Kabarnya di desa Karang Kedempel saat ini sedang sangat sepi sekali. Orang-orang tidak berani keluar dari rumahnya, ditambah lagi, sosok panutan desa itu sedang hijrah sejenak untuk memberi pengajaran ke Kahyangan. Tidak ada yang digugu dan tidak ada sosok yang patut dihormati lagi di Karang Kedempel, untuk sementara ini.
Aktifitas yang biasanya ramai kini menjadi
sepi, namun masih terlihat beberapa penduduk yang beraktifitas dan bercengkrama
dari jarak yang berjauhan. Rumah Kiai Semar yang biasanya dipenuhi orang-orang
untuk sekedar meminta nasehat pun menjadi kosong, hanya terlihat anak-anaknya
disana.
Petruk yang saat itu sedang bersama Bagong di
rumah, rupanya tak tahan dengan kondisi saat ini. Petruk pun berinisiatif pergi
ke Ngastina, meminta bantuan kepada para Pandawa untuk menangani masalah besar
ini. Namun, baru niat saja yang terbesit dalam hati, tiba-tiba Bagong muncul
untuk menghentikan Petruk.
“Mau ngapain, Truk?” Tanya Bagong.
“Owalah, Gong. Kamu kan tahu sendiri
akhir-akhir ini bumi kita sepi. Manusia perlahan sudah kehilangan kemanusiaannya.
Bopo ya gak turun-turun dari Kahyangan. Kita kan gak bisa diam saja,
kita ke Pandawa dan mendesak mereka melakukan sesuatu.” Petruk menjelaskan Panjang
lebar.
“Loh, kamu ini bodho ta gendeng, le?
Ingat pesannya Bopo, kita gak boleh mengemis ke Ngastina. Semua masalah
bisa ditangani sama Bopo.” Sangkal Bagong.
“Loh, siapa yang ngemis. Kita kan hanya mendesak
mereka supaya mereka berbuat sesuatu. Bopo kan juga sedang tidak ada. Tidak
ada yang bisa diperbuat kan?”
“Peh, jan bodho banget
kakang ku iki. Nyesel aku jadi adekmu.”
“Kok kurang ajar sama kakangmu?”
“Begini,Truk, kemarin sebelum Bopo
minggat dari Karang Kedempel, Bopo datang ke pertapaanku dan bilang
kalau obat dari semua wabah ini ada di genggamanku. Nah aku waktu bertapa
kemarin memang sedang menggenggam sesuatu. Truk. Dan ku yakini itu
adalah obatnya.”
“Emang kowe nggenggam apa, Gong?”
“Jangan, ini barangnya terlalu privat. Dan belum
waktunya untuk aku keluarkan. Belum ada perintah dari Bopo untuk mempublikasikannya.”
Bagong berdalih.
“Barang privat apa, Gong. Wah,
lihat bumi ini, le. Tunjukkan sekarang supaya bumi ini bisa pulih
kembali, Gong.” Petruk berdiri dari duduknya dan berbicara tegas kepada
Bagong.
Saat itu, Petruk menemukan secercah harapan
untuk membuat kondisi dunia menjadi sehat kembali. Ia menemukan kesempatan
untuk mengobati dunia dari wabah kremi yang sedang menikam satu-persatu
penduduk dunia. Tanpa pikir panjang, Petruk langsung berlari mengelilingi
Karang Kedempel dan mengumumkan bahwa Bagong mempunyai obat untuk menjauhkan semuanya
dari wabah kremi.
Tak begitu lama, halaman rumah Kiai Semar sudah
dipenuhi penduduk desa. Bagong pun kelihatan kebingungan menghadapi kerumunan
itu.
“Waduh, Truk. Kok jadi begini. Takut salah
aku, Truk.” Ujar Bagong lirih kepada Petruk yang ada di sebelahnya.
“Takut kenapa, Gong. Percaya saja sama
dawuh Bopo dalam pertapaan itu.” Petruk menenangkan Bagong.
“Anu, masalahnya, anu, Truk.
Aduh, gimana ya.”
“Apa, Gong. Yang jelas kalau ngomong.”
“Anu, Bopo kan bilang kalau obat
dari wabah ini ada dalam genggamanku. Nah, pada saat bertapa itu aku sedang
menggenggam celana dalam, Truk.”
“Eh goblok, seriusan? Itu sempak gimana caranya
biar jadi obat, Gong?”
“Nah itu aku belum ngerti, Truk. Piye
iki.”
“Tenang, Gong. Dari pada kita dikeroyok, stay
cool saja. Cepet mikir bagaimana sempak itu bisa jadi obat.”
Kerumunan warga itu rupanya membuat Kahyangan
terusik, banyak penduduk Kahyangan yang turun untuk ikut mencari obat ke
Bagong. Dengan arogan, penduduk Kahyangan meminta agar mereka menjadi prioritas
pengobatan.
Petruk yang terus menenangkan semua yang datang
pun mulai kuwalahan, akhirnya ia meminta semua yang hadir untuk berbaris ke
belakang. Dan dimulai dari antrian dari penduduk Kahyangan.
“Truk, aku sudah nemu caranya. Ambil ember,
Truk, cepet.” Bagong menyuruh Petruk untuk mengambil ember.
“Bapak, Ibu, Mas, Mbak. Waktu saya bertapa, Bopo
datang ke dalam pertapaan saya bahwa saya ternyata sedang menggenggam obat dari
wabah ini. Tapi sebelum saya memberi tahu apa yang saat itu saya genggam, saya
mohon kalian tetap tenang dan Tawadhu’, ya?”
“Ya, apa, Gong?” Suara sahutan dari
keramaian menyambut pertanyaan Bagong.
“Sebenarnya saat bertapa, saya sedang
menggenggam anu, hmmm…. Celana dalam. Kalau kalian mau sembuh, silahkan, kalau
kalian jijik, monggo mundur.”
Rupanya, tidak ada seorangpun yang mundur. Kiranya
mereka semua sudah berani mengambil resiko apapun untuk dijauhkan dari wabah
kremi ini. Bahkan, penduduk Kahyangan sudah siap untuk dihinakan dengan obat
ini.
“Semua ridho? Baik kita mulai dari orang-orang
langit ini dulu.” Ujar Bagong.
“Ini Gong, embernya.” Ujar Petruk sembari membawa ember yang lumayan besar.
Penduduk-penduduk Kahyangan langsung berbaris
sejajar di depan, bersiap menerima pengobatan dari Bagong. Bagong yang melihat
itu kemudian merasa ragu dengan tindakannya. Namun, ia tetap memberanikan diri
karena percaya bahwa tindakannya benar.
“Gong, ini terus gimana?” Petruk
bertanya.
“Letakkan celana dalam ku di ember, terus
campur dengan air sampai penuh, Truk.”
“Serius, Gong?”
“Halah coba aja, kalau gagal juga gak
masalah.” Jawab Bagong.
Melihat apa yang dilakukan Petruk, penduduk
Kahyangan itu mulai terlihat menelan ludah. Mereka sudah membayangkan bahwa
mereka harus meminum air sempak itu. Ah, tapi mereka juga terlihat
menerima pengobatan ini.
Bagong pun mengaduk-aduk embernya dan mengambil
air dari ember itu dari kedua tangannya. Bagong menyodorkan kedua tangan yang menampung
air sempak itu untuk diteguk para penduduk Kahyangan.
Sudah semua penduduk langit diberi obat air sempak
mujarab ala Bagong. Beberapa diantara mereka ada yang muntah. Tiba-tiba
terdengar suara yang melengking dan objek yang bergerak cepat dari langit, “Gong,
berhenti. Dasar anak edan.”
Mendengar suara itu, Petruk dan Bagong
mendongak ke atas, rupanya Boponya turun dari Kahyangan.
“Bukan itu yang aku maksud, thole.”
Semar berbicara sambil menjitak kepala Bagong.
“Aduh, ide nya Petruk, Bopo.” Sangkal Bagong.
“Lah kok aku.” Petruk menjawab.
“Maksud ku, obat dari wabah ini ada
digenggamanmu itu bukan mempunyai maksud benar-benar ada digenggaman. Tapi pertapaan
kamu itulah obatnya. Ketika kamu bertapa, kamu sudah menggenggam obat dari
wabah ini karena kamu berdiam diri dan tidak klayapan di luar rumah. Interaksi dengan
sesame manusia dibatasi dan digantikan dengan interaksi kepada Sang Maha. Bukan
malah mengumpulkan orang dan menciptakan kerumunan, ini kan bahaya.” Semar
marah.
Semua orang pun mulai bubar dan mengeluh,
beberapa di antara mereka sudah ada yang merasakan gejala kremi. Sehingga Semar
meminta semua penduduknya untuk melakukan pertapaan dan akan menemui mereka
satu-persatu dalam pertapaannya. Sementara itu, penduduk Kahyangan yang telah
meminum air sempak Bagong merasakan sakit perut dan diare.
Monggo Mampir Juga
Untuk Merekatkan yang Jauh dan Lebih Meng-akrab-kan, Kuy Berteman