Tadi siang, ada pemandangan yang sudah lama tak ku lihat. Selepas dari swalayan untuk berbelanja kebutuhan rumah, aku melihat ada...





Tadi siang, ada pemandangan yang sudah lama tak ku lihat. Selepas dari swalayan untuk berbelanja kebutuhan rumah, aku melihat ada seorang bapak yang sedang ngarit di sekitar kompleks rumah. Hampir satu tahun aku tinggal di ibukota, dan baru kali ini aku jumpai seseorang yang masih ngarit. Berbeda dengan kehidupan di Jawa Timur, ngarit bukanlah hal yang langka, bahkan kegiatan itu sudah jamak dilakukan masyarakat.

Mungkin untuk orang kota, ngarit bukanlah hal yang istimewa atau bahkan dipandang sebelah mata. Maklum saja, tak banyak orang kota yang bisa angon peliharaan, karena semua sudah kenyang dengan perkantoran. Tapi keseimbangan selalu ada. Di Jawa, ngarit bukanlah sekedar rutinitas untuk mencari rumput saja. Atau bukan pula aktifitas mencari rumput untuk makan ternak saja. Ngarit mempunyai filosofinya tersendiri.

Memang, jika berbicara perihal ngarit, selalu ada kaitannya dengan ternak dan angon. Biasanya orang ngarit bukan untuk dimakan dirinya sendiri melainkan ternak yang kebanyakan adalah kambing dan sapi. Aku sering melihat orang-orang desa baik dari yang muda sampai ke yang tua, setiap siang menjelang sore, banyak yang menggiring ternaknya, biasanya kambing, menuju ke ladang. Ternak diikat di pasak untuk memakan rumput sekitaran. Sedangkan empunya sibuk membabat rumput liar untuk dibawa pulang. Dan aktifitas itu dilakukan setiap hari.

Sempat aku berbincang dengan seorang yang sudah lumayan sepuh, kami membicarakan ngarit saat itu. Di malam dengan ditemani secangkir kopi dan kacang-kacang yang membuat ketagihan.

Ngarit kuwi tegese ngasah wirid.”
(Ngarit itu artinya mengasah wirid)

Bapak itu kemudian melanjutkan,
Wirid iku kan kudu diulang-ulang. Laailahailallah diulang-ulang, alhamdulillah diulang-ulang, lan sakteruse. Tujuane wirid kuwi sejatine gawe makani ati. Mangkane wong jowo biasane sing sregep ngarit kuwi, yen gak ngarit sedino wae yo gak iso, sebab mengko ternake ora mangan, terus mati.”

(Wirid itu kan harus diulang-ulang. Mengucap Laailahailallah diulang-ulang, mengucap alhamdulillah diulang, dan mengucap kalimat-kalimat baik lainnya. Tujuan wirid itu sendiri hakikatnya kan untuk memberi makan hati. Itulah sebabnya orang Jawa yang biasanya rajin ngarit itu jika sehari saja tidak ngarit pasti gak bisa. Sebab jika sehari saja tidak ngarit, nanti ternaknya tidak makan, terus mati.)

            Mendengar penjelasan dari beliau, ikatan dipikiranku seakan terlepas, pertanda bahwa ada satu kunci yang akhirnya terbuka. Spekulasi dan pikiranku akhirnya menjalar kemana-mana, mencoba untuk meluaskan makna dari makna ngarit itu. Bayangkan saja, hanya melalui ngarit yang dianggap remeh oleh banyak orang, ternyata mempunyai makna yang luar biasa.

            Wirid itu harus diulang. Ya, jika ngarit hanya dilakukan sekali saja dan tidak berlanjut maka tentu saja ternak akan mati kelaparan. Wirid itu memberi makan hati. Ngarit itu untuk memberi makan ternak. Hati adalah hewan ternak kita yang harus kita beri makan setiap hari dengan wirid. Kita adalah penggembala yang tugasnya angon setiap hari. Dan tentu saja ngarit bukanlah hal kecil. Di era modern ini jelas saja jika hati sering merasa lapar dan tak tenang, kita memang lupa akan tugas kita sebagai penggembala yang harus angon setiap hari untuk memberi makan ternak kita, untuk memberikan kesempatan ternak kita hidup sampai lama.

Jika kalian sempat membaca tulisanku kemarin, rencananya hari ini aku akan membahas yang masih berhubungan dengan budaya dan kajian tr...


Jika kalian sempat membaca tulisanku kemarin, rencananya hari ini aku akan membahas yang masih berhubungan dengan budaya dan kajian tradisi lisan. Tapi setelah aku memikirkannya kembali, sepertinya untuk hari ini, aku tidak membahas itu dulu. Ada satu hal yang mendesak untuk dituangkan dalam tulisan. Ya ini masih ada hubungannya dengan mengusir kejenuhan disaat di rumah saja.

Belakangan ini, aku suka sekali menonton channel youtube Irfan Hakim. Entah ini karena subjektifitas preferensiku saja atau memang karena banyak sekali variabel alam yang memanggil-manggil aku untuk pergi berpetualang. Maklum saja, konten yang dihadirkan Irfan Hakim adalah konten yang masih berkaitan dengan penghuni alam, ya satwa. Bagiku, mengetahui informasi dan mengenalinya sungguh mengasyikkan. Terlebih, aku juga sangat mengapresiasi dedikasi Irfan Hakim dalam memelihara dan mencintai satwa yang ia adopsi di rumahnya. Dan aku membayangkan betapa tidak bosannya ia dengan keadaan yang mengharuskan untuk berdiam di rumah saja. Karena rumahnya sudah menyuguhkan berbagai komponen natural non manusia yang mana hanya dengan melihatnya saja sudah bisa menghadirkan ketenangan jiwa dan pikiran. Terlepas dari besarnya pengeluaran untuk tanggungjawabnya demi menjaga keseimbangan hidup seluruh komponen yang ada di rumah itu.

Memang benar, semua jiwa pasti membutuhkan pelarian dari kepenatan. Entah dengan mendaki gunung, bermain dengan peliharaan, atau apapun caranya. Setiap individu punya caranya masing-masing. Atau mungkin saja ada yang hanya dengan bermain game di layar pintar sudah bisa membuat penatnya pensiun. Tapi, aku sendiri rupanya memang harus menemukan pelarian yang berhubungan dengan alam.

Semenjak melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia, aku tahu kalau kepenatan pasti sering menyambangiku. Selain bahan bacaan yang segudang, tugas juga pasti menumpuk setinggi omongan teman. Sudah pasti, mata dan badan akan lebih sering berada di depan laptop, hingga batas kemampuan fisik dan pikiran berteriak ingin rebahan. Tantangan perkuliahan itulah yang membuatku berpikir bahwa pelarian dari kepenatan yang dihasilkannya harus ada. Ya, akhirnya aku memilih membuat aquascape.

Aku merasakan sendiri bahwasannya untuk merasakan dan menikmati sesuatu yang indah itu tidak mudah. Membuat aquascape sangatlah susah, padahal aquarium yang aku gunakan tidaklah besar, hanya 30cm. namun tentu saja aku harus memilih ikan apa yang cocok dan mereka bisa merasa nyaman dengan landscape-nya. Dan juga, aku harus memikirkan landscape dan model apa yang proporsional dengan aquarium yang kecil. Tumbuhan air apa saja yang harus ada. Dan yang paling susah adalah menjaga ekosistem tanaman dan ikannya agar tetap bisa hidup. Bagiku yang masih pemula, aku sangat puas dengan hasil yang aku ciptakan.




Sejak saat itu, disela-sela mengerjakan tugas, aku sempatkan untuk menatap miniatur dunia lautan yang ada di kamar. Rasanya segar dan enak saat menatapnya. Hingga akhirnya ada cacing pipih yang muncul di dinding kaca aquarium. Banyak sekali. Muncul juga keong-keong yang tak diundang. Banyak juga. Setelah aku pelajari, cacing-cacing itu muncul dari bekas-bekas sisa makanan. Pasti ada yang berpikir, jika di aquarium biasa, walaupun masih ada sisa makanan, kenapa tidak menjadi cacing? Jawabannya adalah karena aquascape merupakan replika ekosistem laut atau sungai, tentu saja lahirnya alien-alien itu sangat memungkinkan. Untuk menciptakan tiruan alam itu kita memang menggunakan yang namanya bactery starter yang ditanam di lapisan bawah tanah malang (tanah untuk aquascape). Jadi bactery inilah yang membuat tumbuhan juga hidup, dan menghidupkan yang tak perlu hidup, seperti cacing pipih. Kedua, keong muncul darimana? Keong muncul dari sisa-sisa kotoran yang dibawa oleh tumbuhan. Jadi mungkin saja waktu aku meletakkannya di aquarium, tumbuhan itu belum benar-benar bersih. Dan siput yang awalnya hanya satu dua itu berubah menjadi ratusan. Karena sifat siput yang tidak perlu kawin. Sehingga sangat mengganggu pemandangan.
Akhirnya aku pun membongkar aquascapeitu karena alien-alien yang  muncul mengganggu ikan dan udang yang ada di dalam. Dan mengganggu tanaman-tanaman airku.

Aku gagal, padahal aquascape sangat cantik L

Akhirnya aku mencari pelarian baru. Ya, memelihara cupang. Awalnya aku mempelajari jenis-jenis cupang. Dan memutuskan untuk memelihara dua ikan cupang, jantan dan betina, jenisnya plakat nemo. Dua cupang itu niatnya hanya menjadi pelarian saat jenuh, tapi karena mungkin rasa ingin tahuku terhadap ikan ini, aku sampai pada tahap mempelajari bagaimana mengawinkan cupang. Hingga akhirnya aku kawinkan indukan tersebut. Dan sekarang sudah ada sekitar 30-an ekor cupang yang ukurannya sudah lumayan gede.

Sebenarnya dalam sekali kawin, ikan cupang dapat bertelur sampai 500 butir. Saat itu, aku mengkawinkan 2 pasang, kira-lira ada 1000 butir. Memang sangat banyak saat itu. Dan anak cupang ini harus diberi makan setiap hari, mulai saat usia ikannya empat hari dari menetas. Dan kesalahanku adalah, ada satu hari yang tidak ku beri makan karena pergi ke Bandung. Alhasil, banyak sekali burayak yang mati. Hingga sampai seleksi alam, dan menyisakan 30-an ekor. Sedih…..
Sampai sekarang, aku sering sekali menyambangi cupangku. Sering-sering aku tengok, dan lihat. 

Biasanya jariku aku tepukkan ke aquarium, dan semua cupang itu langsung berkumpul. Itu cara ku melepas kepenatan.

Entah ini sampai berapa lama lagi, yang jelas, aku sudah rindu berpetualang. Sekian.

Oh iya, kalau tidak salah beberapa hari yang lalu ada pengumuman SNMPTN ya. Selamat bagi adek-adek yang diterima di universitas impian...



Oh iya, kalau tidak salah beberapa hari yang lalu ada pengumuman SNMPTN ya. Selamat bagi adek-adek yang diterima di universitas impiannya. Aku disini hanya ingin membagikan pengalamanku selama melanjutkan studi di Universitas Indonesia. Dan, perlu kalian ketahui bahwa sudut pandang yang aku tuliskan disini bukanlah sudut pandang dari mahasiswa yang sudah lama di Universitas Indonesia. Aku baru menyandang status mahasiswa Universitas Indonesia sekitar satu tahun yang lalu, kurang malah. Sebelumnya aku adalah alumni Universitas Brawijaya dan alhamdulillah saat ini diberi kesempatan untuk melanjutkan studi magister di kampus beralmamater kuning ini.

Saat awal perkuliahan, aku sedikit kaget dengan metode pembelajaran di Universitas Indonesia. Ya maklum jika terjadi culture shock karena aku dari budaya Pendidikan yang berbeda sebelumnya. Ritme yang teratur sibuknya membuat aku harus beradaptasi dengan pembagian waktu. Sebenarnya ada satu hal yang memang ditekankan oleh Universitas ini, atau mungkin setidaknya oleh jurusan yang aku ambil, yaitu membaca dan membaca. Setiap minggu, kami selalu disodori dengan berbagai macam bacaan buku ataupun jurnal, dan uniknya karena di jurusanku hanya ada lima mahasiswa, yang mana tiga diantaranya adalah kami (mahasiswa S2, dan dua lainnyan adalah mahasiswa S3). Jadi jelas saja jika salah satu diantara kami tidak membaca maka di kelas akan merasa terpojokkan, ketinggalan materi, dan merasa paling tidak tahu apa-apa. Seakan kita adalah manusia paling tidak mempunyai ilmu saat perkuliahan berlangsung, ingin tersenyum saat dosen menjelaskan tapi malu, ingin bertanya takut kalau jawabannya sebenarnya ada di buku, dan ingin mengkritik takut dimutasi ke fakultas lain. Hehe, guyon gess.

Jadi itu sebenarnya hal terberat yang ku rasa saat melanjutkan studi disini, namun hal itu juga akan menjadi kebiasaan, sehingga saat ini rasa kaget sudah tidak lagi menghujam jantung.

Memangnya aku ini jurusan apa sih? Nah, aku sebenarnya melanjutkan S2 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, jurusan Kajian Tradisi Lisan. Pasti diantara kalian masih asing dengan jurusan itu ya. Secara garis besar sebenarnya jurusan yang aku ambil lebih ke aplikasi untuk pedokumentasian budaya-budaya yang ada di Indonesia dan untuk mendukung proses transmisi yang terjadi. Jadi tentu jurusan tersebut ada kaitannya dengan budaya. Mungkin kalian pernah mendengar mengenai bahwa ada satu kebudayaan di Indonesia yang ditetapkan sebagai budaya Indonesia oleh UNESCO. Nah, itu adalah hasil kerja dari orang-orang di Tradisi Lisan.

Setiap tahun, pemerintah selalu membuat agenda untuk melegitimasi dan mencatat budaya-budaya yang ada di Indonesia. Tentu prosesnya sangat Panjang. Namun sebenarnya bukan hanya itu saja tujuan dari Kajian Tradisi Lisan. Tentu saja kami dimaksudkan menjadi manusia-manusia yang mempunyai perhatian ke masyarakat akar rumput, dan bukan hanya mempunyai perhatian ke masyarakat akar rumput, namun menjadi bagian dari masyarakat akar rumput itu sendiri.

Untuk mengetahui esensi dari kebudayaan suatu daerah, tentu saja kita harus menjadi bagian dari kebudayaan itu sendiri. Aku pernah mendengar Mbah aNun berkata, “Untuk mengetahui rasa cabe, tidak cukup hanya dengar mendeskripsikan bahwa cabe itu pedas. Untuk mengetahui rasanya, satu-satunya cara hanya dengan memakan cabe.”

Apa pentingnya dari budaya, sehingga ada jurusan akademis yang dengan spesifik mempunyai concern disana? Penjelasan ini akan dijawab besok ya.
Sampai jumpa besok.

Dulu aku berpikir, strata edukasi menjadi hal yang penting yang dapat meninggikan kelas sosial ataupun kelas ekonomi. Dulu aku berpi...




Dulu aku berpikir, strata edukasi menjadi hal yang penting yang dapat meninggikan kelas sosial ataupun kelas ekonomi. Dulu aku berpikir bahwa pendidikan di perguruan tinggi adalah parameter untuk lebih dekat dengan kesuksesan. Itu dulu, saat pikiran hanya disibukkan dengan ketakutan akan masa depan. Itu dulu, saat masih di Sekolah Menengah Atas.

Sekarang, aku telah fasih memahami bahwa kesuksesan tidak selalu diikuti oleh pendidikan tinggi ataupun tumpukan materi. Aku tidak mengatakan bahwa kuliah itu tidak penting. Kuliah adalah tempat paling penting untuk mengembangkan pikiran dan berjejaring. Jika mental kita memang mempunyai mental sukses, maka universitas adalah tempat paling ‘mahal’ untuk menemukan ilmu yang empiris untuk diterapkan dalam kehidupan bersosial. Substansi perkuliahan bukanlah pada kelas, substansi perkuliahan adalah saat pengetahuan itu menjadi output di luar kelas.

Title? Status legalitas pendidikan itu hanya bonus, dan bonus itu tak akan bisa kita gunakan selamanya. Title hanya berguna saat ingin melakukan tindakan atau kegiatan yang jalurnya memang di dunia akademis, itu pun bisa untuk tidak digunakan juga. Bagaimana dengan melamar kerja? Apakah benar sandingan nama yang kita beli selama minimal delapan semester dan memakan materi berjuta-juta itu bisa membuat kita mendapatkan pekerjaan? Secara makro, mungkin saja bisa. Namun secara aplikatif, tentu saja tidak. Title hanya digunakan untuk keperluan admnistrasi, namun keahlian pada suatu bidang lah yang menjadi acuan. Dan untuk mendapat keahlian yang terfokus memang salah satu jalurnya adalah dengan belajar di perguruan tinggi, namun itu tidak absolut.

Tapi dewasa ini, banyak sekali startup dan perusahaan besar yang tidak berfokus pada title ataupun pendidikan tinggi, melainkan skill yang terdapat dalam diri, kreatifitas, dan keberanian mengambil resiko. Sebenarnya sama saja, hal yang paling penting Ketika berbicara mengenai kesuksesan adalah kesungguhan, entah melalui pendidikan atau jalur yang lain, sama saja.

Tidak adil rasanya jika menyandingkan kesuksesan dengan pendidikan. Aku justru banyak belajar dari orang-orang desa yang sudah sepuh. Sangat sederhana, memang ‘wong ndeso’ ini tidak bisa merangkai kata dengan sangat bagus dan teratur, namun ilmu yang mereka punya sudah ‘beyond’. Itulah akhirnya aku memahami bahwa tugasku adalah menjadi penyambung lidah untuk menjelaskan maksud mereka dan merumuskan apa maksud mereka. Sinergi adalah sebuah jalan untuk melahirkan karya baru.

Mungkin justifikasi yang aku buat ini juga tidak relevan dengan kebutuhan kalian semua. Karena memang dunia yang aku geluti ada kaitannya dengan masyarakat adat yang biasa dibilang kolot, ndeso, dan lain-lain, sehingga tentu saja aku menemukan simbol ketenangan di dalam sana. Berbeda dengan seorang ahli desain grafis misalnya, pasti standar kesuksesannya berbeda dengan apa yang sudah aku tetapkan.

Jadi sebenarnya, kuliah penting atau tidak?

Maaf, kalian tidak adak menemukan jawabannya disini. Disini bukan tempat untuk membuat hal susah menjadi mudah.

Mungkin diantara kalian ada yang sedang merindukan sebuah petualangan bersama sahabat. Pergi ke tempat yang belum pernah disinggahi, b...



Mungkin diantara kalian ada yang sedang merindukan sebuah petualangan bersama sahabat. Pergi ke tempat yang belum pernah disinggahi, berpetualang hingga lupa waktu dan beban hati. Mungkin juga diantara kalian ada yang sedang merindukan berpetualang dengan mengendarai motor, merencanakan tempat singgah dan mengunjungi tempat-tempat wisata selama perjalanan. Nyasar menjadi hal biasa, dan berjumpa bersama orang-orang baru menjadi suatu hal yang istimewa. Tapi, sayang sekali, untuk saat ini, semua kerinduan itu hanya menjadi beban. Tapi percayalah, badai pasti berlalu, begitu para motivator berujar.

Berminggu-minggu di rumah membuat hati ini semakin rindu untuk berpetualang. Memang, alam selalu menjadi candu. Walaupun destinasi yang kita tuju tidak semudah yang kita bayangkan sebelum kaki melangkah, tetap saja, pemandangan yang disuguhkan untuk mata membuat semua terbayar tuntas dan ia berhasil memanggil hati ini dalam interval waktu. Kerinduan ku ini membuatku menginginkan banyak hal untuk dilampaskan selepas wabah ini berpulang. Aku ingin mendaki gunung, aku ingin berpetualang yang jauh dari rumah dengan mengendarai motor bersama sahabat-sahabatku. Aku ingin ini dan itu banyak sekali.

Alam, adalah sebuah tempat dimana jiwa-jiwa manusia bisa merefleksikan segala problematika untuk menemukan resolusi yang jernih. Bagiku, alam adalah sebuah pelarian. Pelarian dari keramaian, menyepi untuk menenagkan diri. Pelarian, karena manusia terlalu munafik untuk menghadapi semuanya sendiri.

Empat tahun silam, setelah skripsiku rampung. Hal pertama yang akua tur sungguh-sungguh adalah mendaki gunung. Karena memang, saat mengerjakan skripsi, hati sedang terluka, sehingga semangat masih belum sembuh dari patah. Alhasil, aku dan dua teman kontrakanku mendaki gunung Arjuna, kala itu.

Setahun berikutnya, aku mendaki Gunung Merbabu. Namun sayang sekali kami tak bisa melihat kecantikan Merbabu. Akhirnya, setahun kemudian, aku mendaki Merbabu lagi dan melihat keindahan Gunung Sosialita ini. Memang butuh uang saku yang lumayan, dan perjalanan yang juah, ditambah fisik yang Tangguh, namun semua itu terbayar saat alam menyajikan keindahannya tepat di depan mataku.

Bukan hanya gunung, aku suka ke tempat-tempat yang disajikan alam. Air terjun yang jauh di pelosok hutan, yang perlu naik dan turun tebing dengan jalan yang terjal dan licin pun tak jadi masalah. Pantai apalagi, disana menjadi tempat mencari angin dan duduk di tepian sembari ngopi. Apapun itu jika yang menyuguhkan adalah alam, aku suka, karena aku tahu ia tak akan mengkhianati kodratnya untuk manusia, yaitu melayani dan memenuhi kebutuhan manusia. Salah satunya adalah sebagai tempat untuk mengadu dari permasalahan hidup. Menepikan diri dari perkotaan.

Aku, setelah ini semua berakhir, akan menyapamu lagi. Gunung, pantai, air terjun, aku datang.

Lahan yang semakin tergerus oleh bangunan, gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik, tempat perbelanjaan modern, setiap hariny...



Lahan yang semakin tergerus oleh bangunan, gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik, tempat perbelanjaan modern, setiap harinya terbangun menggerus lahan. Desa yang sudah seperti kota, kota yang semakin menjadi ultra-city. Sama halnya dengan apa yang terjadi di Kalimantan. Pulau dengan beragam fauna dan mendapat label paru-paru dunia, kini sedang berpotensi menjadi pulau kaya yang mengabaikan kesehatan paru-parunya.

Kelapa sawit, menjadi perkebunan yang semakin hari semakin meluas di daerah Kalimantan, terutama Kalimantan Barat. Perkembangan sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat memang mengalami peningkatan yang signifikan. Bahkan, hampir sepertiga kawasan Kalimantan Barat telah menjadi lahan kelapa sawit. Hal yang menyebabkan maraknya komoditas kelapa sawit dalam masyarakat Kalimantan adalah karena sangat menguntungkan bagi masyarakat. Lagi, faktor ekonomi mendesak masyarakat mengorbankan keanekaragaman hayati yang dimlikinya.

Realitas yang terjadi dalam pengembangan bisnis kelapa sawit adalah masyarakat berbondong-bondong mengalih-fungsikan lahan mereka menjadi lahan kelapa sawit demi  keuntungan yang berlimpah. Salah satu korban kelapa sawit adalah hutan yang terus dikonversi menjadi lahan perkebunan. Tentu saja hal itu sangat diminati para investor karena lahan yang dituju adalah wilayah hutan. Dengan kata lain, sebelum berinvestasi para investor sudah mendapat keuntungan besar berupa kayu dengan harus menyertakan ijin pemanfaatan kayu kepada pihak pemeritah.

Terjadinya fenomena itu menyebabkan keanekaragaman hayati di Kalimantan menjadi lebih homogen. Tentu saja hal yan demikian akan menyebabkan berbagai faktor akibat yang sangat signifikan. Berikut adalah beberapa gambaran dampak yang terjadi akibat perluasan kawasan perkebunan kelapa sawit:

1. Pembukaan lahan sering dilakukan dengan cara tebang habis dan land clearing dengan cara pembakaran demi efisiensi biaya dan waktu. Sangat bisa dimengerti bahwasannya Indonesia sering terjadi bencana kabut di titik-titik tertentu. Selain karena memang benar unsur kemarau, ada juga pihak yang memanfaatkannya.
2. Persoalan tata ruang, dimana monokultur, homogenitas, dan konversi menghasilkan hilangnya keanekaragaman hayati yang berdampak dengan adanya menurunnya kualitas lahan disertai erosi, hama , dan penyakit.
3.Kerakusan unsur hara dan air tanaman monokultur seperti sawit, satu batang pohon sawit dapat menyerap 12 liter (hasil penelitian dari Universitas Riau). Selain itu pertumbuhannya juga harus diberi stimulan dari unsur lain seperti pestisida. 
4. Praktek konversi hutan juga dapat menyebabkan terjadinya bencana alam seperti longsor, banjir, dan erosi tanah.
5. Habitat orangutan yang terancam akibat meluasnya lahan kelapa sawit. Bahkan, di Aceh, ekosistem orangutan sudah sangat kritis. Ditambah, populasinya yang hanya 150 ekor, hal demikian diungkapkan oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Masih banyak dampak negatif yang perlu digarisbawahi dan harus menjadi urgensi demi lingkungan kita. Jika terus digunduli, bisa saja Bumi yang tak lagi kokoh ini akan tergerus oleh jenis penyakit baru ini. Terlebih, keseimbangan ekosistem dan lingkungan juga harus menjadi prioritas utama dibandingkan factor ekonomi. Jikalau, memang benar kelapa sawit membawa dampak positif yang lebih dominan, maka harus dipikir ulang bagaimana cara mengatasi sub-sub masalah atas keberlangsungan semuanya ini.

Disaat bisnis kelapa sawit semakin kokoh berdiri, disisi lain, bumi pertiwi sedang merintih. Semua, pasti, mempunyai dampak positif dan negatif. Semua, tentu, masih berkutat pada pro dan kontra. Lantas, dimanakah keadilan berpijak jika semua hanya didukung oleh serakah dan hal yang disebut ‘untuk kaya’? Nurani selalu berkata, lingkungan dan tempat kita lahir harus diselamatkan. NKRI harga mati, bukannya, uang harga mati. Jika ada solusi tengah yang tanpa merugikan keduanya, maka tangan ini pasti terbuka. Sejauh ini, saya masih berpijak pada penolakan eksplorasi yang tak menguntungkan Sang Ibu.

Jangan mengeluh jika bumi ini berbenah, jangan kaget jika tanah ini mulai menyeimbangkan. Bumi ini hanya tak ingin mati, ia hanya menyembuhkan diri. Dan manusia-manusia layaknya sadar diri.

Setiap manusia pasti pernah terluka, dan bagian paling menyiksa dari terluka bukan perihal ikhlas atau tidaknya hati kita. Bagian ter...




Setiap manusia pasti pernah terluka, dan bagian paling menyiksa dari terluka bukan perihal ikhlas atau tidaknya hati kita. Bagian terberat dari terluka adalah kenangan yang sering datang tanpa diduga.

Sore tadi, aku menuntaskan janji yang ku buat kemarin malam di salah satu grup WA ku yang isinya sohib-sohibku sedari kuliah sarjana. Rasanya, sudah lama kami jarang berkumpul dan bertatap muka. Tadi malam, tiba-tiba saja grup menjadi ramai dan candaan-candaan kecil dilemparkan. Maklum, seorang temanku baru saja putus setelah pacaran lima tahun, jadi bully-an kepada dia jelas kami senandungkan untuk menguatkan.

Sore tadi, janji yang kami buat berlima adalah mengobrol melalui aplikasi videocall. Dan tentu saja, sudah jelas apa agenda kami di perjumpaan online itu. Selain menyambung keakraban, kami juga ingin mendengarkan cerita patah hati dari seorang diantara kami. Alhasil, majelis patah hati pun dimulai.

Dalam obrolan, Rintang (nama samaran) menjelaskan dengan sangat detail dan gamblang tentang awal kecurigaannya pada kekasihnya. Hingga datang di klimaks ceritanya. Sebagai orang yang juga pernah merasakan patah, aku tidak banyak bertanya tentang hal yang mendalam, pertanyaan-pertanyaan ringan saja yang aku lontarkan, bukan karena aku paham perasaannya tapi aku juga pernah berada di situasi patah.

Patah hati itu wajar dan manusiawi. Terluka itu terlahir dari ekspektasi yang berlebih. Kehilangan itu muncul karena kita merasa memiliki. Satu hal yang membuat aku salut kepada cerita patah ini adalah Rintang menceritakan kejadian luka yang menimpa dirinya dengan tanpa menyudutkan pihak mantan kekasihnya. Dia menegaskan bahwa kami juga perlu menanyakan apa yang terjadi, dari sudut pandang sang kekasih, agar berimbang.

Aku jadi mereflksikan pernyataan ini kepada kisah ku waktu patah dulu. Saat patah, cara setiap manusia untuk menemukan healing process yang tepat pasti berbeda-beda. Jika aku dulu, aku memilih untuk tidak menceritakan kejadiannya kepada siapapun. Aku lebih memilih untuk berdiam. Aku juga tidak menyalahkan mantan ataupun siapa saja. Karena kedewasaan hati bukanlah perihal mencari siapa yang benar atau ‘aku yang paling benar’, melainkan menerima semuanya dengan ikhlas dan menjadikan pelajaran untuk melangkah ke depan.

Dan, aku juga bersyukur, mungkin kami berdua juga memilih untuk tidak menceritakan apapun kepada siapa pun. Respect.

Jadi, untuk semua saja yang sedang menjaga hati ataupun sedang patah hati. Ketahuilah bahwasannya orang yang kita saying bukanlah milik kita. Ketahuilah waktu yang kalian habiskan berdua akan menjadi tali yang mengikatmu saat waktu patah. Dan, ketahuilah bahwa kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Karena semua butuh pengorbanan, maka jangan menganggap hanya kita lah yang melakukan pengorbanan.

Salam Patah…..

Menurut W.H. Walsh, Sejarah itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia. Catatan itu meliputi tinda...



Menurut W.H. Walsh, Sejarah itu menitikberatkan pada pencatatan yang berarti dan penting saja bagi manusia. Catatan itu meliputi tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia pada masa lampau pada hal-hal yang penting sehingga merupakan cerita yang berarti.secara garis besar, sejarah adalah pengalaman manusia dari masa lalu yang memiliki peran yang penting untuk masa sekarang. Jika kita sedang berbicara mengenai sejarah, maka kita tentu saja akan membahas dua poin penting; waktu dan kejadian.

            Waktu, akan selalu merujuk kepada masa dimana suatu kegiatan itu dilakukan oleh manusia. Sedangkan kejadian adalah aksi yang melekat pada waktu (masa lampau). Itulah mengapa dalam pelajaran sejarah di Indonesia ini, peserta didik selalu dicekoki dengan suatu peristiwa dan tahun kejadiannya, seakan itulah kunci dari sejarah. Namun tak bisa dipungkiri, memang ‘agak’ benar. Lalu bagaimana kita menggali kejadian yang sudah puluhan hingga ribuan tahun yang lalu? Apakah sejarawan benar-benar mengetahui kejadiannya sehingga Ketika muncul dalam suatu diskusi atau liputan, mereka benar-benar yakin menjelaskan dengan gamblang seakan mereka adalah saksi kejadian yang sudah beribu-ribu tahun itu.

            Tidak ada hal yang tidak mungkin, mungkin baga kita yang sering melihat konten Youtube tentang hal-hal supranatural, kita sangat sering mendengar istilah retrokognisi. Retrokognisi adalah sebuah kemampuan untuk mengetahui dan melihat dengan jelas kejadian yang sudah berlalu. Sebagai contoh, ada seorang indigo yang dapat menceritakan sejarah suatu desa dengan sangat jelas bahkan sangat detail, padahal ia baru saja mengunjungi desa tersebut. Ia bahkan dengan fasih menyebutkan tokoh-tokoh yang ada dan menunjukkan sudut-sudut desa yang kiranya menjadi tempat terjadinya kejadian penting di masa lalu. Apakah ia adalah sejarawan? Tidak, ia memang mempunyai kemampuan retrokognisi, dimana ia mempunyai kemampuan Kembali ke masa lalu untuk mengetahui apa yang benar-benar terjadi. Mengkhayal? Bisa jadi omongan yang saya ujar ini salah. Ini semua adalah perihal kepercayaan, dan saya tidak bisa memaksa bahwa kepercayaan saya yang paling benar. Kita bisa percaya atau tidak. Semua Kembali ke diri kita.

            Namun, hal yang membuat saya bahwa retrokognisi ini sebenarnya bukan hal yang mustahil adalah, bahwasannya retrokognisi adalah sebuah kemampuan yang mana semua hal itu bisa dipelajari. Kepekaan adalah kunci, dan bukti yang tertinggal juga berperan dalam mengasah kemampuan retrokognisi kita. Seorang sejarawan tidak mungkin bisa mengetahui dan menjelaskan sejarah suatu peristiwa atau tempat dengan sangat luwes tanpa mendapatkan insight dan bukti terhadap hal tersebut terlebih dahulu. Semisal, sejarawan tidak akan berani memberikan informasi di hadapan peserta seminar mengenai kerajaan Majapahit, jika tidak ada narasi mengenai Majapahit di dalam otaknya. Jadi, bacaan mengenai Majapahit, sumber sejarah seperti prasasti, surat Lontar, artefak kerajaan, arsip yang tersimpan, adalah cara sejarawan menyusun peristiwa di masa lampau, dan persepsi yang tersusun itulah yang menjadikannya sebuah kemampuan retrokognisi.

            Hanya saja, jika kita sedang membicarakan mengenai ilmu sejarah secara empiris, retrokognisi selalu dikaitkan dengan kajian yang ilmiah, sedangkan jika membicarakan mengenai kemampuan retrokognisi yang dilakukan oleh seseorang yang memang mempunyai kemampuan akan itu, maka kita selalu berbicara mengenai klenik. Padahal, bukankah di akhirat nanti mulut kita dikunci rapat dan semua yang pernah kita perbuat akan ditampilkan, tangan, kaki, rambut, batu yang pernah kita lempar, sandal yang pernah kita gunakan, pohon yang pernah kita sandari, semua akan menceritakan dan bersaksi mengenai kita semasa di dunia (masa lampau). Memori, bukan hanya milik manusia. Bahkan benda mati juga menyimpan memori. Bukan hal yang sulit untuk manusia pilihan Tuhan untuk mengungkap semua yang terjadi di masa lampau, karena semuanya berdzikir kepada Allah, dan semua bisa berkomunikasi. Orang Jawa sangat menjaga hubungan bukan dengan hanya manusia, melainkan alam semesta.

Memayu Hayuning Bawana, Memayu Hayuning Bebrayan.

Sebelum memulai substansi bahasan, aku ingin disclaimer terlebih dahulu. Topik ini aku buat karena pikiran yang sedang buntu sehing...



Sebelum memulai substansi bahasan, aku ingin disclaimer terlebih dahulu. Topik ini aku buat karena pikiran yang sedang buntu sehingga tak bisa memilih tema bahasan yang lebih menggigit untuk mengisi Challenge menulis selama 14 hari. Tapi, I promise you gaes, aku akan tetap menghadirkan bahasan yang segar. Apapun topiknya.

Aku mencoba membahas ini karena keresahanku selama berada di dalam rumah. Sudah lebih dari dua minggu aku terpenjara, batinku sudah ingin berteriak dan berkelana, naik gunung, berpetualang ke hutan, tour menggunakan sepeda motor bersama teman-teman, nyasar di perjalanan, pantai, taman, kolam, ah rasanya sungguh sangat menggoda.

Tidak ada yang tidak menghasilkan kebaikan, meskipun itu hanya berdiam diri di dalam rumah. Setidaknya aku dihibur oleh beberapa fenomena yang selalu muncul di layar gawaiku. Dan dua diantaranya sangatlah seirama serta bertentangan. Pertama, fenomena video TikTok yang semakin menggila. Kedua, Pemerintah yang setiap hari sibuk bersuara untuk publik. Kita bahas yang pertama dulu yuk TikTokers.

Sejak melakukan karantina di rumah, aku lebih sering membuka sosial media hanya untuk scrolling hingga jenuh. Dari awal karantina hingga hari ini, aku selalu menjumpai video TikTok dari masyarakat +62, aku bahkan mengetahui tren-tren TikTok yang muncul di kolom explore instagramku; goyang mama muda, jamet, video loncat-loncat gak jelas sampai pegel, penari orang mati, entah apa sebutannya aku tidak tahu. Dan anehnya, dari beberapa tema video itu, kenapa semua yang membuatnya menjadi viral, sehingga aku disajikan konsep yang sama tapi dengan orang yang berbeda. Awalnya lucu, tapi setelah karantina hari ke 5675, aku jadi bosan. Karena tidak puas dengan video TikTok yang ada di Instagram, akhirnya aku mencoba mengunduh kampung halaman video ini nih, ya saya mengunduh TikTok dong. Dan, memang lebih bervariatif sih videonya, tapi tidak bisa menghiburku lagi.

Selanjutnya, rupanya kemampuan komunikasi politik saat ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah untuk memberikan informasi kepada masyarakatnya. Bayangkan saja, setiap hari harus memberikan informasi perihal perkembangan wabah, setiap hari juga selalu ada dialektika pejabat yang diekspos oleh media untuk masyarakat. Ada Menteri yang tidak melarang mudik, ada Menteri yang ingin membebaskan koruptor, lah. Untung gak jadi. Semua tingkah mereka sungguh justru membuatku terhibur. Karena berita yang tidak statis dan lebih mempunyai efek kue lapis setelah pejabat tersebut melakukan komunikasi politik ke publik.

Saat Sang Menteri bersabda, maka efek domino akan berjalan segera. Ada banyak komponen yang merespon sehingga kita akan mendapatkan banyak variasi dengan topik yang sama namun dengan konsep dan orang yang berbeda. Aku selalu serius mendengarkan respon-respon dan diskusi dari masyarakat. Seru gaes.

Tapi, karena banyaknya blunder-blunder akibat cara komunikasi yang salah dari pemerintahan, akhirnya saat ini masyarakat sudah mulai jenuh dan hampir tidak peduli. Bayangkan saja, bro, kita sebagai masyarakat fokus ada di rumah, kita punya fokus yang lebih fokus untuk mengikuti alur suara pemerintahan. Tetapi, komunikasi yang diciptakan selalu mendapatkan blunder yang itu memojokkan kita sebagai rakyat, bagaimana kita tidak jengkel. Memang kita terus memerhatikan setiap gerik dan gelagat para bapak-bapak berdasi ini, namun jika yang dihadirkan justru melahirkan rasa gelisah dan memperpanjang usaha kita untuk tetap di rumah, ya buat apa. Aku kan juga ingin naik gunung.

Jadi, rupanya aku salah sangka terhadap TikTok, ku kira TikTok adalah hiburan, ternyata TikTok adalah ekspresi kejenuhan warga +62 terhadap apapun yang melanda mereka selama di rumah. Terlebih, dari sini aku bisa merumuskan satu hal, mungkin saja kegelisahan terhadap tindak laku para pemimpin-pemimpin kita ini membuat rakyat semakin acuh dan tidak peduli dengan pikiran kekanak-kanakan mereka, sehingga apa? Salah satu cara untuk menghibur diri dari pengkhianatan adalah dengan mengekspresikan diri melalui TikTok. Di rumah aja sudah bisa jadi karya. Jadi sebenarnya, masifnya video TikTok (mungkin) adalah akibat dari sebab suara pemerintah yang mbulet.

Maaf ya kalau bahasan kali ini tidak jelas, lagi gak bisa mikir jernih.




Aku selalu percaya bahwa alam mempunyai cara tersendiri untuk berdialog dengan manusia, salah satunya adalah dengan wabah. Aku sebis...




Aku selalu percaya bahwa alam mempunyai cara tersendiri untuk berdialog dengan manusia, salah satunya adalah dengan wabah. Aku sebisa mungkin menjauhkan pikiran dan hatiku dari kata bencana. Entah, seperti terkesan bahwa manusia adalah entitas tunggal yang mengalami kerugian atas kejadian itu. Terlebih jika kata bencana itu sudah menjadi terminologi padat, bernama ‘bencana alam’, aku selalu berat hati menerimanya.

Kita sebagai manusia memosisikan diri kita sebagai subjek, sehingga melihat dari kacamata manusia. Segala sesuatu yang terjadi menimpa dan melahirkan kerugian selalu kita sebut sebagai bencana. Apakah itu memang benar-benar adil saat kita sendiri mengabaikan aspek-aspek lainnya?

Beberapa hari yang lalu, aku berbicara Panjang lebar dengan wabah yang sekarang sudah menjadi pandemi ini. Aku tidak menyalahkan dan menyudutkannya. Aku bertukar argumen dan memohon kepadanya agar senantiasa bersabar memahami hati manusia yang masih saja belum merasa penuh dengan segala Hasrat dunia. Dan sebelum aku menceritakan lebih jauh lagi mengenai obrolan kami berdua, aku selalu mencoba mengingatkan kalian semua, bahwasannya tidak ada bencana alam, yang ada adalah alam dan semesta sedang menjalankan tugas untuk kembali mengatur keseimbangan yang sudah tidak seimbang akibat ulah manusia.

Saat kami mengobrol, aku ingat sekali bahwasannya hari sudah larut. Saking sepinya, aku tidak bisa mendengar apa-apa melainkan suara lirih yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang. Aku pun mengetahui bahwasannya semua kebisingan lirih ini bermula dari kerisauan makhluk kecil dari Tuhan yang selalu disudutkan. Aku tak mau dipandang jahat oleh mereka, sehingga akulah yang menyapa mereka semua terlebih dahulu.

“Salam, dari kami semua untuk kalian, wahai makhluk Allah yang teguh dalam Sunnatullah-Nya.” Aku menyapa mereka.

“Semoga keselamatan juga selalu menyertaimu.” Salah satu diantaranya membalas.

“Maaf dariku, karena kami, manusia salah paham terhadap kehendak Allah atasmu.” Aku memulai pembicaraan.

“Tugasku di bumi ini sudah sesuai kehendak Allah, segala prasangka dari kalian semua tidak akan membuatku marah ataupun tersanjung.”

“Sekali lagi, maaf atas sifat jahil kami yang belum bisa mempunyai kejernihan pikiran dan hati, sehingga setiap hari selalu ada saja diantara kami yang tergelincir.”

“Tugasku, tidak hanya menimbulkan ketakutan di dunia ini. Aku juga menebar pelajaran bagi setiap manusia yang rela bertafakur. Tugasku tidak hanya menebar kebencian, melainkan menunjukkan kepada manusia sebagai penyandang makhluk paling sempurna dari Allah, bahwa sejatinya, ibadah tidak berfokus pada wajah. Tugasku tidak hanya menebar kecemasan, aku hadir untuk mendidik manusia tentang keridhoan. Pentingnya ridho kepada Allah, agar Allah juga ridho terhadap manusia.”

Haturannya itu membuatku terdiam dan merenung. Aku yang seakan sudah tak sanggup menanggapi perkataannya hanya bisa tertunduk dan memikirkan semua kata dari Tuhan itu. Aku yang selama ini memahami bahwa menyembah Tuhan harus dengan syariat yang fisik dan saklek, kali ini dipatahkan dengan firman alam yang juga bersumber dari Tuhan.

Tuhan tidak membutuhkan sholat kita, Allah hanya membutuhkan keikhlasan hamba-hamba-Nya untuk senantiasa menghadirkan sikap pasrah terhadap segala sunnatullah. Bukan sifat keras dan merasa paham atas segala ilmu sehingga mengucilkan lainnya.

Dan yang terpenting, alam tidak pernah sanggup menyakiti manusia. Ia hanya berusaha menghadirkan yang terbaik agar ia dapat menyajikan hidangan terbaik untuk kita manfaatkan. Memang itulah tugas alam yang dititipkan dari Allah untuk kita. Hanya saja kita terlalu tidak tahu diri untuk memahami ini semua.

Setelah renungan itu, aku beranikan diri untuk mengangkat kepalaku. Dan ku dapati wabah itu sudah pergi dari hadapanku. Suasana semakin sepi, rupanya tugasnya sudah usai. Dan perlahan manusia mendapat pelajaran berharga dari wabah yang mampir itu. Wabah itu, tidak kejam. Sapalah ia dan berdamailah dengannya. Ia adalah garis firman Tuhan yang dihantarkan melalui gelombang alam.

Kabarnya di desa Karang Kedempel saat ini sedang sangat sepi sekali. Orang-orang tidak berani keluar dari rumahnya, ditambah lagi,...




Kabarnya di desa Karang Kedempel saat ini sedang sangat sepi sekali. Orang-orang tidak berani keluar dari rumahnya, ditambah lagi, sosok panutan desa itu sedang hijrah sejenak untuk memberi pengajaran ke Kahyangan. Tidak ada yang digugu dan tidak ada sosok yang patut dihormati lagi di Karang Kedempel, untuk sementara ini.

Aktifitas yang biasanya ramai kini menjadi sepi, namun masih terlihat beberapa penduduk yang beraktifitas dan bercengkrama dari jarak yang berjauhan. Rumah Kiai Semar yang biasanya dipenuhi orang-orang untuk sekedar meminta nasehat pun menjadi kosong, hanya terlihat anak-anaknya disana.

Petruk yang saat itu sedang bersama Bagong di rumah, rupanya tak tahan dengan kondisi saat ini. Petruk pun berinisiatif pergi ke Ngastina, meminta bantuan kepada para Pandawa untuk menangani masalah besar ini. Namun, baru niat saja yang terbesit dalam hati, tiba-tiba Bagong muncul untuk menghentikan Petruk.

“Mau ngapain, Truk?” Tanya Bagong.

“Owalah, Gong. Kamu kan tahu sendiri akhir-akhir ini bumi kita sepi. Manusia perlahan sudah kehilangan kemanusiaannya. Bopo ya gak turun-turun dari Kahyangan. Kita kan gak bisa diam saja, kita ke Pandawa dan mendesak mereka melakukan sesuatu.” Petruk menjelaskan Panjang lebar.

“Loh, kamu ini bodho ta gendeng, le? Ingat pesannya Bopo, kita gak boleh mengemis ke Ngastina. Semua masalah bisa ditangani sama Bopo.” Sangkal Bagong.

“Loh, siapa yang ngemis. Kita kan hanya mendesak mereka supaya mereka berbuat sesuatu. Bopo kan juga sedang tidak ada. Tidak ada yang bisa diperbuat kan?”

Peh, jan bodho banget kakang ku iki. Nyesel aku jadi adekmu.”

“Kok kurang ajar sama kakangmu?”

“Begini,Truk, kemarin sebelum Bopo minggat dari Karang Kedempel, Bopo datang ke pertapaanku dan bilang kalau obat dari semua wabah ini ada di genggamanku. Nah aku waktu bertapa kemarin memang sedang menggenggam sesuatu. Truk. Dan ku yakini itu adalah obatnya.”

“Emang kowe nggenggam apa, Gong?”

“Jangan, ini barangnya terlalu privat. Dan belum waktunya untuk aku keluarkan. Belum ada perintah dari Bopo untuk mempublikasikannya.” Bagong berdalih.

“Barang privat apa, Gong. Wah, lihat bumi ini, le. Tunjukkan sekarang supaya bumi ini bisa pulih kembali, Gong.” Petruk berdiri dari duduknya dan berbicara tegas kepada Bagong.

Saat itu, Petruk menemukan secercah harapan untuk membuat kondisi dunia menjadi sehat kembali. Ia menemukan kesempatan untuk mengobati dunia dari wabah kremi yang sedang menikam satu-persatu penduduk dunia. Tanpa pikir panjang, Petruk langsung berlari mengelilingi Karang Kedempel dan mengumumkan bahwa Bagong mempunyai obat untuk menjauhkan semuanya dari wabah kremi.

Tak begitu lama, halaman rumah Kiai Semar sudah dipenuhi penduduk desa. Bagong pun kelihatan kebingungan menghadapi kerumunan itu.

“Waduh, Truk. Kok jadi begini. Takut salah aku, Truk.” Ujar Bagong lirih kepada Petruk yang ada di sebelahnya.

“Takut kenapa, Gong. Percaya saja sama dawuh Bopo dalam pertapaan itu.” Petruk menenangkan Bagong.

Anu, masalahnya, anu, Truk. Aduh, gimana ya.”

“Apa, Gong. Yang jelas kalau ngomong.”

Anu, Bopo kan bilang kalau obat dari wabah ini ada dalam genggamanku. Nah, pada saat bertapa itu aku sedang menggenggam celana dalam, Truk.”

Eh goblok, seriusan? Itu sempak gimana caranya biar jadi obat, Gong?”

Nah itu aku belum ngerti, Truk. Piye iki.”

“Tenang, Gong. Dari pada kita dikeroyok, stay cool saja. Cepet mikir bagaimana sempak itu bisa jadi obat.”

Kerumunan warga itu rupanya membuat Kahyangan terusik, banyak penduduk Kahyangan yang turun untuk ikut mencari obat ke Bagong. Dengan arogan, penduduk Kahyangan meminta agar mereka menjadi prioritas pengobatan.

Petruk yang terus menenangkan semua yang datang pun mulai kuwalahan, akhirnya ia meminta semua yang hadir untuk berbaris ke belakang. Dan dimulai dari antrian dari penduduk Kahyangan.

Truk, aku sudah nemu caranya. Ambil ember, Truk, cepet.” Bagong menyuruh Petruk untuk mengambil ember.

“Bapak, Ibu, Mas, Mbak. Waktu saya bertapa, Bopo datang ke dalam pertapaan saya bahwa saya ternyata sedang menggenggam obat dari wabah ini. Tapi sebelum saya memberi tahu apa yang saat itu saya genggam, saya mohon kalian tetap tenang dan Tawadhu’, ya?”

“Ya, apa, Gong?” Suara sahutan dari keramaian menyambut pertanyaan Bagong.

“Sebenarnya saat bertapa, saya sedang menggenggam anu, hmmm…. Celana dalam. Kalau kalian mau sembuh, silahkan, kalau kalian jijik, monggo mundur.”

Rupanya, tidak ada seorangpun yang mundur. Kiranya mereka semua sudah berani mengambil resiko apapun untuk dijauhkan dari wabah kremi ini. Bahkan, penduduk Kahyangan sudah siap untuk dihinakan dengan obat ini.

“Semua ridho? Baik kita mulai dari orang-orang langit ini dulu.” Ujar Bagong.

“Ini Gong, embernya.” Ujar Petruk sembari membawa ember yang lumayan besar.

Penduduk-penduduk Kahyangan langsung berbaris sejajar di depan, bersiap menerima pengobatan dari Bagong. Bagong yang melihat itu kemudian merasa ragu dengan tindakannya. Namun, ia tetap memberanikan diri karena percaya bahwa tindakannya benar.

Gong, ini terus gimana?” Petruk bertanya.

“Letakkan celana dalam ku di ember, terus campur dengan air sampai penuh, Truk.”

“Serius, Gong?”

Halah coba aja, kalau gagal juga gak masalah.” Jawab Bagong.

Melihat apa yang dilakukan Petruk, penduduk Kahyangan itu mulai terlihat menelan ludah. Mereka sudah membayangkan bahwa mereka harus meminum air sempak itu. Ah, tapi mereka juga terlihat menerima pengobatan ini.

Bagong pun mengaduk-aduk embernya dan mengambil air dari ember itu dari kedua tangannya. Bagong menyodorkan kedua tangan yang menampung air sempak itu untuk diteguk para penduduk Kahyangan.

Sudah semua penduduk langit diberi obat air sempak mujarab ala Bagong. Beberapa diantara mereka ada yang muntah. Tiba-tiba terdengar suara yang melengking dan objek yang bergerak cepat dari langit, “Gong, berhenti. Dasar anak edan.”

Mendengar suara itu, Petruk dan Bagong mendongak ke atas, rupanya Boponya turun dari Kahyangan.

“Bukan itu yang aku maksud, thole.” Semar berbicara sambil menjitak kepala Bagong.

“Aduh, ide nya Petruk, Bopo.” Sangkal Bagong.

Lah kok aku.” Petruk menjawab.

“Maksud ku, obat dari wabah ini ada digenggamanmu itu bukan mempunyai maksud benar-benar ada digenggaman. Tapi pertapaan kamu itulah obatnya. Ketika kamu bertapa, kamu sudah menggenggam obat dari wabah ini karena kamu berdiam diri dan tidak klayapan di luar rumah. Interaksi dengan sesame manusia dibatasi dan digantikan dengan interaksi kepada Sang Maha. Bukan malah mengumpulkan orang dan menciptakan kerumunan, ini kan bahaya.” Semar marah.

Semua orang pun mulai bubar dan mengeluh, beberapa di antara mereka sudah ada yang merasakan gejala kremi. Sehingga Semar meminta semua penduduknya untuk melakukan pertapaan dan akan menemui mereka satu-persatu dalam pertapaannya. Sementara itu, penduduk Kahyangan yang telah meminum air sempak Bagong merasakan sakit perut dan diare.