Sebuah problematika aktivis muda adalah kerendahan
hatinya dan kelincahannya untuk turut serta berusaha menciptakan keseimbangan
dan memajukan bangsanya. Jiwa-jiwa dan semangat seperti itu rupanya juga
dimiliki oleh seorang pemuda bernama Farid. Seorang sarjana yang juga merupakan
aktivis sosial.
Sore itu, saat hujan mengguyur kampungnya, Farid sedang
duduk di teras rumah. Kopi yang hangat turut menemani lamunan sore, hingga
tetiba datang seorang pemuda lain yang sore itu kiranya butuh teman mengobrol.
“Numpang ngopi, Rid.” Dullah tiba-tiba nyelonong memasuki teras rumah Farid.
“Kebiasaanmu, Dul. Bilang saja lagi gak ada yang diajak
ngobrol. Akhirnya ya kesini.” Balas Farid sambil menggeser posisi duduknya
untuk Dullah.
“Biasanya, kaki ku ini gak pernah salah melangkah, Rid.
Kalau aku berhenti di rumahmu, berarti kaki ku ini milih kamu. Dan biasanya,
orang yang aku datangi, pasti lagi butuh sesuatu untuk dirundingkan.” Dullah
berujar sambil memposisikan duduknya senyaman mungkin.
“Satu hal kamu benar, dan satu hal lain kamu oportunis
disini, Dul. Tunggu disini saja, aku buatin kopi” timpal Farid.
Dullah yang menunggu Farid membuatkan kopi untuknya
melihat ada beberapa buku di sebelah tubuhnya. Ia melihat-lihat, ternyata buku
itu adalah buku-buku yang membahas masalah problematika bangsa ini. Terutama
politik dan per-politikan Indonesia.
“Kamu itu sok-sokan
mikir negara, memangnya kamu ini siapa?” Dullah berceletuk ketika Farid baru
muncul dari dalam rumah sembari membawa secangkir kopi dengan dua tangannya.
“Ya bukan sok-sokan,
tapi merasa perlu membenahi tatanan yang terlanjur disajikan ke publik.” Farid
meletakkan kopi di meja yang berada di depan Dullah.
“Menurutmu, apa yang perlu dibenahi dari negara ini dan
siapa yang benar-benar ‘wajib’ membenahi itu?”
“Kalau menurutku pribadi sih harus ada pembenahan yang
masif di segala lini dan aspek Negara, Dul. Baik itu ekonomi, politik,
pendidikan, dan lain-lain. Dan yang wajib membenahi ya seluruh warga Indonesia to, kan kita semua tinggal di
Indonesia.”
“Dapuranmu!” Dullah tertawa terpingkal-pingkal.
“Loh, kenapa Dul. Perasaan gak ada yang lucu.” Farid
menanggapi tawa Dullah dengan bingung.
“Mungkin, salah satu yang harus dibenahi di negara ini
adalah cara berpikir juga, Rid.” Timpal Dullah.
“Hah, maksudnya? Jangan sok filsuf lah.”
“Filsuf gimana? Aku iki lulusan SMA, sampeyan sarjana. Sampeyan
menghabiskan waktu di kampus, ikut kegiatan organisasi. Lah, aku bantu macul bapak
dan sekedar kerja serabutan. Dapet
poin ku?”
“Jadi maksudnya
kamu gak sok filsuf tadi?” Tanya
Farid
“Tadi, aku ngguyu karena
pernyataanmu itu menggelitik. Yang pertama, aku menyimpulkan bahwa yang perlu
dibenahi di Indonesia itu adalah seluruh aspeknya. Kedua, yang ‘wajib’ membenahi
adalah seluruh rakyat Indonesia. Aku mau runtut dari klausal satu, kalau
semisal setiap aspek negeri ini sudah berhasil kamu benahi, apakah menjamin
tatanan yang berimbang? Dan klausal dua, kalau semua ‘wajib’ membenahi, aku
yang orang desa yang gak tau apa-apa
ini apakah juga wajib? Aku ngurus
keseharianku saja pekewuh, kok
ditambah ngurus negara.”
“Hmm…masalahnya gini Dul, semua sudah terlalu mendalam
untuk dibilang melenceng. Terlebih, ya kan kamu juga tinggal di Indonesia. Ya
harus bantu Indonesia dong.” Sangkal Farid terhadap argumen Dullah.
“Aku puaaham
maksudmu. Jadi gini, aku setuju kalau aku harus ikut membantu Indonesia. Tapi,
aku gak wajib. Kewajibanku, sebagai
warga adalah tidak menyusahkan pemerintah. Kewajibanku yang lain adalah, kerja
yang baik agar hidupku baik. Sudah, itu aja. Kalaupun apa yang ku lakukan
berimbas positif ke Indonesia, itu hanya sedekah dan amal dariku untuk
Indonesia. Tapi aku tidak ‘wajib’ hukumnya membenahi semua itu. Hukumku
membenahi aspek yang rusak di negeri ini termasuk Sunnah, atau bahkan ‘mubah’.”
“Tapi coba deh dipikirkan, kalau semua punya pemikiran
yang acuh seperti itu, bagaimana mungkin negeri ini bisa menjadi lebih baik
kedepannya? Terlebih, kita kan harus memilah mana yang kepentingan pribadi dan kepentingan
bersama. Jika kita mengutamakan kepentingan kita saja kan gak baik juga, Dul”
Dullah tertawa lagi. Kali ini lebih keras.
“Kok ketawa, gak bisa jawab lagi kan?” Tantang Farid.
Hujan semakin deras kala itu. Sekali dua kali terdengar
suara gelegar guntur. Angin berhembus kencang. Namun kedua makhluk ini tak
bergeming dengan kondisi dingin yang menerkam. Pembicaraan mereka tinggal
separuh bahasan lagi. Karena kopi di cangkir mereka sudah diteguk dan
menyisahkan separuh cangkir.
“Jadi gini loh Rid. Pertama kita harus sepakat bahwa
setiap manusia punya peranan dan tugas masing-masing. Sampai sini sepakat?”
Tanya Dullah.
“Sepakat.” Jawab Farid
“Dan, karena manusia punya peranan berbeda-beda, maka
kebutuhan juga berbeda.”
“Sepakat.”
“Karena peranan berbeda, tidak mungkin orang kita paksa
untuk memainkan peran kita.”
“Sepakat.”
“Yang terakhir. Karena kita tidak boleh memaksa oranglain
untuk memerankan peran kita, berarti kita jangan punya anggapan bahwa kebutuhan
kita sama dan tanggungjawab kita sama. Terlebih dalam bernegara. Jelas sampai
sini?
“Hmm….jelas Dul.”
“Yah..aku kira kita sudah memasuki kesatuan frekuesi dan tak
ada yang perlu dijelaskan lagi. Kita sudah berada pada pemahaman yang sama.
Diskusi ditutup!”
“Eh belum, aku belum lega.” Dia mengajak diskusi lagi. “Jangan
selesaikan diskusi ini pada titik temu yang ambigu Dul. Jadi kamu setuju
denganku kalau kita semua wajib membenahi Indonesia dari bejatnya struktural
dan kultural saat ini?
“Aku agak geli mendengar kata ‘wajib’ itu Rid.
Seakan-akan setiap diantara kita semua harus diforsir untuk berusaha dan
mewajibkan diri dalam segala urusan bernegara sehingga kebutuhan dan urusan
hidup kita sebagai personal bisa kita sunnah kan, mubah kan, bahkan kita makruh
ingga haramkan. Secara parallel, yang benar-benar wajib untk membenahi adalah
Pemerintah. Karena itu semua adalah peran dan tugasnya. Sedang peran ku adalah
sebagai guru, maka kewajibanku adalah menjadi guru. Oleh karena itu ada
berbagai profesi struktural mulai dari pemerintah, yang legislatif, eksekutif,
yudikatif. Ada TNI ada polisi ada hansip ada satpam ada banser ada kokam. Ada
guru ada petani. Ada montir ada tukang sapu jalanan. Semua punya kewajiban, dan
kalau mereka semua patuh pada kewajibannya, aku rasa Negara ini aman. Jadi yang
kamu maksud dari kata ‘wajib’ itu sebenarnya terkesan bias dan salah kaprah.
Aku ini pengajar biasa disuruh membenahi negara yo wegah to. Tugasku ya
memenuhi dan mencukupi kebutuhanku dulu, dan keluargaku. Sukur-sukur aku bisa
sengkuyung membantu Indonesia. Jadi membantu Indonesia dalam hidupku ini ada
pada batasan ‘sukur-sukur’, karena aku wong cilik. Kalau Pemerintah, membenahi
Indonesia gak boleh ‘sukr-sukur’ , karena itu kewajibannya.”
Sejenak, suasana hening. Farid menelan dan memproses
ucapan Dullah. Ia merenung, sambil tatapannya melihat jatuhan rintikan hujan
yang sudah mulai redah dan Nampak samar. Sedangkan Dullah meneguk kopi dan
menghabiskannya dalam satu tegukan.
“Ah…aku masih belum puas dengan jawabanmu.” Celetuk
Farid.
“Sudah ah, kopi sudah habis. Kalau mau diskusi lagi.
Sediakan aku segelas kopi lagi. Kalau tidak ada kopi, maka dengan ini saya
pamit undur diri. Wassalamu’alaikum intelektual cerdas.” Dullah berdiri dan
pamit.
“Dapuranmu Dul, dobol!” Kalimat perpisahan dari Farid.
Nays post, gus
ReplyDelete