Sore itu suasana depan rumah Pak Miftah lagi ramai. Pemuda-pemuda karangtaruna sibuk membersihkan kotoran ayam yang berserakan di hal...

Musyawarah Tai Ayam



Sore itu suasana depan rumah Pak Miftah lagi ramai. Pemuda-pemuda karangtaruna sibuk membersihkan kotoran ayam yang berserakan di halaman rumah Pak Miftah. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba ba’da ashar tadi kandang ayam Bu Rusnah terbuka dan ayam langsung keluar menyerbu rumah Pak Miftah yang ada di depannya. Yang empunya rumah geleng-geleng kepala bukan hanya karena pekarangan rumah nya penuh tai, namun gabah yang dijemur berantakan dan berkurang karena dimakan ayam.
            “Kalau masalah gabah, kami gak bisa bantu Pak. Tapi kalau membersihkan kotoran ayam, kami siap membersihkan.” Ujar Dullah kepada Pak Miftah.
            “Iya, ndak masalah. Nyuwun tolong nggeh le, Bapak sudah gak kuat bersih-bersih. Wes tuwek.” Balas Mbah Miftah dengan nada yang pelan.
Selesai membershkan pekarangan rumah Pak Miftah, Dullah dan anggota karangtaruna desanya istirahat di rumah Dullah. Mereka semua berkumpul karena ada agenda rapat bulanan juga.
25 an remaja-remaja desa itu duduk melingkar di halaman rumah Dullah. Mereka duduk khidmat bersila menunggu rapat dibuka oleh empunya rumah. Seperti biasa, sebelum rapat karangtaruna Dullah memutar isntrumen musik khas Bali dari Gus Teja untuk mengiringinya selama diskusi nanti.
            “Cak Dul, kenapa kok selalu memutar instrumen ini di setiap rapat?” Tanya seorang pemuda desa.
            “Ya sederhana, karena kalau saya putar lagu rock pasti kita terganggu. Kalau saya putar lagu pop, kalian pasti ikutan nyanyi dan gak fokus. Kalau saya putar sholawatan, apa ya pantas? Jadi yang terbaik ya instrumen musik daerah saja, lebih ngena dan bikin adem.” Jelas Dullah.
            “Gara-gara Cak Dul ini saya jadi download instrumen music Gus Teja. Memang adem didengar, apalagi kalau mau tidur.” Timpal seorang pemuda yang lain.
Dullah yang saat itu hanya membalasnya dengan ketawa.
Dullah adalah ketua karangtaruna, ia paling tua diantara anggota lainnya. Jika ia sudah hampir kepala tiga, anggotanya kebanyakan masih di sekolah menengah. Ia disegani oleh pemuda di desa, bukan karena sebagai ketua karangtaruna, namun karena ia sering mengumpulkan anak-anak muda untuk diajak kegiatan dan prakarya.
Terlebih, ia selalu tidak pernah merasa paling pintar. Dullah selalu meninggikan dan menjunjung kelebihan setiap pemuda disana.
Saat itu, rapat baru dibuka oleh Dullah. Sebagai pembuka, ia menanyakan satu hal kepada yang lainnya, “Coba, kita tadi membersihkan kotoran ayam di rumah Pak Miftah. Bagaimana perasaan kalian tadi dan apa yang kalian pikirkan?”
“Jijik, cak. Pingin cepat-cepat selesai saja tadi.”
“Gak suka. Kurang kerjaan banget.”
“Menolong, cak. Jadi harus ikhlas.”
“Jawaban kalian luar biasa. Itu semua adalah kejujuran kalian dan ekspresi kalian. Tidak ada yang paling benar dan tidak ada yang paling salah. Semua benar pada sudut pandangnya. Seandainya besok ada kejadian seperti itu lagi, masih mau membersihkan?”
Mayoritas yang datang berkata, “Waah….gak bisa dipindoni.”
Dullah tertawa dengan lepas sambil membenarkan posisi kakinya untuk duduk bersila. 
“Saya juga pasti gak mau lah. Rumah saya jadi bau tai gara-gara kalian gak ada yang mandi.” Ujar Dullah memecah suasana.
Masih dalam keadaan riang dan penuh dengan tawa, tiba-tiba Dullah bertanya, “Tapi, tai ayam itu jangan dibenci atau dimasukkan ke dalam kosa kata negatif dalam pikiran kalian ya.”
“Maksudnya, cak?” Tanya seorang remaja kebingungan.
“Tai ayam itu adalah penyelaras atau penyeimbang dalam kehidupan per-ayam-an. Tai mereka sangat penting untuk urusan hidup mereka bahkan untuk keberlangsungan hidup manusia.”
“Buset, masalah tai saja sampai kayak gitu, cak.” Celetuk remaja putri.
“Loh, penting itu, bro. bayangkan jika tai yang kalian anggap negatif itu tidak dikeluarkan oleh para ayam. Mungkin halaman dan jalan-jalan kita bebas dari kotorannya, namun dalam perut mereka tertimbun tai-tai yang banyak atau jika tidak seperti itu, produktivitas mereka akan terganggu karena penyakit. Badan mereka penuh bakteri. Pencernaan mereka terganggu. Akibatnya, banyak ayam mati sebelum disembelih. Bukan hanya itu, keseimbangan pangan akan terganggu. Daging ayam akan langka di pasar. Oknum-oknum nakal akan memperdayakan kesempatan ini. Ayam yang mati dengan tidak wajar akan tetap dijual. Dan kita tidak pernah tau itu, kita membelinya. Padahal sudah banyak bakteri dan penyakit di dalamnya. Jika sudah dikonsumsi, ada kemungkinan kita akan sakit.”
“Sampai seperti itu? Serius sekali cak.”
“Bukan hanya itu malah. Jika itu terjadi, komponen yang lain akan tidak lagi seimbang, karena manusia juga akan menurun baik tingkat kesehatan atau substansi pola pikir akibat sakit. Kuantitas manusia bisa jadi akan mengalami regrees atau penurunan juga. Ya mungkin tidak selamanya akan terjadi seperti itu, namun dalam jangka waktu yang pendek, itu semua akan membuat alam semesta terganggu. Karena unsur penyeimbang dari skala kecil sudah terputus. Itulah efek tai ayam.”
“Hidup tai ayam!!” Teriak salah satu remaja karangtaruna.
“Tai ayam for life.” Sahut salah satu lainnya.
Dalam suasana jenaka itu, ada salah satu remaja putri yang mengkritisi hal tai ayam, “Cak, tapi saya kira itu tidak hanya terjadi pada tai ayam saja. setiap satuan dalam tatanan kehidupan ini, jika strukturnya sudah mulai dipecah dan dirusak, maka akan berimbas pada struktur lainnya dan berimbas ke skala struktur yang lebih besar.”
“Coba, beri contohnya?” Dullah menantang dengan menyunggingkan bibirnya.
“Semisal, ketika kesadaran membuang sampah sembarangan sudah tidak dimiliki setiap pribadi, maka bisa jadi setiap individu membuang sampah di sungai. Jika itu dilakukan secara kolektif, bisa menyebabkan tumpukan sampah dipingiran sungai. Jika terus dibiarkan, ketika musim hujan, debit air di sungai akan bertambah dan akan terjadi banjir. Hal itu lumrah, karena ruang sungai termakan oleh padatan sampah, sehingga air yang seharusnya bisa dibendung menjadi tidak bisa ditampung lagi karena kekurangan ruang gerak.” Jelas dia.
“Wah pinter. Saya baru kepikiran loh masalah itu. Hm.. berarti, dalam kasus kamu itu, penyeimbangnya ada di ‘buang sampah’ atau ‘banjir’nya?” Dullah menanggapi contoh tersebut dengan sangat antusias.
“Setiap satuan adalah penyeimbang dari satuan yang lainnya, cak. Atau bisa dikatakan, setiap sebab adalah akibat dari efek sebelumnya. Banjir adalah penyeimbang dari sampah yang membendung sungai. Dan membuang sampah di sungai adalah penyeimbang karena tidak adanya kesadaran individual.”
“Setuju! Ada pendapat lain kawan-kawan?” Ujar Dullah.
“Tidak cak!” Semua membalas dengan kompak.
“Jadi, itulah agenda kita sebelum rapat karangtaruna. Alhamdulillah kita sudah berhasil memusyawarahkan tai ayam.”
Pernyataan itu membuat semuanya tertawa lepas. Sedari tadi, rupanya belum dimulai agenda rapat karangtaruna. Di atmosfer yang akrab itu masih terdengar suara iringan instrumen Gus Teja. Dan, hari sudah mulai menyepi. Dinginnya malam menambah pekat gelapnya suasana desa.
Dullah melihat jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam.
“Sudah ya. Sekarang kita mulai rapat karangtarunanya. Bismillah. Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.”

2 comments: