Siang yang terik untuk sebuah pedesaan yang rindang. Angin berhembus samar-samar dan kali ini suasana terlihat lengang. Hanya ada s...

Cerita Dullah: Kebohongan Kata Mutiara (Gagal Kerja)




Siang yang terik untuk sebuah pedesaan yang rindang. Angin berhembus samar-samar dan kali ini suasana terlihat lengang. Hanya ada satu dua orang berseliweran. Jalanan terlihat sepi, hanya ada beberapa pengendara yang melaju entah kemana. Farid, saat itu berjalan kaki, berpakaian rapi. Ia telah pulang dari misinya untuk melamar kerja di kota.
Setibanya di rumah, ia makan siang dan berbincang dengan bapaknya.
“Pak, Farid belum ketrima kerja. Mau nyari lagi setelah ini. Do’akan segera dapat panggilan nggeh.” Ujar Farid kepada bapaknya yang sedang menonton TV di ruang tengah rumahnya.
“Sudah biasa, le. Gagal itu biasa. Yang penting tidak berhenti.” Bapaknya merespon dengan santai sembari tangannya sibuk dengan remot tv.
“Nggeh pak. “ jawabnya singkat.
Setelah obrolan pendek itu, Farid pamit untuk mengunjungi markas karangtaruna desanya. Disanalah memang tempat anak muda berkumpul walau hanya sekedar nongkrong.
Markas itu berada di rumah Dullah. Ada ruangan kecil di rumah Dullah yang terletak di luar bangunan rumah intinya. Disana memang Dullah sediakan untuk menampung remaja-remaja. Dan disana pula biasanya pemuda desa bersinggah dari bosannya suasana rumah.
“Assalamu’alaikum. Sendirian aja, Dit.” Farid mengucap salam ke Adit, siswa SMP yang terlihat sedang duduk di dalam ruangan markas.
“Wa’alaikumssalam mas. Iya mas, baru pulang sekolah.” Timpak Adit.
“Pulang sekolah itu ke rumah dulu, bukan malah mampir-mampir. Kok Cak Dul belum pulang?”
“Internetan dulu lah mas. Tadi Cak Dullah berhenti di warung, beli rujak kayaknya.” Jawab Adit sambil tetap menghadap computer.
Tak selang begitu lama, suara motor Dullah terdengar hingga dalam markas. Terlihat senyum di raut wajah Farid karena yang ditunggu datang juga.
“Assalamu’alaikum. Wih sudah ada aja orang aja di markas. Loh udah pulang to, Rid?” Sapa Dullah.
“Wa’alaikumssalam. Baru saja sampai tadi siang, Dul. Di rumah bosen, jadi mampir sini lah.” Farid menjawab.
“Yasudahlah, aku makan dulu ya. Laper, dari kelas 3 SD belum makan.” Dullah memecah suasana dengan guyonannya.
“Gayamu, Dul. Cuma beli satu aja dul?”
“Beli satu, gawe aku.”
“Eh, Dul. Aku gak ketrima kerja di kota kemarin. Yang ikut seleksi banyak banget, diambilnya Cuma sedikit” Farid bercerita tentang pengalaman seleksi kerja kemarin.
“Halah sudah biasa kayak gitu, Rid. Santai saja. ngapain cepet-cepet kerja.” Dullah tertawa.
“Sudah biasa gagal ya Dul. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Kan ada kata-kata mutiara seperti itu.”
“Gimana menurutmu, Dit. Kata-kata mutiara itu.” Tanya Dullah ke Adit yang masih sibuk internetan.
“Kalau kata Cak Dul kan kata-kata seperti itu adalah kata normatif yang melemahkan mental.” Jawab Adit, kali ini ia menengok ke Dullah.
“Maksudnya, Dit?” Farid kebingungan.
“Yaelah, Rid, masak kalah sama Adit yang masih SMP.” Ledek Dullah sambil melipat-lipat bungkus rujak yang sudah kosong itu.
“Kalau menurutku sih gini mas, orang yang cenderung mengutip kata-kata mutiara itu terkesan bahwa dia mengelak kegagalan yang dia alami. Makanya, kata-kata mutiara itu normatif, kalimatnya tidak frontal. Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Berarti kan kita menyangkal bahwa kita ini gagal. Hanya suksesnya tertunda saja. tidak gagal.” Jelas Adit.
“Kok gaya gitu bahasamu, Dit. Aku gak ngajarin yang seperti itu loh.” Terang Dullah kepada Adit.
“Halah, pemikiran-pemikiran seperti ini ya datangnya dari siapa lagi kalau bukan darimu, Dul.” Farid berujar.
Dullah yang saat itu bersandar di tembok kemudian tertawa lepas.
“Kamu tidak ketrima kerja itu sebenarnya hal biasa loh. Ya memang dunia kerja itu seperti itu. Kita dituntut untuk unjuk gigi dalam segala bidang. Proses rekrutmennya mengharuskan kita menjadi menyingkirkan saingan lainnya dengan cara yang kompetitif. Konsep hirarki itu selalu ada dalam dunia kerja. Kesetaraan dan janji asas resiprokal tidak mungkin bisa dibenahi. Karena sistemnya sudah salah. Makanya, aku ini mending ngajar saja daripada kerja kantoran.” Jelas Dullah.
“Wadaw, bahasanya berat. Saya lanjut internetan saja lah.” Adit memalingkan muka dan kembali menatap layar komputer.
Saat itu Farid terlihat kebingungan untuk menelan apa yang baru saja Dullah katakana, “Ya tapi bekerja itu kan penting, Dul. Dan itu kan pendapat kamu saja, seperti biasa, kamu kan melihat apapun selalu dari kacamata bahwa kamu berlaku sebagai oposisi.”
“Ya memang itu pendapatku sih, dan itu bisa dinalar, Rid. Makanya aku bertahan pada pendapatku itu. Sekarang bayangkan, ekonomi kita adalah ekonomi yang bermodalkan teori ekonomi global. Atau katakanlah kapitalis yang oportunis. Mungkin saja SOP yang diberlakukan terlihat begitu baik untuk karyawannya. Namun tujuannya sama, agar menjaga kestabilan dan nyawa perusahaan. Subjek yang dipentingkan adalah perusahaan. Bukan pekerjanya.”
“Lah, mereka membuat seperti itu kan karena memang perusahaannya yang terpenting. Kalau perusahaan tidak progress, otomatis pekerja disana juga tersendat. Makanya untuk mengantarkan penumpang bus, yang terpenting adalah bus nya jalan dengan lancar, Dul.”
“Oh gak harus seperti itu, bro.”
“Jelaskan.”
“Dimana-mana, yang perlu diutamakan adalah manusianya. Kalaupun analogimu adalah tentang penumpang bus dan bus nya. Iya memang bus nya harus jalan agar penumpang sampai tujuan. Namun bus itu kan hanya wasilah atau perantara agar tujuan utama tercapai. Dan tujuan utama adalah penumpangnya. Kepuasan penumpangnya. Get the point?”
“Ya bener, memang bener. Sekarang bayangkan kalau perusahaan itu tidak produktif dan perlahan mengalami penurunan kualtas. Apa staf dan karyawannya akan bisa mendapatkan jaminan hidup yang layak?” Farid tetap membantah konsep Dullah.
“Inilah efek kata-kata mutiara yang normatif.”
Dullah tertawa sambil menepuk bahu Farid yang ada persis di hadapannya itu.
“Yuk kita runtutkan rantai diskusinya dulu biar enak.” Dullah mengatur ritme diskusinya dengan Farid.
“Oke, Dul.”
“Jadi, kenapa aku menyimpulkan bahwa kata mutiara yang seperti tadi itu merupakan kata yang melemahkan dan normatif, karena satu alasan. Yaitu, karena kalimat kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda itu, menurutku, sangat manipulatif dan membuat kita tidak gagah dalam bersikap. Kita harus paham bahwa hidup ini bukan hanya tentang bahagia dan sukses saja, ada gagal, sedih, marah, airmata, senyum, kaya, miskin. Kita harus tegas berkata bahwa ini gagal, ini berhasil. Saya sedih, saya gembira. Karena orang yang lengkap pemahamannya adalah orang yang sudah merasakan semua instrument dalam hidup. Dan bagaimana kita merasakan semua instrument itu jika kegagalan saja kita manipulasi dengan sebutan kesuksesan yang tertunda. Commit it, gagal ya gagal. Sukses ya sukses.”
“Make sense, sih. Tapi..”
“Halah, gak usah tapi. Lanjut ke masalah pekerjaan tadi. Jadi gini, inti dari pekerjaan dimanapun tujuan paripurnanya adalah seharusnya bukan untuk menopang atau  menjalankan roda peekonomian perusahaan. Itu hanya akibat kok. Fokus bekerja di perusahaan atau dimanapun adalah mencapai tujuan untuk memanusiakan manusia. Potensi terbaik perusahaan adalah manusia yang bekerja disana. jika tujuan mutlaknya adalah karyawan, maka akan ada langkah-langkah yang ideal untuk mencapai kemaslahatan bersama. Seorang direktur seharusnya bukan memikirkan nasib perusahaannya lagi, melainkan memikirkan bagaimana nasib karyawan-karyawannya. Jika seperti tiu, maka akan ada terobosan kegiatan, aturan yang fundamental yang berlandaskan pada kultur kesejahteraan manusia. Jika itu dioptimalkan, dengan sendirinya kok, perusahaan akan aman-aman saja. karena integritas dalam bekerja bukan diciptakan dari sistem perusahaan, melainkan dilahirkan dari manusia melalui sistem kemanusiaan. Manusia harus dioptimalkan potensi dan kesejahteraannya, jika sudah seperti itu, perusahaan akan aman terkendali.”
“Hmmm.” Farid bingung.
“Gini deh. Tujuan travel agent bukan pada yang penting bus bisa berjalan atau tidak. Melainkan pada manusianya, jika manusianya diperhatikan, baik tentang kesejahteraan dan kenyamanan supir, atau penumpang-penumpangnya. Memberikan fasilitas yang baik pada penumpang dan supirnya, maka tak perlu dikhawatirkan, sang supir pasti dengan senang hati bekerja hingga penumpang sampai ke tujuan. Jadi yang dipikirkan bukan, bagaimana ya supaya travel agent ku untung, melainkan, bagaimana ya melayani penumpang dengan maksimal.”
“Aku paham, Dul. Tapi ada satu dua poin yang aku gak setuju denganmu.”
“Monggo, kan memang tidak wajib hkumnya untuk selalu setuju kepada setiap argumenku. Tapi ya lebih baik, kamu setuju saja.”
“Raiso. Kali ini aku gak setuju sepenuhnya pokok e.”
“Lagian kamu ini lulusan S1, aktivis, kok ngelamar kerja. Kok mau jadi buruh.”
“Asu!”
“Gukgukguk.”
Keduanya tertawa dengan lepas.

0 komentar: