Salah satu sumbangsih perkembangan global adalah eksisnya
peran ideologi dalam mengkontruksi nilai dan tindak-laku. Harus menjelaskan
definisi dan akar ideologi kepada orang desa memang butuh keahlian khusus.
Pertama, wong ndeso tak mudah untuk mencerna bahasa akademisi yang tinggi.
Kedua, harus memulai menjelaskan darimana.
Itulah kiranya hal yang sedang dirasakan Dullah ketika
diundang untuk menjadi pemateri di seminar yang diselenggarakan oleh internal
kelurahan dengan mengangkat judul, ‘Membangun Ideologi Desa Untuk Sejahtera’.
Di tengah seminar, Dullah menjelaskan,
“Jadi bapak, ibu, yang terhormat. Ideologi itu seperti
jalanan desa yang di pinggir-pinggir jalan tersebut ada rumah warga. Ketika
kita hendak menuju rumah si A misalnya, kita harus melewati jalanan desa itu.
Ketika hendak berkunjung ke si B, tetap yang kita lewati adalah jalan B. Saya
mengibaratkan, jalanan desa itulah ideologi. Sedangkan rumah-rumah warga adalah
tujuan-tujuan desa yang hendak dicapai.”
***
Hari itu seminar selesai dengan tanpa kendala. Dullah masih
di balai desa, disana ia berjumpa dengan seorang teman lama nya, Hasan, ketika
merantau di luar pulau.
“Hasan?” Dullah menyapa dengan keraguan.
“Eh. Dullah ya?”Hasan sembari mengerutkan kedua alisnya
“Iya, wah apa kabar? Kok bisa sampai sini, ada apa?” Hasan
diserbu pertanyaan.
“Projek penelitian. Biasa. Kali ini ada rekomendasi dari
professor ku untuk datang kesini mencari data. Kabarnya disini peran pemuda dan
masyarakat sangat aktif. Bahkan sudah punya web desa.” Terang hasan.
“Wih, kamu datang di tempat yang tepat. Ayo ngobrol-ngobrol
dulu, sudah lama kita gak ngopi.” Dullah mengajaknya keluar balai desa dan
ngopi di warung depan gedung.
“Gimana rasanya S2?” Tanya Dullah.
“Pusing, Dul. Tapi seru, banyak ilmu baru. Apalagi subjeknya
kan sesuai dengan minatku.”
“Ilmu komunikasi? Penting memang.”
“Kamu sekarang kesibukan apa? Kok tadi ada di balai desa?”
“Ya, aku ngajar SMP-SMA Desa. Dan sejauh ini, aku memang
merasakan ilmu komunikasi itu sangat penting. Apalagi untuk hidup di desa. Aku
tadi diamanati untuk sharing dan tukar ilmu saja sama aparat desa.”
“Wah wah wah, memang Begawan itu selalu hidup ya dimanapun ia
ditempatkan. Sharing ilmu tentang apa?” Tanya Hasan.
“Ideologi, San. Bingung aku tadi, materi berat, tapi harus
menyampaikan bahasan dengan cara yang gak sok tinggi dan bukan bahasa akademisi
sepertimu. Maklum, masak wong tani dikasih bahasa sarjana.” Terang Dullah.
“Lah, terus bagaimana kamu menjelaskan ideologi dengan bahasa
khas rakyat kecil? Wah sepertinya aku harus belajar praktek ilmu komunikasi ke
kamu.”
“Gampang, aku beri analogi tentang jalanan desa dan rumah
warga. Padahal penjelasannya gak se-sederhana itu.”
“Maksudnya jalanan desa dan rumah warga? Kasih penjelasan
lah.”
“Kalau ngobrol sama kamu, terminologi seperti itu tidak
berlaku mas bro. Aku harus melakukan style switching nih, harus jadi
akademisi.”
“Gayamu, biasa aja. Aku gak paham kalau bahasanya
tinggi-tinggi. Coba jelaskan ideologi itu apa.”
“Yaelah, mahasiswa S2 masak gak paham ideologi. Bohong
sekali. Tapi, sebenarnya kamu tau gak nilai-nilai yang mengkontruksi lahirnya
‘ideologi’ itu sendiri?” Tanya Dullah.
“Hmm….Sebuah paham yang secara terus menerus digemborkan
hingga menjadi kesatuan kolektif dan punya influence yang massif?”
“Nah kan. Bahasamu bukan bahasa wong cilik.”
Hasan tertawa dan ia menyempatkan mencicipi kopinya sebelum
melanjutkan obrolan.
“Gini, san. Dasar dari ideologi itu muncul sebenarnya karena
didukung oleh faktor yang kedepannya akan diinternalisasi sehingga menjadi
sebuah paham. Faktor pendukungnya adalah kelahiran kejayaan Yudea-Kristiani,
kemudian Islam, dan abad pencerahan di Eropa. Faktor itu merupakan faktor
kemajuan dari masing-masing golongan sehingga menciptakan sebuah arus filsafat.
Dari segi filsafat yang melahirkan ideologi, terbagi menjadi beberapa kelompok.
Pertama, filsafat idealisme, kedua, filsafat materialism, dan ketiga, filsafat
teologisme. Tiga jenis filsafat inilah yang merangkum semua paham di dunia
ini.” Terang Dullah kepada Hasan.
“Beraaat. Berat. Berat. Tapi gini masalahnya Dul. Pancasila
itu merupakan ideologi yang terlahir dari tiga fragmen tersebut atau ia lahir
terlepas dari semua itu?”
“Kalau menurut kamu gimana? Biasanya gini nih, mahasiswa itu
bertanya untuk menguji, padahal udah tau jawabannya.”
“Loh terkadang kita bertanya memang bukan untuk dijawab. Bisa
saja untuk memulai bahasan baru atau bisa jadi basa-basi.”
“Terus sekarang tolong jawab pertanyaanmu sendiri.”
“Retorik sekali ya anda. Menurutku nih, Pancasila itu idelogi
yang multitafsir dan bisa menampung ideologi-ideologi mayor di dunia. Mau
bicara kapitalis? Ditampung oleh ideologi kita. Sosialis? Masih bisa. Komunis,
apalagi, masih anget. Ideologi pancasila itu ideologi yang normatif dah.”
“Mungkin bisa dikatakan lebih dinamis dan transformatif.
Diapa-apakan, masih tetap pancasila. Tapi, kekurangan pancasila di jaman
sekarang hanya satu.”
“Apa itu?”
“Kurang dibukakan ruang diskusi kritis yang membahas
Pancasila. Jadi, lebih baik kita cukupkan bahasan tentang Pancasila dan idelogi
atau tetekmbengek nya. Karena jika kamu berbicara itu di depan wong tani,
mereka bingung. Dan jika berbicara di depan forum diskusi, nanti dituduh
makar.”
“Iya dul, aku semakin jarang melihat adanya diskusi kritis.
Karena mungkin lagi sensitif ya.”
“Mending ngopi san.”
0 komentar: