Suatu hari dalam satuan minggu, aku
berbincang dengan sahabatku, dalam ruang tamu rumahnya yang sekiranya sudah
seperti rumah sendiri bagiku. Aku sesekali menyeduh kopi yang tersedia di depan
badanku, sembari mendengarkan dia bercerita tentang masa lalu.
“Bagaimana kamu menyikapi masa
lalu?” Ia bertanya seakan sedang terburu waktu.
“Bagiku, masa lalu adalah sikap
yang sudah kita tinggalkan. Tapi, bukan dibuang. Sesekali mungkin kita perlu
memungutnya kembali. Untuk masalah yang sama, pada saat ini.” Timpalku dengan
sedikit mengkerutkan dahi.
Akhir-akhir ini memang obrolan kami
sedikit kaku. Entah, mungkin karena sudah jarang bertemu. Tapi, kiranya bukan
itu. Mungkin tuntutan kebutuhan kami sudah melenceng berbeda. Dan seakan, hal itu
menciptakan dimensi batas yang susah untuk didialektikan kembali dalam tempo
yang terarah. Bukan hanya itu, ia memancingku lebih jauh untuk bercerita lebih.
“Apakah ia selalu identik dengan
sedih? Dan apa perlu dilupakan demi mendapatkan, apa yang kita gadang sebagai
masa depan?” Tanya nya seakan ia seperti orang linglung.
“Jika kamu bertanya tentang masa
lalu, ucapan verbal apa yang bisa aku lontarkan untukmu, kawan. Masa lalu
adalah pengalaman. Setiap orang mengalaminya. Setiap orang pernah berjuang
disana. Sebaik-baiknya penjelasan adalah merasakan. Dan sebaik-baik rasa adalah
tanpa kata.” Imbuhku dengan menatap dinding dihadapanku.
“Ya, tapi apa salahnya aku bertanya
tentang asumsi mu?”
“Bukan tentang benar salah, tapi
kamu hanya malas untuk lebih kritis terhadap masalah.”
“Maksudnya?” tanyanya dengan muka
bingung.
“Apa kamu pernah membayangkan
sebuah gajah tapi tak pernah memikirkan apa itu gajah, bagaimana sifatnya,
bagaimana ia bertahan hidup, dan lain sebagainya?”
“Ya, aku pernah membayangkan gajah,
dan aku tak perlu memikirkan detailnya lagi. Karena itu sudah ku pelajari
sedari dulu.”
“Begitu juga dengan masalalu mu,
kamu hanya membayangkan dan bertanya-tanya tanpa memikirkan detail pengalaman
dan rasa yang sudah jelas-jelas kamu pelajari dengan tingkahmu sendiri saat
itu. Jawabannya ada pada pengertianmu.”
Obrolan
kami sempat berhenti, seorang teman kami yang sedari tadi ada di kamar, tetiba
keluar, ikut ambil bagian dalam menyeduh kopi tanpa terlibat diskusi panjang
dalam malam yang terlihat kelam.
Aku
jadi ingat salah satu bahasan yang menarik juga jika disambungkan dengan
masalalu. Aku pernah membaca masalalu yang sangat kelam dari Nietsche, aku
pernah membaca masalalu Bilal bin Rabbah, aku pernah mendengar sahabatku
menceritakan masalalu kelamnya. Tapi simpul dan kenyataan yang terjadi adalah,
kini semuanya dikenang dengan keberhasilan. Rupanya, stimulan untuk menuju
keindahan adalah kerusuhan. Pupuk untuk bunga adalah akar yang menancap tanah.
Dan, sesuatu yang terang benderang berasal dari kegelapan yang melelapkan.
Ingin rasanya aku menceritakan itu semua ke temanku yang membahas masalalu ini,
namun obrolan kami hanya berhasil berhenti pada bahasan sederhana.
“Kenapa
kamu membahas masalalu dengan sangat serius kali ini?” aku bertanya curiga.
“Ndak,
bro. Aku habis stalking mantan. Dan kelihatannya dia sudah menikah sekarang.”
“Sangat
penting ya.” Ujarku.
“Hehe.”
Aku
kira topik ini dibawa kearah serius, rupanya stalking mantan juga membawa dampak
yang serius. Salah satunya adalah, terjebak dalam hutan kenangan yang mampu
membawamu pada lubang yang sering disebut, kegalauan.
0 komentar: