Karena melihat waktu sudah larut malam, dan jarak kampus ke
rumah Dullah relative lama. Dullah mencoba mengintrupsi dan mengatakan sepatah
kata untuk penutus bagi dirinya.
“Maaf teman-teman mahasiswa yang sangat luar biasa antusias
dan cara berpikirnya. Saya mengganggu sebentar, dari tadi saya diam, namun saya
ingin menyumbang sedikit jalan penengah. Karena saya belum bisa mengikuti
diskusi ini sampai akhir, jadi setelah argument ini saya berpamitan. Jadi
begini, kita memilih presiden untuk memimpin selama lima tahun saja. dan kita
memilih keputusan untuk diri kita, itu untuk selamanya bahkan sampai akhirat.
Jangan kita beranggapan bahwa argument kita yang paling benar. Karena kita
masih sama-sama tidak tahu. Kuncinya adalah, kita ikhlas saja. Nanti setelah
kamu ikhlas, kamu akan diberikan pemahaman dan manfaat oleh Allah. Berbeda
pendapat, wajar. Yang penting kita ikhlas saja. dan, tafakkaru saa’atan khoiru min ibaadati sanatan. Berpikir sesaat
lebih baik daripada ibadah setahun. Saya melihat dari tadi teman-teman sudah
bertafakur, berpikir untuk hal positif demi kemajuan bangsa kita. Maka jerih
payah kalian dalam berpikir, insya Allah akan dicatat oleh Allah seperti ibadah
bertahun-tahun. Asal, kita semua saling ikhlas dan saling ridho walau berbeda.
Hanya itu saja mas, mbak. Saya pamit, silahkan dilanjut diskusinya.
Wassalamu’alaikum.”
Setelah mengucap salam, sang Begawan bergegas untuk pulang.
Diskusi masih berlangsung walau malam semakin melebur dalam suasana. Dingin
semakin menggigit kulit. Diskusi tetap berlangsung, sedang Dullah semakin
menjauh dari orang-orang itu.
0 komentar: