Pembahasan mengenai hal-hal mistis memang menjadi salah satu pasar besar di negara Indonesia. Topik dan fenomena seakan taka da habisny...

  



Pembahasan mengenai hal-hal mistis memang menjadi salah satu pasar besar di negara Indonesia. Topik dan fenomena seakan taka da habisnya untuk dibahas, baik itu di sosial media seperti Instagram dan twitter, atau di kanal media seperti YouTube. Para penikmatnya pun beragam, mulai dari kalangan bocah hingga dewasa. Namun, tentu saja sebaik-baiknya penikmat adalah yang tidak memakan mentah-mentah apa yang dilihat dan apa yang dibaca. Namun, di sisi lain, tentu saja tidak mudah untuk memverifikasi bahwa fenomena yang dilihat melalui media itu ‘asli’ atau tidak.

 

Istilah anak indigo pun menjadi terangkat dan diistimewakan. Anak indigo yang seakan sangat sakral dan dekat dengan rahasia tak kasat mata menjadi seleb di jagat maya. Nah, sebelum menelisik lebih jauh dan lebih dalam mengenai arti indigo itu sendiri, tentu kita wajib hukumnya untuk mengetahui akar sejarah dan terminologi tersebut. Apakah benar indigo selalu dikaitkan dengan fenomena mistis, atau sudahkah benar terminologi indigo diaplikasikan di Indonesia. Tentu saja jawaban ini sangat subjektif, dan tidak bermaksud menyudutkan pihak-pihak yang merasa Indigo. Aku disini hanya menyajikan sebuah tulisan berdasarkan penelitian-penelitian agar objektivitas antara logika dan metafisika masih bisa dipertemukan.

 

Sebenarnya, konsep anak indigo pertama kali dikemukakan oleh Nancy Ann Tappe pada tahun 1970-an. Pada tahun 1982, Tappe menerbitkan sebuah buku yang berjudul Understanding Your Life Through Color yang menjelaskan bahwa, ia menyadari pada tahun 1960-an ada banyak anak yang lahir dengan aura "indigo". Tappe juga menjelaskan pada publikasi lainnya bahwa warna indigo atau nila berasal dari "warna kehidupan" anak yang dia dapatkan dari sinestesia. Jadi seorang anak disebut indigo dikarenakan oleh aura yang dimiliki oleh anak tersebut memiliki warna nila atau indigo.

 

Jan Yordy seorang terapis yang menulis mengenai anak indigo mencoba mengkategorikan karakteristik anak indigo yang sering ditemui, yaitu:

1. Memiliki keinginan yang kuat, mandiri dengan melakukan apa yang ada di pikirannya daripada mematuhi kehendak orangtua, bijaksana dan memiliki tingkat kesadaran dan kebersamaan yang melebihi pengalamannya;

2. Secara emosi, mereka dapat dengan mudahnya bereaksi sehingga tidak jarang mereka memiliki permasalahan dengan kecemasan, depresi atau stress;

3. Kreatif dalam berpikir dengan menggunakan otak kanan namun tetap harus berusaha belajar dengan menggunakan otak kiri terutama pada sistem di sekolah; anak indigo sering didiagnosis mengalami ADD (attention deficit disorder) atau ADHD (attentiondeficit hyperactivity disorder) saat mereka menunjukkan perilaku impulsive (otak mereka memproses informasi lebih cepat) dan mereka harus tetap bergerak agar selalu fokus;

4. Anak ini sangatlah peka dan dapat melihat, mendengar atau mengetahui sesuatu hal yang tidak dimiliki orang kebanyakan;

5. Anak-anak ini belajar secara visual dan kinestetik, mereka dapat mengingat apa yang terekam dalam otak dan menciptakan melalui tangan;

6. Apabila keinginan anak tidak terpenuhi, maka anak merasa kesulitan dan menjadi self centered. Meskipun hal ini bukanlah sifat sebenarnya; anak memiliki potensi dan bakat yang luar biasa, namun dapat hilang begitu saja jika tidak sesuai dengan bentuk pengasuhan.

 

Dari penjelasan mengenai akar terminologi Indigo tercipta dan dari penjelasan seorang terapis mengenai kategorisasi Indigo, kita dapat melihat bahwa cakupan Indigo bukan hanya mengenai hal-hal mistis dan metafisika saja. Ada kemampuan-kemampuan yang justru tidak ada kaitannya dengan hal mistis juga masuk ke dalam istilah Indogo. Pada dasarnya, kategorisasi Indigo adalah berdasarkan pada warna aura tubuh.

 

Dari penjelasan ini juga, aku belum bisa memastikan bagaimana standar untuk mengetahui warna aura tubuh, baik itu metode atau alat yang digunakan. Memang ada satu penelitian yang dilakukan oleh Kadarisman, Kuswanto, Rosana, dari Pendidikan fisika Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam jurnal mereka, aku bisa melihat bahwa ada istilah Colour Vibration Therapy atau pemanfaatan energi surya untuk terapi getaran warna.

 

Di artikel ini juga dibahas mengenai kategorisasi warna tubuh berdasarkan siklus sinar matahari harian dan warna tubuh berdasarkan organ-organ tertentu.


 

Dari data ini, aku sebagai orang awam berpikir bahwa tidak ada aura pakem dalam setiap individu, warna aura manusia akan selalu berubah tergantung pada kondisi tubuh dan psikologisnya, dan tergantung pada sinar matahari di waktu tertentu. Pengambilan kesimpulan mengenai seorang itu indigo atau bukan tentu saja tidak bisa hanya dilihat satu waktu saja. Harus ada langkah komprehensif dan terus berulang sehingga mendapakan kesimpulan yang matang bahwa aura dari orang itu memang benar-benar Indigo.

 

Terlebih, satu hal yang perlu ditelisik adalah, istilah Indigo tidak selalu diperuntukkan untuk orang dengan kemampuan khusus yang berhubungan dengan metafisika. Istilah indigo juga ditujukan untuk tujuan-tujuan psikologis dan analisa sistem tubuh, seperti tabel di bawah ini.


 

Sampai sini, tentu kita sekarang bisa memahami istilah Indigo dengan lebih komprehensif. Terima kasih, dan salam.





 Beberapa hari yang lalu, lagi dan lagi aku mendengar kabar dari Garuda bahwa bangsanya sudah salah kaprah menjalani roda kehidupan. Sang Ga...


 Beberapa hari yang lalu, lagi dan lagi aku mendengar kabar dari Garuda bahwa bangsanya sudah salah kaprah menjalani roda kehidupan. Sang Garuda bercerita tentang penderitaan dan kesengsaraan penduduknya karena salah memilih perwakilan. Memang, sudah terbilang 75 tahun negaranya merdeka, namun sekarang tentu saja negaranya sudah tutup usia dan merasakan penjajahan oleh kepentingan oligarki dan pejabat yang ingin dihormat. Bukan hal yang mengejutkan bagiku ketika mendengar itu semua dari Sang Garuda. Bagiku, semua itu sudah dijelaskan oleh Rasulullah, bahwa umur umat beliau adalah berkisar 60-70an tahun. Begitu juga umur sebuah bangsa dengan mayoritas aatu hampir semuanya umat Rasulullah. Tapi apa benar negara Garuda itu sudah tidak merdeka lagi karena ulah perwakilan-perwakilan rakyatnya?


Satu hal, keributan dan dikencangkan dengan sebuah ‘Mosi Tidak Percaya’ oleh rakyat-rakyat yang ada di negara tersebut adalah karena terlalu bebalnya para wakil yang sok mengetahui urusan rakyat dan sok mengetahui mana yang baik bagi rakyat. Bagiku sederhana, terlepas itu benar atau tidak, jika rakyat mereka sudah banyak yang menolak, berarti itu tidak baik, walaupun mungkin saja itu benar. Jika para wakil mengejar kebenaran tanpa mempertimbangkan kebaikan, dan keindahan, tentu saja namanya ketidakseimbangan bernegara. Terleih, negara Garuda itu cahayanya justru terpancar ke seluruh jagat raya sebab keindahan dan keanekaragaman yang ada. bayangkan saja jika ribuan suku di negara tersebut mengejar kebenaran menurut versinya masing-masing, tentu saja akan terjadi peperangan besar yang akan merepotkan malaikat-malaikat, apalagi pejabat. Hanya saja, rakyat dengan beragam warna itu sudah terlatih untuk menciptakan kebaikan dan keindahan. Dan tugas rakyat terberat dari semua itu  adalah mengajarkannya kepada wakil-wakil terhormatnya.


Sang Garuda juga menambahkan, kisruhnya negara Garuda disebabkan hanya karena wakil-wakil terhormat itu mengesahkan Undang-Undang Cipta kerja, begitu mereka memberikan nama. Ketika aku tanya apa saja isi Undang-Undang itu, Sang Garuda hanya menggelengkan kepala. Loh, bagaimana bisa penguasa tak kasat mata dari sebuah negara, yang namanya selalu dijadikan simbol kekuatan ideologi malah tidak mengetahui isi-isi Undang-Undang tersebut. Ternyata, eh, ternyata, masih belum ada yang mengetahui isi final dari Undang-Undang tersebt. Loh, belum ada yang mengetahui kok sudah disahkan? Ternyata, eh, ternyata wakil-wakilnya sibuk menyembunyikan hasrat di dalam kepentingan rakyat.


Kini Sang Garuda hanya bisa berpasrah melihat keadaan negaranya. 75 tahun sudah negaranya merdeka dari kolonialisasi bangsa asing, dan kini mereka semua merasakan kolonialisasi oleh bagian dari dirinya sendiri.


Kenapa wakil mereka tidak mengalah saja dan membatalkan Undang-Undang itu, ya?


Sang Garuda punya jawabannya sendiri, ia mengaku bahwa wakil-wakil yang sekarang menjabat bukanlah dari suara rakyat, melainkan dari hasil kampanye yang menggunakan modal, terlebih setiap individu disana tidak merepresentasikan rakyat, melainkan ego-politik dalam partai masing-masing. Tidak ada wakil petani, tidak ada wakil pedagang, tidak ada wakil cendikia, tidak ada wakil pengusaha, tidak ada wakil guru, tidak ada wakil pemuka agama, tidak ada wakil orang susah, tidak ada wakil orang kaya, semua yang bekerja mengatasnamakan ‘wakil’ hanya bekerja untuk mewakili partai dan mengakomodasi kepentingan kolektif dalam partainya. Negara Sang Garuda sekarang sedang dijajah oleh lebih dari 30 organisasi politik. Semuanya mungkin gagal untuk mewakili rakyat. Dan semua yang aku jelaskan, bukan dari aku, melainkan dari Sang Garuda. Jika ingin menggugat, gugat saja simbol negaramu sendiri. Karena simbol itu saat ini hanya sekedar simbol, nyawanya pun terbang ke angkasa, Sang Garuda kini bebas dari jeratan kekuasaan.


Terlepas dari itu semua, tentu kita harus mendo’akan saudara-saudara kita yang ada disana. Dan semoga, kejadian serupa tidak terjadi di negara kita, Indonesia.

Setiap manusia harus memahami bahwasannya perjalanan hidup tidak akan pernah berjalan mundur atau berhenti, oleh karena itu setiao diantaran...


Setiap manusia harus memahami bahwasannya perjalanan hidup tidak akan pernah berjalan mundur atau berhenti, oleh karena itu setiao diantaranya harus dapat menyesuaikan terhadap obahing jaman atau perubahan zaman. Dan, memang untuk masalah ini manusia adalah makhluk terbaik yang memiliki kemampuan adaptasi cepat dengan apapun kondisinya. Lantas berhubungan dengan beradaptasi terhadap perubahan zaman, tentu saja manusia juga harus memahami intuisinya sebagai seorang manusia yang lengkap, sehingga perubahan zaman tak bisa memaksanya untuk berbuat yang menyimpang entah itu dalam hal agama, moral, dan peraturan negara.


Membingkai problematika tersebut, para nenek moyang kita sebenarnya sudah mempunyai filosofi yang visioner dan bisa digunakan di zaman apapun. Cita-cita luhur ini sebenarnya merupakan kewajiban manusia modern dan manusia post-modern , dan leluhur kita meninggalkan tiga perkara yaitu tugas kemanusiaan (ngamanungsakake rasa kamanungsane), tugas duniawi (Hamemayu Hayuning Bawana), dan tugas ketuhanan (nyebarake agama suci).


Tiga perkara yang menjadi kewajiban warisah luhur oleh para leluhur itulah yang menjadi tameng untuk manusia saat ini agar bisa ngerem saat ingin bertindak menyimpang. Karena dengan perkara itu manusia yang sejati tidak akan merusak alam, melainkan menjaganya. Dan, tiga perkara itu sebenarnya dapat dirangkum dengan satu filosofi yang membumi di Nusantara, Memayu Hayuning Bawana.


Dalam buku ‘Strategi Kebudayaan’ yang ditulis oleh Nasruddin Anshoriy menjelaskan bahwasannya Memayu Hayuning Bawana mengandung tiga unsur dasar yang dibebankan kepada umat manusia, biasanya disebut Tri Satya Brata. Pertama, rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa. Hal ini adalah kewajiban bagi umat mansia untuk menjaga tempat yang saat ini kita pijak berdasarkan dengan intuisi rasa yang sudah diberikan Tuhan dalam setiap diri manusia. Tentu saja sebuah rasa hadir dalam diri manusia yang sudah sering mengolahnya, sehingga rasa tidak tegaan dan rasa belas kasih sering muncul saat melihat fenomena-fenomena yang tidak seharusnya. Oleh sebab itulah manusia yang mempunyai kepekaan rasa tak akan pernah menebang pohon secara liar hanya demi keuntungan uang dan urusan perut. Tidak hanya itu, orang yang terlatih mengolah rasa pasti sudah mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, lebih lagi mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.


Kedua, darmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas manusia adalah menjaga keselamatan negara). Sebagai kewajiban seorang manusia yang hidup dalam aturan negara dan dalam ruang lingkup global, manusia sejati pasti memahami bahwa negara adalah kepentingan kelompok yang majemuk dan bukan kepentingan individua tau golongan tertentu. Manusia yang memahami bahwa ‘negara adalah bagian dari dirinya’ akan senantiasa memberikan sedekah atau pengorbanan kepada negara. Ia tidak terus menuntut kepada negara melainkan memberikan kontribusi kepada negara. Oleh karena itu, pejabat yang sedang menjabat seharusnya memiliki kepekaan terhadap sifat ini sehingga program kerjanya bukan hanya untuk memuaskan isi dompetnya melainkan karena kewajiban berat untuk menjaga negara yang ia pijak. Dan sepertinya filosofi nenek moyang ini juga didakwahkan oleh KH Wahab Chasbullah dalam lagunya, ‘Hubbul Wathon Minal Iman’.


Ketiga, rahayuning manungsa dumadi karana kamunangsane (Keselematan manusia oleh kemanusiaannya sendiri). Kemanusiaan adalah sifat yang paling tinggi dalam diri seorang manusia. Kemanusiaan berarti memanusiakan manusia dan melayani manusia lebih baik dari ia melayani dirinya sendiri. Hal ini tentu akan menciptakan asas kebermanfaatan kepada sesame manusia. Sehingga tentu filosofi luhur ini juga sejalan dengan yang Rasulullah ajarkan, bahwa umat Islam itu ibarat satu tubuh. Jika salah satu tubuh terluka, maka tubuh yang lain akan merasakan sakit. Dan juga, ajaran Rasulullah bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang memberikan manfaat.


Filosofi Memayu Hayuning Bawana rupanya mengandung misi akbar bagi manusia di dunia dalam tiga subsatnsi, yaitu: Hamengku bawana, hamengku nagara, hamengku bumi. Tentu tiga substansi itu akan melahirkan manusia sebagai jalma kang utama, atau biasa disebut makhluk yang terbaik. Dalam kaidah Islam, sifat seperti ini disebut ‘Ahsanu Taqwim’.


Manusia yang sudah menjadi manusia sejati akan bisa menyeimbangkan perannya sebagai manusia dengan kewajibannya kepada alam semesta. Sehingga konsep Rahmatan lil ‘alamin bukanlah konsep yang diberikan untuk Rasulullah Muhammad saja, melainkan konsep umu yang ditugaskan untuk kita sebagai manusia modern atau manusia post-modern ini. oleh sebab itu, konsep Rahmatan lil ‘alamin bukanlah sebuah konsep yang datang begitu saja, melainkan sebuah konsep yang mengharuskan manusia untuk memahami jati dirinya terlebih dahulu, dan memahami peran kehidupannya. Hingga puncaknya adalah menjadi manusia yang insan kamil, yang menjadi jalma kang utama, atau menjadi manusia yang rahmatan lil ‘alamin.


  Dogma rupanya sudah menjadi masalah tersendiri dalam beragama. Entah sejak kapan Islam dibelenggu oleh dogmatisme semacam ini. Padahal...


 

Dogma rupanya sudah menjadi masalah tersendiri dalam beragama. Entah sejak kapan Islam dibelenggu oleh dogmatisme semacam ini. Padahal, Allah dan rasul-rasul tidak pernah mengajarkan dogmatisme itu. Beragama dengan dogma berarti beragama dengan ‘memaksakan’ kehendak. Orang yang dianggap pintar akan mengirimkan ajarannya kepada murid-muridnya secra kaku , persis, dan seutuhnya. Hal ini seakan membuktikan bahwa substansi agama selalu bersifat statis.

 

Tidak boleh ada perbedaan dalam beragama. Para ‘pemuka-pemuka’ agama seakan menanamkan doktrin bahwa dalam beragama harus tegas namun tanpa didasari oleh dinamika berpikir. Doktrin-doktrin sering digelontorkan untuk menanamkan dogma kepada para murid atau yang menuntut ilmu.

 

Hasil dari sistem dakwah yang dogmatis ini akhirnya membuat rasa primordial yang tinggi. Menganggap bahwa golongannya adalah yang paling benar, merasa bahwa ustadznya adalah yang paling benar, bahkan hal yang lebih ekstrim lagi adalah bukan hanya merasa paling benar, namun menganggap kafir saudara-saudara muslim yang di luar dari halaqohnya.

 

Padahal secara gamblang, Allah sudah beberapa kali berfirman dalam Al-Qur’an agar beragama tanpa paksaan karena agama merupakan sebuah fitrah, dan fitrah sudah pasti tidak terikat oleh doktrin. Dalam surah Ar-Rum ayat 30, Allah menjelaskan bahwa agama adalah fitrah, kemudian dalam surah Al-Baqarah ayat 256, Allah menjelaskan bahwasannya tidak ada paksaan dalam beragama. Dan surah Yunus ayat 99 yang menjelaskan tentang kesia-siaan memaksa orang lain dalam beragama.

 

Dari sinilah kita seharusnya mulai membuka pikiran mengenai beragama dengan akal sehat, dan bahwasannya agama bukanlah mengenai doktrin yang kaku yang membenarkan jalan yang lurus hanya bisa dilalui dengan satu cara saja. Hal ini tentu saja selaras dengan peran Nabi Muhammad sebagai Rahmatan lil ‘alamin. Selain itu, alangkah lebih baiknya kita juga mengetahui apakah indoktrinisasi juga hidup saat para utusan Allah menjalankan peran beragama.

 

Jika bercermin kepada kehidupan Rasulullah, beliau bahkan tidak pernah memaksakan dalam beragama, atau beliau bahkan tidak pernah meneladankan untuk menjadi sama persis seperti beliau. Karena sebenarnya beliau paham setiap manusia memiliki pembawaan dan kemampuan yang berbeda-beda. Hal yang terpenting adalah substansinya dan bukan ritualnya. Maka sejak beliau hidup, beliau tidak pernah memaksa para sahabatnya untuk bersikap seragam. Bahkan, sampai cara sholat pun Rasulullah hanya mengatakan “Sholatlah kalian sebagaimana melihat aku sholat.” Tentu saja perkataan itu multitafsir dan tidak ada kebenaran tunggal. Dari situlah keberagaman keluar. Ulama memiliki keberagaman pandangan dan penafsiran. Semua itu terjadi karena fitrah kebenaran bukan hanya dari satu pintu.

 

Beragama dengan akal

 

Allah berkali-kali mengingatkan bahwasannya akal dan pikiran adalah hal yang penting dalam beragama. Akal dan pikiran juga merupakan aset yang penting untuk manusia. Lalu mengapa kita masih sering salah kaprah dalam beragama? Memang ada konteks yang tidak cukup menggunakan akal, perlu adanya iman. Hal-hal muamalah seharusnya masih dapat ditampung dengan akal pikiran. Sedangkan hal-hal yang manusia masih belum mampu menemukan jawaban, tentu perlu kita Imani. Jadi dalam konteks ini akal sehar digunakan untuk membuat peran agama bukan hanya perkara iman, melainkan juga cakrawala berpikir untuk mempertajam kecerdasan.

 

Oleh karena itu Allah selalu menggambarkan para utusan-Nya yaitu para Rasul dan Malaikat sebagai makhluk yang berakal dan cerdas. Hal ini juga digambarkan dalam surah An-Najm ayat 1-6 yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mendapatkan wahyu bukan karena hawa nafsunya, melainkan wahyu tersebut turun dari Jibril yang mempunyai akal yang cerdas dan diajarkan kepada Nabi Muhammad. Dalam konteks ini kita dapat menggarisbawahi bahwa Allah menggambarkan Jibril sebagai utusan yang mempunyai akal yang cerdas. Lalu mengapa masih banyak diantara kita yang masuk dalam lingkaran dogma?

 

Akal merupakan modal penting dalam beragama, bahkan Al-Quran diturunkan untuk orang-orang yang berakal agar dapat mengambil pelajaran, sesuai dengan surah Ibrahim ayat 52. Jika jalan menuju pembelajaran saja sudah dimonopoli oleh ‘pemuka agama’, lalu kebenaran yang mana yang akan kit acari dan dapatkan? Agama tidak lagi menjadi alternatif belajar, melainkan menjadi sarana penanaman doktrin yang menyeramkan dan kaku.

Afala ta’qilun, apakah kamu tidak menggunakn akalmu?

Afala tatafakkarun, apakah kamu tidak berpikir?

 

Dua pertanyaan dari Allah itu seakan menampar kita sebagai manusia untuk mengoptimalkan kerja akal dan pikiran kita dalam beragama. Karena tanpa akal dan pikiran, agama hanya akan menjadi candu yang memabukkan dan dogmatis. Kontrol dari itu semua hanya ada pada akal dan pikiran.



Lima tahun terakhir menjadi tahun-tahun yang berat bagi Pancasila karena ideologi Indonesia ini sering muncul untuk didiskusikan dalam forum...


Lima tahun terakhir menjadi tahun-tahun yang berat bagi Pancasila karena ideologi Indonesia ini sering muncul untuk didiskusikan dalam forum-forum kecil dan forum berkelas nasional sekalipun. Setidaknya ada dua sudut pandang yang bisa menggambarkan fenomena ini; satu, Pancasila menjadi ideologi yang kuat namun para elit gagap dalam memahami Pancasila sehingga saat mendiskusikannya, ia tidak membawa amunisi yang banyak atas Pancasila; dua, kita sebagai rakyat meyakini Pancasila sebagai ideologi namun memerlukan diskusi untuk membuktikan bahwa falsafah itu benar.


Munculnya wacana bahwasannya Pancasila adalah ideologi final bahkan sudah dideklarasikan sejak tahun 1940-an, namun anehnya di tahun 2020 ini sebuah diskursus panjang terhadap Pancasila membuat wacana ‘Pancasila adalah ideologi final’ ini keluar kembali. Sebenarnya apa yang terjadi dari fenomena-fenomena ini.


Saya setidaknya melihat bahwasannya konteks Pancasila saat ini dan dulu sudah berbeda. Pada tanggal 1 Juni 1945, pada saat Presiden Soekarno memberikan pidato dengan judul ‘Lahirnya Pancasila’, konteks Pancasila hadir atas dasar sebagai jawaban dari hiruk-pikuk yang terjadi. Sehingga masyarakat secara sadar meyakini bahwasannya untuk hidup dalam ketidakseimbangan ini perlu adanya arah yang menyeimbangkan, dan penyeimbang itulah bernama Pancasila. Tentu saja dalam konteks ini, Pancasila menjadi sesuatu yang final karena menjawab tantangan zamannya. Terlebih, aplikasi terhadap Pancasila pada zaman dahulu sangat kental sehingga pengetahuan teoritis mengenai Pancasila tidaklah disebut ‘Pancasilais’.


Dalam konteks sekarang, Pancasila masih dan akan tetap menjadi sebuah penyeimbang kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya saja, wacana Pancasila sebagai ideologi final dikeluarkan bukan karena sebagai jawaban atas puasnya rakyat terhadap Pancasila, melainkan wacana tersebut dimunculkan kembali oleh para pengambil kebijakan dan para politisi untuk memenangkan kepentingan yang mereka bawa. Sehingga Pancasila hanya dipahami atas dasar pengetahuan, dan bukan pengaplikasiannya. Hal ini bisa sangat membahayakan karena jika Pancasila hanya dianggap sebagai doktrin, maka ruang diskusi terhadap Pancasila juga akan dibatasi. Atas dasar politik, Pancasila digunakan tameng sebagai katrol kepentingan. Namun, atas nama kestabilan negara, diskusi Pancasila menjadi ruang yang menegangkan dan diawasi oleh pihak-pihak tertentu.


Mengganti Pancasila sebagai Ideologi adalah suatu hal yang ‘haram’. Namun mendiskusikan Pancasila sebagai ideologi adalah cara meluaskan perspektif sehingga Pancasila menjadi sebuah ideologi yang bisa diakses oleh siapa saja. Pancasila adalah ideologi final bangsa Indonesia. Namun pengkajian mengenai Pancasila harus tetap berjalan sampai kapanpun agar masyarakat juga mengetahui bahwa Pancasila bukan hanya mengenai kehidupan masa lalu, namun juga saat ini dan ke depan.


Pancasila adalah Ideologi Terbuka


Sudah menjadi barang lama bahwasannya Pancasila merupakan ideologi terbuka, namun sebenarnya apa makna dibalik itu semua?


Menurut Franz Magnis Suseno, ideologi dikategorikan menjadi tiga; ideologi tertutup, ideologi terbuka, dan ideologi tersirat. Maksud dari ideologi tertutup adalah bahwasannya ideologi tersebut melegitimasi penuh monopoli elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi, bersifat dogmatis dan apriori, dalam arti ideologi tersebut tidak bisa dikembangkan berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi tertutup adalah klaim atas kebenaran dan tiak boleh diragukan.


Sedangkan ideologi terbuka mempunyai makna bahwasannya ideologi ini menyuguhkan orientasi dasar sehingga dalam aplikasi kesehariannya akan selalu berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat. Praktek kehidupan dalam ideologi ini tidak bisa dimaknai secara apriori melainkan harus sesuai keputusan yang demokratis sebagai bentuk cita-cita bersama.


Dan, ideologi tersirat adalah sebuah ideologi yang hadir dalam amsyarakat-masyarakat tradisional yang mengatur tentang bagaimana mereka harus hidup sehari-hari. Ideologi ini hanyalah implisit saja, karena tidak diturunkan dan diajarkan namun cita-cita dan keyakinan yang ada sangat berdimensi ideologis.


Dari beberapa penjelasan mengenai ideologi, kita seharusnya sudah paham bahwasannya letak Pancasila adalah sebagai ideologi yang terbuka. Sehingga wacana-wacana dapat didiskusikan dan menjadi sarana untuk memperkaya wawasan ideologis kita sebagai bangsa Indonesia.

 

Hebatnya Pancasila di Tengah Arus Filsafat Ideologi Besar


Penulis memahami mengapa Pancasila memang menjadi ideologi yang final, hal ini didasari karena Pancasila berbeda dengn ideologi-ideologi dunia yang berakar dari tiga filsafat.


Pertama, Filsafat Idealisme (philosophy of Idealism), filsafat ini mengedepankan faham rasionalitas dan individualitas sehingga dalam berpolitik filsafat ini melahirkan ideologi Liberalisme dan Kapitalisme. Ideologi ini beranggapan bahwa manusia adalah pusat dari segalanya. Atas dasar itulah dalam praktek beragama pun ideologi ini mengatur bahwa hubungan agama dan negara adalah terpisah.


Jika berkaca dari ideologi tersebut, apakah Pancasila salah satunya? Tentu tidak, Pancasila bahkan mengakomodasi antara nilai keagamaan dalam bernegara.


Kedua, Filsafat Materialisme (philosophy of materialism), filsafat ini mengedepankan faham emosionalitas berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivitas. Dalam kehidupan berpolitik, filsafat ini melahirkan ideologi Sosialisme dan Komunisme. Dalam kehidupan beragama, filsafat ini bahkan lebih ekstrim dari filsafat pertama. Dalam praktik, agama bahkan dianggap menjadi candu yang bisa menghmabat laju negara.


Jika berkaca dari sini, saya pikir sangat tidak cocok dengan Pancasila. Pancasila justru menjadi sebuah jawaban atas kehidupan berbangsa dan beragama dengan sangat harmonis dan dialektis.


Ketiga, filsafat teologisme (philosophy of teologism), filsafat ini meyakini bahwasannya ajaran Tuhan menjadi sentral dari kehidupan bernegara. Sehingga faham ini sangat membuka peluang sebagai sarana pengkultusan seseorang untuk mengambil peranan dalam beragama.


Jika berkaca dari filsafat itu, saya kira Pancasila sangat tidak seperti itu. Pancasila bahkan mampu menjembatani iman dan akal untuk berjalan seimbang. Sehingga tentu saja dalam praktik kehidupan di Indonesia, jika ada seseorang yang mengaku menjadi Nabi atau malaikat pasti akan segera diamankan oleh petugas karena Pancasila juga mengatur dalam keseharian kita untuk menjauhi kemusrikan dan tidak ada pengkultusan individu.


Dari semua penjelasan di atas, sangat aneh rasanya jika masih banyak yang membatasi ruang gerak Pancasila sehingga membatasi diskusi-diskusi Pancasila. Padahal bukan Pancasilanya yang salah melainkan wawasan kita terhadap Pancasila yang minim. Jika sudah seperti itu, para elit akhirnya memilih untuk tidak berdialog atau memilih untuk tidak mengikuti diskusi karena khawatir mereka akan gagap dalam menjelaskan Pancasila. Padahal, Pancasila juga merupakan sebuah wadah kritik terhadap Pemerintah atas ketidakseimbangan bernegara.


Banyak sekali produk-produk budaya di tanah air saat ini yang mengadopsi bentuk fisik maupun bentuk moral dari pengalaman masa lalu, ba...




Banyak sekali produk-produk budaya di tanah air saat ini yang mengadopsi bentuk fisik maupun bentuk moral dari pengalaman masa lalu, baik itu di tatanan arsitektur hingga pendidikan. Terang saja jika Indonesia menjadi salah satu negara yang diakui memiliki keragaman yang luar biasa di dunia ini. Selain gerusan arus global yang sangat kuat, Indonesia dengan gagahnya masih mampu mempertahankan identitasnya sebagai ‘Nusantara’. Tak luput dari semua aspek kehidupan, terutama adalah hal Pendidikan. Jika dilihat dari sejarah Pendidikan yang ada di Indonesia, rupanya Pondok Pesantren merupakan simbol atau simplifikasi dari Pendidikan Nusantara jaman dahulu.


Sistem pendidikan dengan model dukuh, asrama, atau padepokan merupakan cara pendidikan yang sudah ada sejak jaman Hindu-Budha. Munculnya para walisongo akhirnya juga mengadopsi model pendidikan yang sudah ada. Menurut Zaini Achmad Syis dalam buku berjudul Standarisasi Pengajaran Agama di Pondok Pesantren (1984), sebenarnya konteks pendidikan pesantren yang representatif mencitrakan sistem pendidikan Islam di Nusantara adalah pengambilalihan bentuk Pendidikan sistem biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan bhiksu saat proses belajar dan mengajar. Itulah mengapa pondok pesantren biasanya disebut berasal dari mandala Hindu-Buddha. Terlebih, Clifford Geertz juga pernah mengatakan bahwa pondok pesantren mengingatkan orang pada biara, tetapi santri bukanlah para pendeta.


Seiring waktu berjalan, dukuh yang akhirnya disebut ‘pesantren’. Dan, kata ‘santri’ sendiri sebenarnya adalah adaptasi dari istilah sashtri yang berarti orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra). Tidak hanya itu, dalam pesantren juga diajarkan bagaimana tata krama dalam menuntut ilmu, biasanya menggunakan kitab Ta’limul Muta’allim karya Syaikh az-Zarnuji. Rupanya, tata krama yang diajarkan di dalam pondok pesantren juga sebenarnya selaras dalam ajaran Hindu-Buddha yang diberi nama ‘gurubakti’.


Usaha adaptasi para walisongo terhadap sistem Pendidikan model dukuh dan asrama ini rupanya juga membawa dampak yang sangat dignifikan untuk para santri dalam memahami ajaran Islam dan mengajarkan nilai-nilai sosio-kultural. Sehingga dengan proses pembelajaran melalui model dukuh dan asrama, para santri tidak hanya dapat memahami ilmu agama saja, melainkan juga kompleksitas dalam bersosial dan berbudaya. Sehingga, para santri mempunyai pemahaman yang mumpuni jika sudah keluar atau menyelesaikan pembelajarannya di pesantren.


Terlepas dari itu semua, sebenarnya konsep pembelajaran Nusantara yang paling penting bukanlah pada hal fisiknya melainkan peristiwa moral. Dan, ada satu titik temu yang membuat pondok pesantren masih relevan dengan pendidikan di Nusantara kala itu. Konsep moral dan tata krama dalam Pendidikan adalah bahwasannya guru harus dimuliakan, sehingga yang patut untuk datang saat ingin menuntut ilmu adalah murid atau santri. Pada jaman dahulu tidak ada les privat dengan guru datang ke rumah. Ada filter dari masyarakat bahwasannya jika ingin belajar suatu ilmu, maka harus datang ke orang tertentu. Guru yang mendapat pengakuan dari masyarakat bukanlah seseorang yang telah menamatkan studi hingga tinggi, melainkan seseorang yang memang dianggap masyarakat ‘pantas’. Filter ini lah yang masih bertahan di dunia pondok pesantren, dimana santri lah yang datang ke tempat guru berada. Menuntut ilmu dengan kurun waktu tertentu dan masyarakat pun meyakin bahwa sosok yang berada di pondok pesantren itu adalah pantas. Karena adanya filter dari masyarakat inilah yang menjadikan setiap pondok pesantren memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Aturan paling baku, kurikulum paling ampuh bukan pada yang tertulis dalam kertas, kurikulum paling ampuh itu ada pada sosok guru atau kyai. Kurikulum hidup yang dapat memahami setiap santrinya. Kurikulum hidup yang dekat dengan Allah, sehingga membuat ilmu yang diajarkan akan selalu mendekatkan kepada Allah. Ya, itulah Pendidikan yang sudah diwariskan dari dulu. Pendidikan pondok pesantren yang bukan hanya sekedar menjadikan pintar, melainkan menjadikan santrinya menjadi manusia yang paripurna.



Banyak yang mempunyai persepsi ‘mistis’ jika mendengar kata Kejawen. Satu kata yang diasosiasikan sebagai laku-laku spiritual yang penuh den...


Banyak yang mempunyai persepsi ‘mistis’ jika mendengar kata Kejawen. Satu kata yang diasosiasikan sebagai laku-laku spiritual yang penuh dengan ghaib khas orang Jawa ini rupanya mempunyai cerita panjang dan salah tafsir. Tidak heran jika banyak diantara kita yang mengetahui bahwasannya laku spiritual orang Jawa adalah Kejawen, mungkin karena namanya ada jawa-jawanya kali ya. Padahal Kejawen bukanlah hal yang seram dan mencekam.


Konsepsi pertama adalah, jika membicarakan mengenai laku spiritual khas Jawa atau Nusantara, maka kejawen bukanlah sebuah terminologi yang cocok. Karena kejawen sendiri baru muncul saat era Wali Songo. Dalam buku Ketua Les Bumi NU, Agus Sunyoto, beliau menjelaskan bahwasannya agama asli Jawa adalah Kapitayan, dan bukan animism, dinamisme, atau kejawen.


Lalu, sebenarnya dari mana datangnya istilah Kejawen ini?


Dalam artikel kali ini, penulis mendasarinya dari sumber yang terpercaya, yaitu sebuah Induk Ilmu Kejawen yang ditulis oleh Damar Shasangka. Isi dari buku tersebut adalah terjemahan dari kumpulan Wirid Hidayat Jati, sebuah informasi-informasi Kejawen dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan diteruskan oleh Kanjeng Sultan Agung Prabhu Anyakrakusuma dandilanjutkan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita.


Wirid Hidayat Jati adalah rujukan utama bagi penganut Kejawen. Jika ditelusuri, Kejawen pada mulanya diprakarsai oleh para Wali Songo. Karena pembawanya adalah para Wali yang menyebarkan agama Islam di Nusantara, tentu saja aromanya adalah Islam Tasawuf. Ajaran Kejawen bahkan ditulis dengan Bahasa Jawa baru dan naskah-naskah aslinya masih disimpan rapi di Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Pakualaman, Mangkunegara, dan Kecirebonan.


Perkembangan selanjutnya, karena ketidaktahuan masyarakat umum, Kejawen dianggap sebagai sebuah aliran di luar dari Islam. Sehingga biasanya yang mengaku sebagai Kejawen akan dikucilkan karena mendapat stigma negatif dari golongan selainnya. Hal ini akhirnya juga mengakibatkan putusnya hubungan mereka dengan Islam, dalam artian, penganut Kejawen juga akhirnya memisahkan diri dari Islam. Di abad ke-19, dimana hubungan antara Kejawen dan Islam memburuk, akhirnya muncul sebuah wacana ahistoris yang mengaburkan sejarah dan menyatakan bahwasannya Kejawen adalah agama asli Jawa.


Oleh karena itu, dengan mengacu kepada sejarah, alangkah baiknya definisi Kejawan diluruskan. Dan, atas dasar itu pula perlu mempertimbangkan fakta-fakta sejarah mengenai Kejawen, diantaranya adalah. Satu, Kejawen pada mulanya dibawa oleh para wali dan bukanlah ajaran asli Jawa karena tidak dijumpai istilah Kejawen pada lontar-lontar Majapahit atau kerajaan-kerajaan di atas majapahit. Dua, Kejawen adalah ajaran dengan substansi Islam karena banyak sekali dijumpai naskah-naskah yang saat ini juga masih disimpan rapi di keraton-keraton.


Sebenarnya, nama Wirid Hidayat Jati sendiri adalah nama yang diberikan oleh Ranggawarsita yang mengumpulkan wejangan-wejangan ilmu kejawen. Dan secara konotasi, Wirid Hidayat Jati mempunya arti yang luas dan besar. Wirid sendiri berarti sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan dilakukan secara terus-menerus. Sedangkan hidayat berarti petunjuk, sebuah kata dari Bahasa Arab. Dan, jati adalah kata yang berasal dari kata sejati dan memiliki arti yang sesungguh-sungguhnya, atau sebenar-benarnya. Jika digabungkan maka makna dari Wirid Hidayat Jati sendiri kurang lebih ‘wejangan yang berisi petunjuk kebenaran untuk memicu para hamba agar senantiasa beribadah kepada Allah.’


Namun, sebelumnya Wirid Hidayat Jati ini sering dikenal dengan berbagai macam sebutan, diantaranya adalah Ngelmu Kasampurnan, Ngelmu Kak (Ilmu Haq), dan Ngelmu Sangkan Paraning Dumadi. Tetapi sebenarnya istilah-istilah tersebut juga dapat ditemui dalam Wirid Hidayat Jati.


Yang terakhir adalah, sesungguhnya yang disebut Kejawen adalah ajaran-ajaran yang tertulis dalam Wirid Hidayat Jati. Jadi, tidak benar jika kita memberikan stigma bahwa kejawen adalah agama asli jawa atau kejawen terlepas dari substansi keislaman. Justru kejawen adalah corak Islam tasawuf yang disebarkan oleh para wali songo.


  Budaya selalu muncul dimana manusia ada. kebutuhan akan hal spiritual ataupun kebutuhan secara jasmani membuat manusia menciptakan buday...

 

Budaya selalu muncul dimana manusia ada. kebutuhan akan hal spiritual ataupun kebutuhan secara jasmani membuat manusia menciptakan budaya. Sesuatu yang dikenal dengan olah cipta, rasa, dan karsa membuat manusia bertahan hidup, dan produk dari manusia ini adalah budaya. Tak lepas juga dengan hal-hal spiritual, ritus-ritus keagamaan, dan cerita dibaliknya adalah keanekaragaman budaya karena masih melekat dengan kehidupan manusia. Di masa pandemi ini, rupanya agama juga berperan penting untuk mengkontrol perilaku manusia agar sesuai koridor atau protocol yang aman dan normatif. Tak hanya itu, dengan adanya pandemic ini kita juga mengetahui bahwasannya agama bukanlah doktrin, karena alternatif dalam peribadatan diperbaharui. Peran manusia dalam berijtihad adalah hasil dari hadirnya budaya dalam pagar agama.


Di sisi lain, rupanya masyarakat Tengger, atau biasanya dikenal dengan sebutan Wong Tengger juga merasakan perubahan dalam peribadatannya. Suku yang mendiami empat kabupaten di Jawa Timur ini sangat erat kaitannya dengan budaya yang sudah menjadi budaya nasional. Memang budaya muncul dari kebutuhan manusia, dan Sebagian besar wong tengger ini adalah petani sehingga kebudayaan jasmani dan kebudayaan spiritualnya juga mungkin selaras untuk menunjang kebutuhan masyarakatnya. Contohnya adalah upacara Yadnya Kasada. Upacara Kasada aalah upacara untuk meluapkan rasa syukur atas hasil ternak dan hasil bumi yang melimpah.


Dan. Pada awal Juli nanti masyarakat tengger akan mengadakan upacara kasada. Upacara yang biasanya menjadi ajang pariwisata yang mendatangkan ribuan orang dari sudut negeri ini selalu ramai. Esensi spiritual yang tertangkap di layar kaca biasanya kurang dominan karena banyaknya manusia yang hadir. Kekhidmatan dalam bersyukur terdegradasi karena banyak pengunjung belum mengetahui esensi budaya spiritual ini sehingga dengan gampangnya datang dan sibuk berswa-foto atau hanya sekedar menjawab rasa penasaran terhadap upacara ini. semua dilakukan karena Bromo dan Tengger sudah menjadi salah satu destinasi ‘Pariwisata Internasional’. Memang dalam hal ekonomi negara, itu akan menguntungkan, lantas bagaimana dengan munculnya ajang pariwisata di dalam substansi budaya yang sakral? Tak bisa dinafikkan bahwa komodifikasi hadir dalam budaya yang sakral sekalipun.


Saya sebagai penulis sangat bersyukur rupanya Kasada masih tetap diadakan di tahun ini, dan pasti akan tetap ada selama masyarakat tengger masih membutuhkan. Dan hal yang membuat saya lebih bersyukur lagi adalah bahwasannya upacara Kasada yang akan diadakan di tengah pandemi ini hanya diperuntukkan masyarakat tengger saja, alias, upacara kasada akan dijalankan oleh pemeluknya saja dan tidak menghadirkan wisatawan. Hal ini merupakan sebuah simbol bahwasannya untuk sejenak, kebutuhan atas spiritualitas tidak lagi dicampur dengan kebutuhan pariwisata.


Maksud dari ini semua adalah bahwasannya Suku Tengger akan menjalani kebutuhan atas upacara kasada tanpa ada komodifikasi budaya. Tidak ada kepentingan-kepentingan di luar kepentingan ibadah. Inilah upacara yang normal dan seharusnya memang seperti itu.


Jauh sebelum adanya komodifikasi budaya, upacara kasada memang dilakukan secara khidmat dan hanya didatangi oleh penganutnya, tanpa embel-embel pariwisata dan tanpa ‘wisatawan’. Namun semenjak dijadikan menjadi destinasi wisata, semua berubah menjadi kepentingan pariwisata. Tentu saja substansi upacaranya sebagai sesuatu yang sakral tidak berubah, namun orientasinya pasti tidak hanya satu arah, melainkan banyak arah karena banyak pihak-pihak yang ikut campur dalam proses budaya ini.


Old normal, yadnya kasada akhirnya kembali kepada substansi budaya spiritual tanpa diirngi dengan kepentingan pariwisata. Walaupun hanya sejenak, setidaknya upcara kasada bisa kembali ke porosnya. Dan, suku tengger pun tidak merugi sedikitpun atas kebijakan ini. karena jauh sebelum destinasi wisata ditetapkan, mereka juga sudah menjalani kasada ini dengan tanpa ‘wisatawan’.

 


Kehidupan modern nyatanya mempunyai dampak yang meluas di segala lini kehidupan. Namun, sebenarnya segala hal yang ada di dunia ini t...




Kehidupan modern nyatanya mempunyai dampak yang meluas di segala lini kehidupan. Namun, sebenarnya segala hal yang ada di dunia ini tentu pasti ada akarnya. Dan konsep yang demikian tak terlepas dari modernitas itu sendiri. Perlu dikeahui bahwasannya konsep modern bukanlah hadir hanya pada infrastruktur ataupun bentuk fisik yang sudah disandingi dengan kemampuan pintar teknologi. Modern merupakan terminologi masa kini yang hadir untuk menggeser masa lalu, yaitu ‘tradisional’.

Apakah benar modernitas itu ada? atau sebenarnya modernitas itu adalah cara manusia saat ini untuk mengkemas ulang tradisionalitas? Jika kita telisik, sebenarnya dikotomi antara modern dan tradisional lahir di masa ‘sekarang’. Sedangkan jika kita berbelok kepada pengalaman masa lalu, maka pengalaman yang cocok adalah pengalaman atas ketradisionalan. Dan, dapat disimpulkan bahwasannya modern dan tradisional itu melekat pada waktu.

Jika melihat dari definisi yang diberikan oleh sebagian para ahli, modern atau modernisasi itu sebenarnya adalah transformasi total kehidupan bersama yang tradisional dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis. Kita bisa menggarisbawahi bahwasannya sebenarnya modern adalah sebuah transformasi. Namun, secara sepihak sebenarnya definisi tersebut juga seakan melakukan judgement kepada masa lalu (tradisional) sebagai ‘tidak modern’.

Padahal, fenomena sosial maupun fenomena budaya yang terjadi di masa lalu merupakan aspek modernitas dan akar dari modernitas yang saat ini. banyak sekali hal-hal yang modern yang berakar pada tradisionalitas. Bahkan beberapa hal yang dibilang tradisional belum bisa dijelaskan oleh manusia modern saat ini. dan banyak pula hal modern yang saat ini terjadi sudah digambarkan oleh manusia masa lalu yang dianggap sebagai masyarakat tradisional.

Disini, penulis akan memberikan beberapa contoh yang berkaitan dengan tradisional dan modern. Pertama, dukun beranak, jauh sebelum profesi kebidanan hadir dalam subjek pengetahuan, manusia ‘tradisional’ sudah mengetahui teori dan konsep cara menangani kelahiran. Bahkan para dukun beranak tidak hanya dibekali dengan pengetahuan praktis namun juga pengetahuan spiritual. Namun, rupanya zaman menelan profesi ‘tradisional’ tersebut dan akhirnya ditransformasikan menjadi Bidan. Sekolah-sekolah kejuruan, kampus-kampus berlomba-lomba membuka lowongan pengetahuan untuk mempelajari kebidanan. Bahkan, banyak pula dukun beranak yang harus bermitra kepada bidan dulu untuk bisa membantu. Standar modern rupanya menggeser nilai kearifan masa lalu. Tak hanya itu, monopoli terminologi juga digencarkan. Para intelektual lebih suka mengambil nama ‘bidan’ ketimbang ‘dukun’ karena aspek ‘modern’ dan ‘tradisional.’ Padahal, segala konsep dan ide justru datang jauh sebelum munculnya bidan. Lalu siapa yang modern dan siapa yang tradisional jika begini?

Kedua, Sistem perbankan syari’ah. Jauh sebelum bank-bank di zaman modern ini muncul, konsep dan teori keuangan justru sudah diatur dalam konsep Islam. Saat ini justru sistem bank syari’ah ini mempunyai market yang besar, sehingga banyak yang tertarik untuk menjadi nasabah. Padahal jika kita telisik, konsep ini justru ratusan bahkan ribuan tahun sudah ada namun nyatanya baru masif digunakan di satu dekade terakhir ini. lalu, siapa yang modern dan siapa yang tradisional?

Ketiga, alat minum Kendhi. Jika kita biasanya minum air dengan mengambil air dari galon dan dituangkan ke gelas kaca atau plastik, maka cara minum pada zaman dulu bukanlah dari gelas kaca melainkan dari alat minum dari gerabah, yaitu kendhi. Rupanya konsep tradisional ini membuat manusia modern takjub, dibalik kendhi ada banyak manfaat Kesehatan yang diberikan, diantaranya adalah air dari kendhi dapat meningkatkan metabolisme tubuh, air dalam kendhi juga dapat menyesuaikan pH air yang diinginkan tubuh kita, dan masih banyak yang lain. Rupanya modernitas masih tertinggal jauh dari pengetahuan masa lampau. Lalu siapa sebenarnya yang modern dan siapa yang tradisional?

Dan, tidak hanya itu, bahkan konsep yang digunakan manusia ‘tradisional’ masih banyak yang belum bisa dijawab oleh manusia modern, walaupun sudah berabad-abad waktu yang diberikan, tetap saja tidak bisa. Semisal; menjelaskan tentang peristiwa Isra’ Mi’raj secara intelektual, menjelaskan bagaimana sebuah candi pada masa singosari bisa berdiri kokoh walau tanpa semen, dan banyak yang lainnya. Sedangkan kemunculan peristiwa modern justru dianggap biasa oleh masyarakat ‘tradisional’, contohnya; munculnya pesawat, kereta, orang zaman dulu akan menjawab ‘Itu sudah diramalkan Jayabaya, gak perlu kaget.’

Nah, sebenarnya konsep modern dan tradisional itu masih bias. Tidak ada yang mutlak. Jadi dikotomi yang terjadi antara keduanya sebenarnya hanyalah semu. Modern hanyalah terminologi untuk ‘berjualan’ di masa saat ini. sedangkan tradisional hanyalah sebuah termiologi untuk menyudutkan produk lama.

Bagi para santri, kiai adalah simbol keteladanan dalam bertauhid dan berjihad dalam jalur ilmu. Oleh sebab itu tidak jarang jika santri m...


Bagi para santri, kiai adalah simbol keteladanan dalam bertauhid dan berjihad dalam jalur ilmu. Oleh sebab itu tidak jarang jika santri memiliki sifat tawadhu’ yang sangat luar biasa kepada kiai. Namun, jika dibenturkan dengan pengetahuan empiris, tentu saja hubungan santri dan kiai tersebut akan terkesan vertikal dan sangat feodal. Namun bagi saya, pengetahuan modern tidaklah bisa menampung semua aspek ilmu Allah dan belum bisa menguraikan konsep “berkah” sehingga banyak sekali lelaku santri kepada kiainya yang disalahartikan dan terkesan dipaksakan untuk memenuhi ruang ilmu modern.

Ngalap berkah, pasti santri mengetahui betapa berharganya “perlombaan” itu. Santri rela berlari-larian untuk merebut kopi kiai yang masih tersisa di gelas. Santri rela sikut-sikutan untuk mendapatkan sisa air putih dari gelas kiai. Santri juga rela berdesak-desakan untuk mencium tangan kiai dan berlama-lama memegang tangan kiai. Ada apa sebenarnya dengan pendidikan pesantren ini, kok kelihatannya berbeda dengan penuntut ilmu modern. Sepertinya ada ruang kosong yang tidak dimiliki penuntut ilmu modern yang jauh dari budaya luhur ini.

Ngalap berkah, atau mencari berkah, memang dari perlombaan untuk mencari berkah yang sudah saya sebutkan tadi terkesan seperti “merepotkan diri sendiri”. Untuk apa harus saling mendahului dan rela mengeluarkan tenaga hanya untuk meminum sisa minuman kiai dari gelas atau hanya untuk mencium tangan kiai? Bagi kaum kontemporer dan sekuler, mungkin hal itu adalah hal yang aneh. Namun perlu kita ketahui bahwasannya ngalap berkah adalah fenomena budaya Timur yang sanadnya juga tersambung ke sahabat radhiallahu ’anhu.

Budaya di pesantren memang bukan sekadar menuntut ilmu, melainkan budaya memupuk dan menghidupkan lelaku yang siap untuk menghadapi jagat raya dengan sifat yang rahmatan lil ‘alamin. Sifat tawadhu’ kepada guru atau kiai adalah kemutlakan dan merupakan sebuah adab. Apakah kita pernah mendengar tentang kisah Sahabat Rasulullah, Khalid bin Walid, yang pada saat perang ia menjatuhkan topi perangnya. Lalu ia merasa tidak konsentrasi dengan peperangan dan mengutuskan prajurit untuk mencari topi itu. Prajurit yang bingung itu kemudian bertanya, “Apa istimewanya topi itu sehingga engkau tetap berusaha mencarinya?”

Sambil memegang erat topi perangnya, Khalid menjawab, “Topi ini tidak berharga sama sekali. Namun, ada sesuatu yang berharga yang terdapat di dalamnya.”

Prajurit bertanya lagi. “Apakah gerangan yang terdapat di dalam topi itu?”

“Di dalam topi ini terdapat beberapa helai rambut mulia milik Rasulullah. Keberkahan dari beberapa helai rambut itulah yang membuat Allah senantiasa memberikan kemenangan kepadaku dalam setiap pertempuran.”

Seperti yang sudah saya sebutkan, bahwa lelaku ngalap berkah ini sanadnya tersambung hingga ke masa sahabat. Tidak ada yang janggal dan ganjil dalam perilaku yang demikian. Tapi tentu saja, mungkin kaum intelektual kontemporer masih bersikukuh bahwa budaya feodal masih berlaku di dalam pesantren.

Bagi saya pribadi, terserah stigma apa pun yang digambarkan oleh pihak lain, kiai tetap menjadi simbol ketawadhu’an dan ilmu yang bersanad. Sehingga tentu saja berebut air dari sisa minum kiai menjadi hal yang patut disebarkan ke yang lain bahkan dunia, karena ada banyak kebaikan di dalamnya. Kaum intelektual yang memberi lambang feodal pada tingkah laku santri di pesantren hanya bisa melihat semua sisi secara empiris. Empiris berarti bahwa semua data harus bisa dijelaskan dengan hal yang masuk akal dan berteori. Sedangkan, mencari berkah dengan mencium tangan kiai tidaklah empiris. Mencium tangan kiai melebihi jangkauan ilmu manusia. Kami, santri, hanya mengetahui bahwa tangan yang kami cium adalah tangan yang senantiasa memegang kitab dan digunakan dalam kebaikan. Air minum sisa dari kiai yang ada di gelas, adalah dari mulut seorang hamba Allah yang senantiasa berdzikir dan mengingat Allah, pasti dalam mulutnya selalu ada kebaikan dan keberkahan.

Tentu saja hal yang demikian tidak kami lakukan untuk sembarang orang. Kami, santri, tidak meminum air dari sisa minum pejabat atau pengusaha. Kami, para santri, tidak berlomba mencium tangan dari seorang kaya raya. Kami mengetahui naluri hati kami, bahwa yang berhak dan patut untuk didapatkan adalah berkah Allah melalui kiai yang setiap harinya mengajarkan ilmu Allah kepada kami.

Lantas, di mana salah santri jika kesopanan dan adab Timur diperdebatkan? Dan yang paling menyedihkan, jika konsep berkah saja tidak bisa dijelaskan oleh kaum intelektual yang memuja empirisitas, lalu bagaimana mereka bisa mengklasifikasikan kami sebagai pelaku feodal?

Sepintas, ketika kata “Jombang” masuk ke dalam pikiran, banyak di antara kita membayang sebuah persepsi mengenai salah satu kabupaten ...





Sepintas, ketika kata “Jombang” masuk ke dalam pikiran, banyak di antara kita membayang sebuah persepsi mengenai salah satu kabupaten di Jawa Timur itu. Dan, banyak pula di antara kita yang mengidentikkan Jombang dengan santri. Identifikasi ini memang telah lama melekat pada masyarakat luas. Label itu pun juga tidak hadir dengan sendirinya. Ada proses dan peristiwa panjang yang mengkonstruksi Jombang sehingga mempunyai label sebagai Kota Santri.

Untuk itu, dalam artikel ini, penulis akan mencoba menelisik bahwasannya label sebagai kota santri itu dapat hadir karena adanya memori kolektif yang hidup di ruang lingkup Jombang.

Secara garis besar, sebuah memori atau ingatan adalah hal yang disimpan oleh pikiran setiap manusia terhadap gejala atau peristiwa tertentu. Setiap individu pasti mempunyai ingatan yang berbeda-beda, namun tidak berarti bahwasannya ingatan setiap individu tidak ada yang sama. Sebuah peristiwa yang biasanya mempunyai akibat yang besar membuat peristiwa itu menjadi sebuah memori yang ditampung oleh banyak individu. Itulah yang disebut dengan memori kolektif. Secara gamblang, memori kolektif berarti adalah sebuah ingatan bersama atas satu atau dua hal yang menjadikannya tonggak dalam ingatan.

Lantas, memori kolektif apa yang tersimpan di Jombang?

Pertanyaan itu tentu saja bisa dijawab dengan pendekatan yang substansial. Jombang adalah sebuah kabupaten yang menjadi simbol dari lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU). Peran NU tentu saja mempunyai efek yang besar bagi Jombang dan Tanah Air ini.

Jika kita lihat dari sejarah awal berdirinya NU, tiga tokoh dari Jombang ini memiliki peran besar dan menentukan, yaitu Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri. Walaupun kita juga mengetahui bahwasannya yang mempunyai andil dalam pelahiran NU juga banyak, semisal, Kiai Cholil Bangkalan yang merupakan guru dari Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Faqih Maskumambang Gresik, Kiai Ridwan Abdullah, dan masih banyak yang lainnya.

Namun, sering disebut juga bahwasanya pendiri NU itu diwakili dengan tiga ulama asal Jombang tersebut, karena ketiganya mempunyai peran awal dan menentukan dalam pembentukan NU. Juga, karena ketiga ulama tersebut adalah pemimpin tertinggi NU secara berurutan.

Itu saja?

Kurang lega jika harus berhenti di pembahasan ini. Selain menyumbang tiga ulama besar untuk peletakan fondasi NU, rupanya Jombang juga mempunyai beberapa mutiara yang juga punya sumbangsih besar kepada NU, yaitu pondok pesantren. Setidaknya, ada empat pondok pesantren yang turut membentuk memori kolektif masyarakat Jombang, yaitu Pondok Pesantren Tebuireng, Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, dan Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso.

Empat pondok pesantren tersebut tentu mempunyai peran besar untuk Jombang dan NU. Hal-hal itulah yang membuat masyarakat Jombang akhirnya mempunyai sebuah ingatan bersama tentang Jombang. Sehingga julukan Kota Santri bukanlah label tanpa alasan. Label itu adalah pemberian dari masyarakat atas peristiwa-peristiwa besar yang ada di Jombang.

Sebuah labeling yang membuat masyarakatnya senang. Pemberian label Kota Santri ini juga bisa diuji ke orang yang tinggal di luar Jombang ataupun di luar Jawa Timur. Sering sekali di beberapa kesempatan saya menyebut berasal dari Jombang kepada lawan bicara. Lantas beberapa lawan bicara saya tentu saja menyambung interaksi kami dengan sebuah pernyataan “Oh, Gus Dur, ya?” atau “Dekat dengan Gus Dur?” atau “Jauh dari Tebuireng, Mas?” dan semacamnya.

Inilah yang membuktikan bahwasannya identitas Jombang sudah dibentuk dari memori kolektif yang sangat kuat dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.

(Tulisan ini juga sudah dipublikasikan di www.duniasantri.co)

Mungkin diantara kita pernah membaca atau mendengar kisah Bima yang menemukan Dewi Ruci di dalam Samudra terdalam di dalam jiwanya. Ji...


Mungkin diantara kita pernah membaca atau mendengar kisah Bima yang menemukan Dewi Ruci di dalam Samudra terdalam di dalam jiwanya. Jika pernah, maka kisah yang akan aku ceritakan disini erat kaitannya dengan hal itu.

Memang tidak mudah menyebarkan agama di tanah Jawa. Bahkan penyebaran Islam di Nusantara juga banyak memakan korban jiwa serta mendatangkan ratusan bahkan ribuan para pemuka agama dari penjuru dunia. Namun tetap saja hasilnya tidak maksimal. Hingga akhirnya datanglah pemuka agama gelombang kedua, yang disebut Walisongo yang sukses menyebarkan Islam di Nusuantara.

Jika ada yang mengira bahwasannya penyebaran walisongo itu bersifat adaptif, memang benar. Namun jika ada yang mengatakan bahwa walisongo itu hanya berasal dari satu mahdzab keislaman, salah. Para wali yang datang untuk menyebarkan agama Islam bukan hanya dari satu golongan, ada yang berlatarbelakang Syi’ah, ada yang sangat teguh dalam Sunnah, dan masih banyak latarbelakang yang ada.

Salah satu wali Allah yang menyebarkan agama Islam dengan sangat apik adalah Kanjeng Sunan Kalijaga. Raden Sahid ini sangat bisa membuka jalur kompromi sehingga Islam bisa menyebar dengan sangat cepat. Karena caranya yang adaptif, tentu saja Kanjeng Sunan memperhatikan latar belakang masyarakat Nusantara yang beragama Hindu-Budha.

Cerita Dewi Ruci dan Bima adalah cerita dari Hindu. Namun apakah Kanjeng Sunan Kalijaga menghapus cerita tersebut? Tentu saja tidak. Dalam sebuah pertunjukan wayang yang beliau sendiri menjadi dalangnya, Kanjeng Sunan berdakwah kepada murid-muridnya dengan mengikuti alur cerita Dewi Ruci. Saat itu para murid diberi tahu bahwa tokoh ruhani Dewi Ruci itu sejatinya adalah Nabi Khidir yang akan dijumpai dalam perjalanan ruhani para murid. Kanjeng Sunan Kalijaga dapat mengatakan hal demikian karena yang beliau katakana adalah hasil dari pengalaman personal.

Dalam naskah Suluk Linglung Pupuh IV Dhandhanggula, dijelaskan bagaimana Nabi Khidir memangkas keraguannya untuk memasuki tubuh Sang Nabi yang berisi alam raya. Syaikh Malaya (Sunan Kalijaga) pun ketakutan melihatnya.

Dalam bait-bait Suluk Linglung, Nabi Khidir menjelaskan bahwa ada empat cahaya dalam manusia; hitam, merah, kuning, dan putih. Cahaya hitam bermakna mudah marah, mudah sakit hati. Cahaya merah bermakna pancaran nafsu tidak baik, sumber segala Hasrat emosi. Cahaya kuning bermakna potensi menghalangi keinginan dan pikiran baik, membawa ke jurang kebinasaan. Dan cahaya putih adalah cahay yang menenangkan , suci, dan damai.

Dalam laku tasawuf, cahaya-cahaya tersebut didefinisikan sebagai macam-macam nafsu, yaitu; cahaya hitam berarti nafsu lawwamah, merah berarti nafsu amarah, kuning berarti nafsu sufliyah, dan putih berarti nafsu muthmainnah.

Tidak hanya berhenti sampai disitu, Sunan Kalijaga menjelaskan dalam Suluk Linglung bahwasannya puncak perjalanan ruhani itu digambarkan saat keempat cahaya itu melebur dan hilang, dan digantikan oleh satu nyala cahaya dengan delapan warna. Itulah hakikatnya mikrokosmos diri manusia di dalam makrokosmos alam semesta.

Suluk Linglung diatas menceritakan bahwasannya perjalanan ruhani sangatlah berat. Dan karena beratnya, maka Sunan Kalijaga memberi pengertian bahwa dalam Islam ada konsep yang serupa dengan cerita Dewi Ruci. Dan tidak harus seorang yang kuat yang bisa menemukan itu. Siapa saja bisa melakukan perjalanan ruhani.

Berminat untuk mencoba? Yuk…..


Perkenalkan, aku adalah seekor elang jawa. mereka biasanya menyebutku dengan sebutan Garuda. Sudah berabad-abad aku berada di atas punca...


Perkenalkan, aku adalah seekor elang jawa. mereka biasanya menyebutku dengan sebutan Garuda. Sudah berabad-abad aku berada di atas puncak gunung tertinggi. Memang, ini sudah menjadi ritual selama siklus hidupku. Menyendiri dan berdiam diri untuk mempertajam insting serta kekuatan fisikku. Dalam kesendirian itu aku tidak pernah melihat dunia luar. Dalam semediku, aku hanya berfokus untuk menjadi ksatria saat aku kembali muncul di kehidupan serta muncul ke duniaku lagi.

Selama aku bersemedi, aku berpuasa dari segala macam makanan. Tujuanku hanya agar mengalahkan kepentingan nafsu perut ke bawah. Aku benar-benar terputus dari dunia luar. Namun itu tidak berarti aku meninggalkannya. Ada tanggungjawab besar yang aku panggul. Ada tanggungjawab besar dimana saat aku kembali, semua kekacauan akan berubah menjadi keseimbangan.

Aku mendapat kabar dari Dewa Wisnu, ia menceritakan bahwa saat ini rumahku, ekosistemku, duniaku, sudah jauh berbeda dari semenjak ku tinggal. Peradaban berjalan ke arah yang lebih menjerumuskan. Banyak binatang-binatang yang lepas diri dari rantai makanan. Tikus bisa memangsa singa. Jerapah hanya sanggup memangsa cacing. Duniaku seakan tak ada pakem lagi. Kodrat menjadi permainan dan mudah dibelokkan. Semua hanya untuk memuaskan urusan perut ke bawah. Memang begitulah dunia binatang, dunia dimana aku tinggal. Sangat sulit untuk mencukupi kebutuhan akal dan pikiran. Semua yang ada hanya tentang perut ke bawah. Itulah alasanku meninggalkan duniaku dan memutuskan untuk semedi di puncak tertinggi. Kelak, tentu saja aku akan kembali ke rumah.

            Di duniaku, aku menjadi simbol kebesaran. Aku menjadi lambang keagungan. Tapi, mereka semua hanya mengetahuiku dari pengetahuan warisan induk-induk mereka. Selama aku disana, aku bahkan tidak melihat sifat segan atas kebaikan atau sifat baik atas keburukan. Yang mereka dahulukan hanya hasrat kenyang dan memperbanyak keturunan untuk memperluas kawasan teritori. Binatang-binatang seperti aku dan mereka yang pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan untuk melampaui batas kemampuan, menjadi tersalahkan. ‘Semua bisa jika diusahakan’, slogan itu membuat tikus berani memangsa singa. Slogan optimisme itu menjadikan pohon rindang menjadi tumpukan kayu.

            Sang Wisnu memberiku kabar bahwa saat ini mereka semua menantikan kedatanganku. Semua berharap kepadaku. Aku dijadikannya simbol yang seakan tak bisa terkalahkan. Namun, aku sendiri tidak seperti itu. Mungkin salah jika berharap demikian kepadaku. Aku hanya akan menolong yang sedarah denganku. Aku hanya menolong raga yang masih berbentuk Garuda. Aku hanya akan membawa ketenangan kepada jiwa-jiwa yang merasa bahwa dirinya adalah Garuda. Yang tak pernah memangsa hewan di luar rantai makanannya. Aku hanya membawa kesejukan kepada yang serumpun denganku. Bukan musuh-musuh yang sibuk memanipulasi simbolku untuk kepentingan menerkam hewan yang lebih kecil darinya. Aku hanya menjadi ksatria untuk yang sebangsa denganku.

            Namun tentu aku tidak tega melakukan hal pilih kasih seperti itu. Aku sadar, aku tidak akan bisa. Hanya saja aku tak akan membiarkan hewan liar yang sibuk memangsa menjadi raja hutan. Aku hanya ingin melihat siapapun saja menjadi raja hutan yang dapat menjaga keseimbangan hutan, entah darimana ia berasal. Jika ada kebenaran, aku akan selalu ada disandingnya.

Kita sudah mengetahui bahwa weton merupakan hari kelahiran manusia menurut pertanggalan Jawa. Sedangkan wetonan adalah perbuatan untuk m...


Kita sudah mengetahui bahwa weton merupakan hari kelahiran manusia menurut pertanggalan Jawa. Sedangkan wetonan adalah perbuatan untuk menyikapi weton itu sendiri, yaitu berupa ‘perayaan’ atas kelahiran manusia. Penjelasan mengenai wetonan sudah saya posting kemarin, dan saat ini saya akan lebih berfokus kepada jenang sengkolo. Salah satu kuliner yang ampuh dan penuh makna dari Jawa.

Memang jika saya pikir-pikir, Jawa ini penuh dengan filosofi. Banyak sekali simbol-simbol yang hidup di belakang definisi. Setelah makna wetonan sudah kita bahas, maka sekarang mari kita menemukan makna jenang sengkolo.

Sebenarnya pasti untuk kalian yang orang Jawa pernah dan hafal dengan apa yang disebut jenang sengkolo atau bubur abang. Jenang sengkolo yang terbuat dari beras yang dicampur dengan gula aren dan santan ini menjadi kuliner yang lekat dengan tradisi suku Jawa. Bahkan kurang afdhol rasanya jika ada suatu tradisi selametan yang tidak menghadirkan jenang sengkolo.

Rasanya, jenang sengkolo menjadi kunci dari banyak tradisi di Jawa. Sebagai contoh, biasanya jenang sengkolo ini hadir dalam selametan bersih desa, wetonan, ritual panen, dan masih banyak yang lainnya. Aku pernah berbincang dengan orang yang sudah disepuhkan bahwasannya jenang sengkolo ini adalah induk atau inti dari segala macam ubo rampe atau sesaji. Sebenarnya apa makna jenang sengkolo menurut masyarakat Jawa?

source: merdeka.com

Biasanya saat merayakan wetonan, orangtua kita menyajikan jenang sengkolo untuk kemudian diberi do’a dan dibagikan ke tetangga-tetangga terdekat. Jenang sengkolo dan wetonan merupakan sebuah kesatuan makna yang tak bisa dilepaskan. Jenang sengkolo sendiri mempunyai makna sebagai proses kelahiran manusia di muka bumi. Bubur sengkolo yang berwarna merah diibaratkan sebagai indung telur, sementara bubur putih yang diisyaratkan sebagai sperma. Dengan demikian, bubur sengkolo mempunyai makna sebagai proses kelahiran dari orangtua.

Sebenarnya ada banyak makna yang dapat didapat dari jenang sengkolo, namun karena kita sedang membahas mengenai wetonan, maka tentu saja makna mengenai kelahiran lah yang dapat disandingkan.

Jika kita melihat betapa masyarakat Jawa menghargai sebuah kelahiran, tentu ada pesan yang mendalam dibalik itu semua. Masyarakat Jawa percaya bahwa kelahiran adalah tanda kebesaran Tuhan yang harus dimaknai. Sedangkan kelahiran merupakan sebuah perayaan dan pengingat bahwa kelahiran bukan hanya tentang ‘hidup’, namun ada tanggungjawab besar yang diemban. Dalam falsafah Jawa, ada dua dimensi yang harus dipenuhi atau setidaknya diusahakan selama hidup. Yang pertama adalah dimensi sosial, dan yang kedua adalah dimensi semesta. Kedua dimensi itu akan menciptakan jembatan menuju dimensi ketiga, yaitu dimensi Ketuhanan.

Untuk mencapai hubungan yang baik dengan Tuhan, manusia membutuhkan dua proses yang baik juga. Berbuat baik kepada manusia, biasanya kita mengenal sebuah falsafah Urip Iku Urub atau Memayu Hayuning Bebrayan. Dan, yang kedua berbuat baik kepada alam semesta, karena tentu kita hidup bukan tentang diri kita, namun semua komponen semesta juga hidup dan menyambung hingga ke Tuhan. Dalam istilah Jawa disebut, Memayu Hayuning Bawana.

Karena peranan manusia yang besar itulah kita setiap bulan diingatkan melalui wetonan, bahwa kita pernah terlahir di dunia ini bukan tanpa peranan dan tanggungjawab. Kita terlahir untuk misi yang besar. Semua peran serta misi itu tersirat dalam wetonan dan jenang sengkolo.

Bagi orang Jawa, weton bukanlah hal yang luar biasa dan sangat sakral karena dalam laku keseharian sudah sering dilakukan bahkan m...




Bagi orang Jawa, weton bukanlah hal yang luar biasa dan sangat sakral karena dalam laku keseharian sudah sering dilakukan bahkan menjadi tradisi yang setiap individu mengetahui. Weton sendiri adalah hari kelahiran manusia menurut penanggalan Jawa. Secara mudah, weton sendiri dapat diketahui dari hari kelahiran dan pasaran. Sebagai contoh, saya lahir pada tanggal 13 Agustus tahun xxxx. Saat tanggal 13 Agustus itu bertepatan di hari Sabtu Wage. Sabtu wage itulah weton saya.

Banyak orang yang salah kaprah ketika membicarakan mengenai penanggalan Jawa dan weton. Sebenarnya jika ditelusuri secara logis dan dianalisa secara empiris, tidak ada hal yang perlu disangkutpautkan dengan klenik atau apapun. Karena penanggalan dalam suatu suku merupakan sebuah sistem yang terlahir dari manusia. Tidak ada perbedaan fungsi umum antara penanggalan Jawa dengan penanggalan masehi. Hanya saja, penanggalan-penanggalan yang terlahir dari sistem kebudayaan daerah kita biasanya lebih akurat, dan bukan lebih ‘kolot’.

Tentu saja jika kita masih menggunakan dan mengikuti penanggalan Jawa, kita akan dianggap kolot. Padahal, tentu saja para leluhur kita dahulu sudah dengan susah payah menuangkan usaha pikiran dan mendonasikan waktu-waktunya untuk membuat sebuah sistem kolektif penanggalan ini. tidak hanya untuk menandai waktu, namun penanggalan kita juga sudah bisa menandai sifat manusia dan pergerakan alam yang jelas sudah teruji selama ribuan tahun. Hanya saja saat ini, ketika kita kembali kepada sistem itu maka akan dianggap klenik, syirik, dan lain-lain.

Pernahkah kalian mendengar dari orangtua atau sesepuh kalian saat membicarakan tentang weton. Bahkan terkadang orangtua saya dapat mengetahui sifat dari weton. Saya yang wetonnya adalah sabtu wage kata ibuk orangnya gak keras alias tidak keras kepala, sedangkan ibuk saya pernah berujar bahwa adek saya sifatnya keras kepala, lantas ibuk menyangkutpautkan dengan weton, “yo pantes ae weton e pancen………”

Tentu secara ilmiah tidaklah bisa diberi justifikasi sebagai suatu kesimpulan. Namun dalam kehidupan masyarakat, setiap orang bisa dilihat karakter umumnya dari weton.

Satu hal lagi dari Jawa yang membuat saya merasa bahwa perilaku kebudayaan ini sangatlah istimewa adalah wetonan. Wetonan berarti ‘merayakan’ hari lahir, berbeda dengan ulang ahun. Keakuratan waktunya justru lebih spesifik wetonan. Jika ulangtahun, yang dirayakan adalah tanggal dan bulan kelahiran (bukan tahunnya, eh tapi namanya ulang tahun), wetonan justru yang dirayakan adalah hari dan pasaran saat kelahiran.

Loh bagaimana itu?

Tentu saja kita harus mengetahui filosofi dibalik wetonan itu sendiri. Sebenarnya makna wetonan bukanlah hanya sebagai perayaan, namun ia adalah pengingat dan penanda sebuah kelahiran. Oleh karena itu, biasanya setiap wetonan maka ditandai dengan membuat jenang sengkolo atau bubur abang, penjelasan mengenai weton dan jenang sengkolo akan saya jelaskan besok. Kali ini lebih fokus ke wetonan dahulu ya.

Wetonan adalah penanda mengenai kelahiran. Karena ia adalah penanda, maka tentu saja ada makna dibaliknya. Maknanya adalah sebagai pengingat bahwa sebagai manusia kita ini dilahirkan, dari yang semula tidak ada menjadi ada. Weton adalah penanda bahwa kehidupan mempunyai masa, maka dari itu kita selalu diingatkan dengan wetonan yang datangnya tidak setahun sekali, namun sebulan sekali. Wetonan adalah sebuah pengingat kehidupan, dan dalam kehidupan akan selalu ada syukur sebelum kematian. Dan rasa syukur itu ditandai dengan adanya wetonan yang biasanya diaplikasikan dengan cara membagikan jenang sengkolo minimal untuk tetangga-tetangga dekat kita.

Banyak sekali hal yang perlu dituangkan mengenai wetonan ini, besok akan saya jelaskan makna jenang sengkolo dan wetonan. Untuk kali ini sudah ya, salam.