Suasana Ibukota masih seperti biasanya, seperti kemarin, dan seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin akan tetap sama dan tak berubah hing...

Nyepi Dan Belantara Kehidupan Kota

Suasana Ibukota masih seperti biasanya, seperti kemarin, dan seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin akan tetap sama dan tak berubah hingga hari-hari lusa. Jalanan macet di saat pagi. Orang-orang berlalulalang, ada yang berlari, berjalan cepat, dan berjalan lirih. Suara klakson terdengar disana-sini. Pagi hari di Ibukota berbeda dengan pagi hari di desa pinggir kali.
Pagi itu, jarum jam masih menunjuk di angka tujuh. Kawasan Kemang sedang padat-padatnya. Kehidupan di ibukota sungguh sangat ketat, dan tak seluwes di desa yang penduduknya lengang dan masih hidup tegur-sapa jika berpapasan. Disini, waktu adalah pemburu.
Kesempatan kali ini, Fajar harus meninggalkan desa nya untuk menuju Ibukota karena ada seminar paper di bilangan Jakarta selatan. Ini adalah kali pertama sang akademisi itu menginjak ibukota. Karena merasa berada di hutan rimba dan ia mati arah, ia meminta seorang temannya untuk menemani selama dia di Jakarta.
“kamu gak bosan hidup disini terus, cal?” Tanya Fajar.
“Sudah terbiasa lah, gak bosen-bosen amat.” Jawab Faizal yang kerap disapa Ical.
“Disini itu ramai ya. Dan serba buru-buru.”
“Namanya juga perkotaan. Semua terasa dikejar waktu.”
“Kalau lihat suasana seperti ini, aku jadi mbayangno kalau seandainya konsep ibadah nyepi itu diperingati di Jakarta dan sekitarnya, barang satu hari saja, gimana ya.”
Ical tertawa dan tak bisa merespon celetukan Fajar.
“Aku jadi ingat kata Dullah waktu membahas nyepi. Ternyata nyepi itu adalah konsep spiritual yang luar biasa. Bahkan seharusnya nyepi menjadi asas dan perayaan spiritual yang harus dikerjakan seluruh pelosok negeri.” Terang Fajar.
“Dullah yang teman kampung kamu itu? Nyepi kan ibadah Jar. Bukan perayaan.” Sangkal Ical
            “Nyepi itu ibadah, memang. Namun ia juga perayaan atas jiwa-jiwa yang sudah lama terbelenggu ramai. Maka dari itu, sesekali, aku kira Jakarta perlu merasakan nyepi.”
            “Kalau hari raya disini sudah sepi, Jar.”
            “Salah. Nyepi berbea dengan sepi. Sepi itu kata sifat. Namun nyepi itu kata kerja. Jadi nyepi adalah sebuah aktivitas yang disengaja. Ya semisal belum bisa nyepi, mungkin bisa lah kita mencicipi untuk nyepi.”
            “Seberapa penting memang, nyepi itu?”
            “Kata Dullah, nyepi itu untuk pemrograman diri dalam mengatur tempo hidup. Kalau interpretasiku, mungkin dalam nyepi, kita bisa memahami dan lebih mendalami kemauan serta tujuan kita. Karena apa yang terjadi dalam ramai adalah fatamorgana kolektif, sedang dalam nyepi, kamu meliht bahwa kamu adalah kamu. Tanpa identitas dan sandangan namamu.”
            “Jadi, nyepi itu dibutuhkan agar kita memahami tujuan kita. Dan karena itu merupakan bentuk ibadah, hubungan vertikalnya adalah untuk memahami Tuhan juga. Begitu ya Jar?”
            “Bisa juga seperti itu. Karena, man arofa nafsahu, faqod arofa robbahu.
            “Artinya, Jar?”
            “Aku tidak tau, kan aku bukan ustad.” Fajar bercanda.
            “Kenapa Jakarta butuh nyepi?” Tanya Ical tiba-tiba.
        “Karena sedari tadi, aku melihat mereka dalam keramaian, sedang mereka sebenarnya kesepian.” Tutup Fajar.
            Mereka berdua telah tiba di tempat tujuan, warung makan yang menyediakan masakan khas Jawa. Suasana ramai, dan terdengar banyak orang berbicara bahasa Jawa di dalam.
            “Mau makan apa?” Tanya Ical.
            “Seperti biasa, spageti dan steak saja.” Jawab Fajar.


0 komentar: