Ruang tamu itu terlihat tenang, Dullah duduk dalam kursi panjangnya, selonjoran. Suara kipas angina sedikit mengisi ketenangan dan ke...

Disadarkan Hompimpah



Ruang tamu itu terlihat tenang, Dullah duduk dalam kursi panjangnya, selonjoran. Suara kipas angina sedikit mengisi ketenangan dan keheningan ruangan itu. Dullah yang sedang selonjoran dengan ditemani bacaan Koran begitu menikmati hari liburnya. Hari ini, rencananya ia akan menghabiskan waktu di rumah dan sendiri.
Tak menunggu waktu yang lama, rencananya buyar.
Dari luar rumahnya, terdengar suara teriakan yang kencang. “Dul, nyapo. Di rumah terus kayak ada yang ngrumat ae?”
 “Wooo…bocah edan. Masuk rumah sini, jangan teriak seperti orang gila.” Balas Dullah dengan nada yang tak lebih keras darinya.
Kondisi rumah tak lagi tenang. Sang tamu perlahan masuk ke ruang tamu, dan tanpa sungkan langsung duduk di hadapan Dullah yang masih selonjoran itu.
“Liburan itu ya keluar, ajak main anak-anak kampung. Ketua karangtaruna kok begini.” Ledek sang tamu.
“Ya Allah, Lis. Baru saja mau rebahan kok kamu intervensi dengan mencuatkan jabatanku.” Balas Dullah.
“Sekarang itu jangan istirahat dulu, nanggung. Hidup cuma bentar, Dul. Bocah-bocah kampung itu butuh orang-orang seperti kamu. Kalau gak gitu, mereka bakal gadget terus.” Mukhlis memberikan pernyataan serius kepada Dullah.
Dullah yang males mikir itu akhirnya bertanya ke Mukhlis. “Kan gadget juga ada sisi positif nya, terlebih banyak permainan juga disana. Wajar kalau bocah sekarang pakai gadget, mereka adalah penyeimbang jaman di masa sekarang. Kalau mereka masih dolanan tradisional seperti obak delik atau sonda, mereka pasti tertindas oleh jamannya.”
“Weits…ndasmu. Ayo ikut aku ke latar sekolah. Dan lihat bocah-bocah disana ngumpul untuk apa. Harus mau ikut aku, kalau gak mau, aku bikin cerita ke Pak Lurah kalau kamu abis perkosa anaknya Cak Shodiq.”
Edan…ancamanmu selalu nekat.”
Dullah yang saat itu diancam dengan ancaman nekat khas Mukhlis langsung meningalkan zona nyamannya pada hari itu dan mengikuti ajakannya.
Latar sekolah yang dimaksud mukhlis tak cukup jauh dari rumah Dullah, mereka berdua hanya perlu menempuh jarak sekitar 25 meter. Di sekolah itu ada latar atau halaman yang lumayan luas. Bocah-bocah desa biasanya bermain disana. bukan hanya bocah, namun orang dewasa pun ada yang melakukan olahraga di latar itu.
“Lihat, Dul. Bocah-bocah disitu sedang ngapain aja.” Tanya Mukhlis sesampai di latar sekolah.
“Lah itu ada yang mainan HP, di bawah pohon. Yang cowo-cowo disana itu main bola. Yang cewek gak tau, masih hompimpah. Emang kenapa?” Tanya Dullah balik.
Mukhlis mengganti posisi tubuhnya yang mulanya berdiri, kini duduk di tanah, sembari berkata kepada Dullah, “Kamu tau, pentingnya bermain dengan aktif seperti mereka, dan bukan permainan pasif seperti yang main HP itu?”
“Memang apaan? Sama-sama permainan, Lis.”
“Salah besar, Dul. Permainan-permainan tradisional kita itu selalu diiringi dengan gerak aktif pelakunya. Terlebih, ada simbol yang dimasukkan para kreator permainan kita yang sungguh sangat luar biasa. Jika dibandingkan dengan permainan di HP, jelas, permainan tradisional kita yang sangat istimewa.”
“Contohnya?”
“Contoh apaan?”
“Ya contoh kalau permainan tradisional kita itu luar biasa.”
“Ohh..gini, dalam permainan tradisional kita, setiap kita mengawali permainan, selalu diawali dengan hompimpah alaihom gambreng. Tau maksudnya?”
“Ya hompimpah itu buat nyari kawan atau buat menentukan siapa yang ‘jaga’.”
Gak sedangkal itu bro. hompimpah itu adalah konsep sangkan-paran. Mengingatkan manusia tentang darimana ia berasal. Hompimpah itu dari bahasa kawi, hom berarti asal dari Tuhan, pimpah alaihom maksudnya adalah kembali ke Tuhan. Sedangkan gambreng adalah simbol agar kita ingat kalimat itu. Maka dari itu, ketika kita berkata gambreng, kita menentukan pilihan apa yang akan kita sodorkan, punggung tangan atau telapak tangan. Maksudnya adalah, bahwa dalam hidup ini selalu ada dualitas. Hitam dan putih. Malam dan siang. Suka dan duka. Baik dan buruk. Mana yang lebih baik dari sifat-sifat itu? Tidak ada yang lebih baik dan lebih buruk. Selama kita berkomitmen dan menghadapi semuanya dengan selalu mengingat Tuhan, maka hasilnya selalu baik. Makanya kalau di permainan tradisional, sering ada dua sisi, misal yang berperan sebagai penjaga dan sebagai yang dijaga dalam permainan obak sodor. Atau yang jadi polisi dan yang jadi maling, dalam permainan maling-malingan. Dan kedua peran itu saling bergembira, karena prinsipnya bukan hitam melawan putih, tapi hitam dan putih yang selalu tetap pada patrap dan kodrat Tuhan.”
“Wih…sampai seperti itu? Bahkan konsep sangkan-paran juga diajarkan dan ditanamkan dalam sebuah permainan?”
“Yaa…itu kehebatan leluhur kita. Permainan-permainan yang kita miliki ternyata bukan hanya sekedar permainan. Semua membawa pesan dan makna mendalam dalam kehidupan secara verikal maupun horizontal.”
“Konsep sangkan-paran itu jika di bahasa arab kan, artinya kurang lebih innalillahi wa innailaihi roji’un ya, Lis?”
Bener Dul. Leluhur-leluhur kita itu sebenarnya sudah punya konsep hidup yang sangat matang dan sangat luar biasa adiluhung. Eh..ketambahan ada Islam, jadi semakin sempurna.”
“Wah tak pikir-pikir, sepertinya kita berdua harus menginisiasi adanya kegiatan dolanan setiap minggunya di program karang taruna nanti, Lis.”
“Kita? Itu tugasmu Dul. Nyapo aku ikut-ikutan. Pegel kabeh aku mengko.”
Dobol, ya direwangi lah kancamu ini.”
“Hmm…untuk urusan yang itu, aku istikharah dulu untuk menjawabnya.”
“Lah, potonganmu! Gitu aja kok istikhoroh.”
“Para leluhur kita saja dulu tidak pernah main-main dalam segala urusan, bahkan untuk hal yang sangat kecil. Aku ingin meniru tindak-laku mereka, Dul.”
“Potonganmu!”
Mukhlis tertawa terbahak-bahak.

0 komentar: